KMAA#21 : Penyadaran Diri

Novel21 Dilihat

Sore itu Fadli bersama beberapa temannya mampir di cafe tempat biasa mereka nongkrong setelah usai kegiatan di kampus. Mereka membicarakan semua hal, mulai dari gadis-gadis seksi yang ada di kampus sampai tingkah polah dosen bahkan jadi bahan tertawaan mereka.

“Wong edan, kok ngomongin gurune yang kasi ilmu, malah diolok dan ditertawai,” sahut  wanita tua yang duduk tidak terlalu jauh dari mereka.

Kalau mereka sudah berkumpul seperti ini, mereka tidak peduli orang sekitar. Tidak jarang prilaku mereka membuat orang lain marah, jengkel, gerah, kesal, tapi mereka seolah tidak mau peduli. “Emang gue pikiran, kalimat yang sering terlontar dari bibir mereka, kalau ada yang berani mengingatkan.

60 menit berlalu, mereka masih asyik dengan obrolannya yang tidak karuan. sampai terdengar bunyi gawai.

“Ya, ma…ada apa?

“Parhan belum pulang sampai sekarang, tidak biasanya adikmu seperti ini. Tadi mang Jaja sudah mencarinya ke sekolah tapi tidak ada,” sahut wanita dari seberang sana.
“Sebentar Fadli pulang.” Ucapnya dan langsung mematikan ponsel

Dengan wajah gelisah, tanpa memeriksa barang bawaannya, lelaki berambut gondrong itu pamit dan buru-buru keluar cafe menuju mobilnya yang terparkir dan diikuti oleh teman-temannya. Ada sedikit ketenangan dan kenyamanan yang dirasakan para pengunjung setelah mereka pergi.

Wajah kepanikan ibunya terbayang di pelupuk mata. Membuat lelaki berkulit putih itu  memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi, agar cepat sampai rumah.
Satu persatu teman sekolah adiknya dihubungi, namun tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan adiknya.

Sementara Aisyah baru saja memarkir sepedanya di cafe tersebut untuk sekedar minum es menghilangkan rasa haus yang dialaminya dari tadi. Dia langsung duduk di meja dimana Fadli dan teman-temannya duduk tadi.

Tidak sengaja kakinya menyenggol tas ransel yang berada di bawah meja.

Diangkatnya tas tersebut untuk memastikan isinya. Ternyata laptop dan beberapa alat-alat rumah sakit seperti stetoskop, dan alat tensi.

“Mungkin ada yang tidak sengaja meninggalkan barangnya di sini, dan kasihan sekali orang yang punya tas ini,” gumam Aisyah dalam hati.

Diperiksanya setiap saku di dalam tas tersebut, berharap ada tanda pengenal dalam tas, tapi nihil. Dia mulai membuka laptop tersebut mungkin ada petunjuk, tapi laptoppun memakai sandi, tidak bisa di buka.

“Aku bawa saja tas ini, siapa tahu ada yang mencari, kalau aku diamkan disini malah bisa-bisa di ambil orang.” Gumam Aisyah dalam hati.

“Mbak, siapa yang duduk di sini tadi?”, tanya Aisyah kepada pramusaji yang kebetukan lewat di depannya.

“Beberapa orang laki-laki mbak, salah satu dari mereka berambut gondrong, tapi saya tidak tahu nama mereka”.

“Terima kasih mbak,” ucap Aisyah masih dengan wajah kebingungan. Laptop itu akhirnya dibawa pulang sambil berusaha mencari tahu pemiliknya.

Gadis itu menyeruput es yang dipesannya sembari berusaha mengingat satu persatu mahasiswa dengan ciri yang disebutkan oleh pramusaji, namun hasilnya nihil. Setelah menikmati minumnya, dia pun lamgsung pulang. Baru saja dia sampai rumah dilihatnya Parhan sedang asyik  berbicara dengan Bayu. Kedua remaja itu sama-sama duduk di jenjang SMP, tapi beda sekolah. 

“Kapan kamu datang, apa mama tahu kamu ada di sini?” Tanya Aisyah. 

Dia tidak ingin kejadian ini akan jadi masalah, apalagi kalau nanti kakaknya tahu, sumpah serapah, caci maki serta penghinaan pasti keluar dari mulutnya yang kotor.

Tadi pulang sekolah, aku langsung ke sini pakai taxi tanpa memberitahukan mama,” jawab  Parhan singkat.

Gadis itu langsung menghubungi ibu Nely untuk mengabarkan keberadaan Parhan. Wanita paruh baya itu sedikit lega mendapatkan kabar dari Aisyah, namun  berbeda dengan tanggapan Fadli. Saat dia tahu adiknya ada di rumah Aisyah, dia langsung kesana dan menuduh Aisyah mau menculik Parhan dan minta uang tebusan.

Hati Aisyah semakin perih dengan tuduhan Fadli yang tidak beralasan itu. Bukan berarti dia boleh menghina keluarganya yang miskin. Air mata Aisyah tak terbendung, rasa sakit, perih, marah, bercampur menjadi satu.

“Kak, saya yang sengaja kesini untuk bertemu Bayu, mau menanyakan PR yang tadi diberikan Bu guru di sekolah,” tukas Parhan.

Tapi tetap saja Fadli tidak mau mendengar alasan apapun dari adiknya. Tanpa henti dia mengeluarkan kalimat yang berisi penghinaan sembari menarik tangan adiknya mengajaknya pulang. Membuat Parhan tidak bisa berbuat apa-apa.

****

“Kok rumah sepi dek, yang lain pada kemana?,” Tanya Aisyah saat dia datang ke rumah Parhan untuk melanjutkan les privatnya.

“Kebetulan ibu masih di rumah paman, sebentar lagi pulang, sedangkan kak Fadli tidak tahu kemana? Sudah satu minggu ini marah-marah tidak karuan karena laptopnya hilang” Ungkap Parhan

Aisyah jadi teringat laptop yang ditemukan Minggu yang lalu dan sampai sekarang dia belum menemukan pemiliknya.

“Ciri-ciri laptop yang disebutkan Parhan sama persis dengan laptop yang kutemukan di cafe Minggu lalu.” Batin Aisyah.

Keterangan dari Parhan membuat Aisyah nyakin bahwa laptop yang ada dirumahnya itu milik Fadli. Keringat dingin membasahi telapak tangan Aisyah, wajahnya berubah pucat, napasnya turun naik, badannya gemetar. Rasa takut menyetuak dalam diri gadis berkulit sawo matang setelah tahu bahwa laptop itu milik orang yang sering menghina dan mencaci makinya selama ini.

“Apa yang harus aku lakukan,” batin Aisyah. Sambil terlihat seperti orang linglung, tidak tahu apa yang akan dilakukan.

“Seandainya bukan Fadli yang punya laptop itu tidak akan membuat Aisyah sesetress ini memikirkan cara mengembalikan barang tersebut.

Gadis sipit itu khawatir kalau dirinya dituduh mencuri karena sering mengajar Parhan di rumahnya.

“Ada apa kak? Apakah kakak sakit? Tanya Parhan dengan mimik khawatir, melihat perubahan wajah gurunya yang tampak pucat.

“Tidak apa-apa,” jawab Aisyah berusaha menghilangkan kekalutannya.
“Kalau kakak kurang sehat, lebih baik kakak pulang dan istirahat,  besok saat kondisi kakak membaik baru kita lanjutkan kembali,” ungkap Parhan memberikan solusi.
Karena mendapat lampu hijau untuk pulang, Aisyah langsung pamit.

Sepanjang jalan Aisyah memutar otak mencari jalan bagaimana mengembalikan laptop tersebut, namun hasilnya nihil. Sampai tengah malam dia belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya Aisyah bertekad akan mengembalikan laptop itu besok, apapun resiko yang terjadi dia terima dengan ikhlas, Aisyah yakin Allah akan memberikan yang terbaik untuk umatnya walaupun melalui cara yang menyakitkan. Karena Allah itu maha baik, gadis itu berusaha menguatkan dirinya. 

“Ya, Allah tunjukkan jalan keluar yang engkau ridhoi dalam menghadapi masalah ini,” doa Aisyah sebelum dia memejamkan mata. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan