KMAA#39: Tak Terduga

Lima hari pasca insiden kecelakaan pesawat, keluarga korban masih dirundung duka sembari menanti penuh harap. Doa terus dipanjatkan berharap orang-orang tercinta selamat dan ditemukan.

Rumah Bu Nely masih ramai dikunjungi kerabat dan sahabat yang mengucapkan belasungkawa. Aisyah pun hampir setiap hari ada disana menemani wanita yang hampir menjadi mertuanya itu.

Butiran bening terasa hangat di wajah Aisyah setiap dia berusaha menjawab pertanyaan tamu yang datang. Parhan yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan dengan mengelus punggung calon kakak iparnya itu. Televisi berukuran jumbo yang terpajang di ruang tengah, biasanya lebih banyak terlelap. Namun sejak peristiwa naas itu terjadi seolah enggan tertidur ikut mengikuti perkembangan tim Basarnas yang belum membuahkan hasil.

Sampai perpanjanga masa pencarian terhadap badan pesawat dan korban, tim dari BPBD belum begitu membuahkan hasil, hanya puing-puing pesawat yang ditemukan. Sementara satu korban pun belum ditemukan. Wajah murung, kesenduan dan kesendirian seakan benda mengasikkan yang selalu menemani harinya.  Senyum lepas yang selalu ditampakkan seolah ikut terhayut bersama raga Fadli.

Satu semester berlalu sejak kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Fadli. Gadis 28 tahun itu masih sering menyendiri. Keceriaannya yang dulu seolah ikut terkubur bersama jasad Fadli.

Dia hanya berbicara seadanya, dia lebih banyak diam. Suaranya hanya terdengar saat dia sedang memberikan materi perkuliahan. Celoteh, motivasi yang sering dilontarkan dulu  kepada mahasiswa seolah menjadi barang langka.

Alunan gawai terdengar dari dalam tas. May, nama yang tertera di sana. Ibu muda itu selalu menyempatkan diri menanyakan kabar Aisyah dan mengajaknya bertemu di tempat biasa.

“Sampai kapan kamu akan seperti ini Ais, Apa kamu tidak kasihan melihat bapak yang sudah tua selalu bersedih? Ingat…Fadli tidak akan bisa hidup lagi. Kalau kamu terus seperti ini justru kamu akan kehilangan untuk kedua kalinya. Apa kamu mau bapak yang begitu mencintaimu selama ini jatuh sakit memikirkan keadaanmu dan meninggal menyusul Fadli?”

Kalimat May membuat Aisyah tersentak. Dia begitu egois hingga membuatnya tidak pernah berpikir positif. Terlalu larut dalam kesedihan yang tak berguna, membuatnya melupakan perasaan orang yang begitu berharga dalam hidupnya.

“Kesempatanmu sekarang membuat bapak bahagia, di usianya yang sudah tua. Jangan sampai kamu menyesal nantinya.”

Ucapan May seperti embun pagi yang menyejukkan hati Aisyah. Matanya terbuka bahwa apa yang dia lakukan setelah kepergian Fadli hanya sia-sia belaka.

Berlahan kecerian itu kembali menghiasi wajah manis yang hanya dipoles bedak dan lipstik seadanya, namun terlihat anggun dan  berkilau dibalut kesederhanaan dan kehalusan budinya.

***

 

6 tahun kemudian

Udara pagi menerobos masuk melalui terali besi saat Aisyah membuka jendela kamar. Ditariknya napas dalam-dalam seolah ingin menyimpan oksigen lebih banyak dalam tubuhnya. Jemarinya langsung menjepit rambut sebahu agar terlihat rapi. Langkah kakinya menuju kamar mandi yang ada di samping ruang tidurnya.

Rok Warna abu, atasan motif gradasi dipadu jilbab spasmina warna senada membuatnya tampak lebih muda dengan sedikit polesan di wajah, dipulasnya bibir dengan lipstik berwarna lebih cerah dari biasanya.

Langit cerah, tampak biru bersih. Burung-burung menari-nari kesana kemari seakan menyambut hari dengan bersuka ria. Dipacunya motor metic menuju kampus untuk melaksanakan kewajiban sebagai dosen sebelum nanti menjelang siang akan mengisi seminar di sebuah perusahaan swasta.

Usai kelas, gadis itu pun melangkahkan kaki keluar diikuti oleh para mahasiswa yang berebutan menuju kantin kampus untuk sekedar mengganjal perut yang mulai memaksa untuk diisi.

“Setengah jam lagi, acara di mulai. Batinnya” sembari melirik arloji dipergelangan tangan.

Motor matic itu pun langsung berbaur dengan padatnya kendaraan di jalan raya. Tidak memakan waktu lama untuk sampai di lokasi yang tidak terlalu jauh dari kampus.

Wajah manisnya terpampang jelas di baliho yang terpajang di pintu gerbang perusahaan. Tidak sulit baginya untuk menemukan ruang seminar. Saat dirinya membuka helm, seorang security langsung mengenali wajahnya dan mengantarnya menemui pimpinan perusahan.

Bangunan enam lantai yang berdiri kokoh dipinggir jalan tol ini dilengkapi dengan taman kecil yang tampak asri dengan fornitur bergaya modern. Memasuki lobi, di pojok ruangan tampak dua orang gadis resepsionis sedang asyik menerima telpon. Dia melempar senyuman saat Aisyah ditemani security menuju pintu lip.

Pak Ramdan, nama yang tertera di pojok kiri baju lelaki dengan berseragam warna coklat susu layaknya polisi.

“Kalau boleh tahu, perusahaan ini bergerak di bidang apa ya pak?”

Lelaki dengan rambut cepak ini langsung menolek setelah memencet lantai yang akan mereka dituju.

“Properti Bu, walau tergolong baru, namun perusahaan ini berkembang pesat. Mungkin karena pimpinannya yang masih muda!” Jawabnya.

Aisyah hanya mengangguk,

“Sudah lama bapak kerja di sini?”

” Sejak baru berdirinya perusahaan ini dua tahun lalu,”

Dengan suara menggebu-gebu lelaki ini mengisahkan pengalamannya selama dia bekerja. Seolah menandakan dia sangat menikmati pekerjaannya, dan sangat mengagumi pimpinan perusahaan yang dikenal pemurah ini.

Aisyah sesekali menganggukkan kepala sembari tetap berjalan mengikuti lelaki itu menyusuri lorong menuju ruangan bosya.  Hingga akhirnya dia berhenti persis di depan pintu dan langsung mengetuknya dari luar. Jawaban dari dalam membuatnya langsung membuka pintu dan mengabarkan ibu Aisyah sudah datang.

“Silahkan masuk Bu!” Sambil security membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkannya duduk di kursi tamu.

“Tolong bapak infokan semua karyawan berkumpul di aula, acara akan segera kita mulai”, ucapnya lembut.

Aisyah seperti tidak asing lagi dengan suara yang didengarnya. Namun dia masih ragu sebelum dia melihat wajah lelaki tersebut.

“Baik, pak saya permisi ucapnya sambil berlalu meninggalkan ruangan.

Mata Aisyah terbelalak melihat lelaki jangkung dengan postur atletis berdiri di depannya dengan tegak sembari mengulurkan tangannya.

“Parhan…, apakah aku sedang bermimpi?”

Lelaki itu langsung membungkukkan badannya dan mengulurkan tangannya ke arah Aisyah yang masih duduk terpaku. Seolah tidak percaya dengan penglihatannya. Lelaki berwajah cool dengan kemeja biru langit dipadu dengan jas berwarna hitam dan celana hitam itu terlihat berwibawa walau masih berusia muda.

“Ya kak, saya Parhan, kakak tidak sedang bermimpi. Jawabnya lalu duduk di depan Aisyah.

Mereka berdua larut dalam berbincangan masa lalu hingga akhirnya terdengar deringan telpon yang mengabarkan semua sudah siap di aula. Keduanya pun keluar dari ruangan dan berjalan beriringan menuju aula yang sudah dipenuhi oleh hampir ratusan karyawan.

Ruangan luas dengan cat warna putih, dilengkapi meja panjang di bagian depan  dengan enam buah kursi serta layar LCD yang berada di pojok ruangan serta laptop yang sudah siap dioperasikan. Tampak seorang lelaki sedang sibuk mengatur posisi LCD yang disambungkan ke laptop.

Parhan duduk di tengah, di sebelah kanannya Aisyah serta dua orang lelaki yang akan bertugas sebagai operator dan moderator.  Untuk beberapa saat Parhan memberikan kata pengantar sekaligus sambutan sebelum Aisyah menyajikan materinya.

Semua pandangan tertuju kepada gadis manis yang sedang berdiri di depan. Tampak kekhusyukan dan keseriusan terlihat dari wajah peserta. Semuanya menikmati rangkaian kata demi kata yang diucapkan Aisyah, seolah menghipnotis  peserta yang hadir.

120 menit berlalu seolah melesat cepat, keantusiasan peserta semakin terlihat saat sesi tanya jawab. Sebagian besar mengangkat tangan agar bisa diberikan kesempatan bertanya. Namun sampai waktu berakhir banyak peserta yang tidak bisa terlayani. Kepuasan dan kecerian  terpancar dari setiap wajah yang keluar dari aula seolah ada hal baru yang mereka peroleh.

Mata Parhan dengan cermat memperhatikan semua gerak gerik gadis yang dipanggilnya kakak itu. Batinnya berbisik.

“Tidak heran jika almarhum kak Fadli tergila-gila padamu”.

Usai acara pengusaha muda itu pun mengajak Aisyah makan di salah satu restoran favoritnya. Tanpa banyak alasan, ibu dosen yang terkenal santun itu pun mengikuti ajakan lelaki yang pernah menjadi muridnya itu setelah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba tuhan. Terdengar celotehan yang saling sambung menyambung membuat mereka lupa matahari mulai condong ke barat. Keduanya berpisah dengan rasa yang tak tergambarkan dengan kata-kata. (bersambung)

Tinggalkan Balasan