Lelah dengan Keadaan.(1)

Sejak dua hari lalu pundak dan kepalaku terasa berat, sudah lama rasanya aku tidak mengecek kesehatan.

Pikiran yang selalu merasa takut dengan kenyataan jika memeriksakan diri akan mendapatkan kenyataan yang lebih mengejutkan ada sakit yang bersarang di badanku.

Pikiranku terus berkecamuk, menghipnotis diri sendiri dengan sugesti sehat dan tidak ada apa – apa dengan tubuh yang menjelang tua.

Panggil saja namaku, Bu Intan umurkuku sudah mencecah angka 53 tahun profesi yang kata orang selalu dipertanyakan keloyalitas dalam bekerja.

Hanya karena okmun yang malas karena gajinya kecil semua kami yang berprofesi sebagai pendidik selalu salah dan menjadi ajang uji coba dari kurikulum yang terus berganti karena kegagalan peserta didik.

Ah kenapa sekolah dan guru yang disalahkan jika peserta didik gagal, apakah tidak ada factor lain yang menyebabkan kegagalan mereka.

Kurikulum baru, dengan semangat baru kami menyambutnya walaupun terseok – seok tetap kami jalani.

Aplikasi yang digunakan tidak bisa dengan ram kecil, dengan mengencangkan pingang kami membeli perangkat perang untuk mengajar, dari yang namanya laptop sampai dengan HP kami ganti.

Belum lagi waktu yang dari pagi sampai kesore mengajar harus ditambah dengan mengali ilmu lewat webinar menjelang malam masih tetap dilakukan.

“Niko, mana tugasmu.” Ucapku lembut.

Bahasa yang dulu sewaktu sekolah dulu hanya satu dua orang guru mengucapkannya sekarang menjadi keharusan untuk mengakomodai kepentingan peserta didik.

“Peserta didik tidak boleh dikerasi harus berkata lemah lembut untuk memancing minat mereka belajar.” Itu kata pamungkas yang selalu dikatakan oleh narasumber yang memberikan materi webinar yang diikuti.

“Intan, apa kerjamu di rumah sampai PR tidak kau buat.” Itu dulu kata guruku sewaktu aku sekolah.

Tapi sekarang, peserta didik yang malas sekolah dan sering bolong kehadiranya harus disapa dengan lembut.

Sekarang menjadi santapan guru – guru untuk menahan hati dan rasa, karena tuntutan dunia pendidikan katanya.

Kepalaku yang sudah berdenyut karena sejak seminggu yang lalu anakku yang kuliah meminta dikirimi uang tambahan karena laptop butut yang juga menjadi alat perangnya untuk kuliah rusak.

Tatapanku nanar kearah laptop yang baru sebulan ini menjadi alat perang mengajar, lebih besar kapasitasnya alias sudah SSD windowsnya kata penjual sewaktu mempromosikannya.

Apakah aku harus mengunakan laptop lama yang sekarang berada di tangan  anakku.

Rasanya tidak sampai hati untuk mengatakannya, ingin membeli yang baru rasanya uang belum cukup.

Ingin membeli dengan cara mencicil rasanya aku yang mengajarkan ilmu ekonomi kepada peserta didikku tidak mengamalkan apa yang aku ajarkan.

Kepalaku semakin sakit, sejak tadi setelah menyelesaikan tugas mengajar aku hanya berjibaku ditempat dudukku.

Tidak memperdulikan teman sejawat yang sibuk dengan mengikuti webinar yang berada pada jam efektif mengajar.

Banyak sekali yang membuat kepalaku bertambah sakit.

Ada beberapa tugas tambahan yang menyita waktuku, sehingga waktu istirahat berkurang.

Badan yang sudah menjelang tua rasanya tidak mampu menahannya.

Pandanganku gelap, suara riuh yang tadi masih masuk dipendengaranku hilang seketika.

(Bersambung)