Madunya Cinta (Part Akhir)

Pantai, ternyata dia masih ingat, tempat dimana aku selalu menenangkan diri jika gundah datang mengundang. Aku mengeluh dalam hati, kenapa pantai ini akan menjadi akhir semua cerita kami. Dan sekali lagi, kau suamiku telah mengambil satu lagi dariku, pantai. Pantai tidak akan menjadi tempat untukku kunjungi jika merasa gundah dan mebuatku  tenang, kau telah mencemarkannya dengan kisah madu pahit dalam rumah tangga kita, tak bisa aku pungkiri selama kita mengarungi bahtera rumah tangga selalu ada saja godaan yang menerpa tapi aku selalu berpegang teguh pada janji kami tidak akan percaya dengan pihak lain, kecuali pasangan kami yang mengakuinya.

Bukannkah dia, suamiku sudah mengakuinya. Maka pantai ini tidak akan bisa membuatku tenang. Aku hanya tersenyum dengan rasa sakit hati yang mendalam, memandang sekilas padanya kemudian pandangan mataku tertuju ke laut dalam yang menenggelamkanku, aku karam di dasar lautannya.

“Cinta, Abang tahu abang salah. Tapi cobalah untuk mengalah sedikit saja.” perkataannya yang membuatku menjadi muak, kenapa aku yang harus mengalah kenapa tidak dia yang mengalah dengan tidak menikah lagi.

“Abang mau keturunan tapi.” suamiku menjeda kalimatnya untuk menarik napas tapi aku malah memotongya

“Aku juga mau keturunan, aku sabar kenapa Abang tidak sabar.” Aku berusaha menahan emosiku mengucapkannya.

“Tapi Dia sudah memberikan Aku keturunan Cinta.” Sungguh aku teramat luka dengan ucapannya.

“Hanya keturuanan saja yang dipikirkannya, pernahkah dia berfikir aku lebih sakit dengan perkataan mereka yang diluaran sana.” Jawabku singkat

“Sekarang mereka tidak akan berkata lagi, sekarang kita sudah punya keturunan. Anakku sama saja dengan anak kita Cinta.” Berusaha meraih tanganku, cepat aku menarik tanganku

“Aku tidak butuh anak wanita lain menjadi anakkku, sekarang aku sudah memilikinya.” Aku berkata itu sambil menunjuk perutku yang kini berisi, menetes airmataku. Aku berharap memberi kabar ini dalam kondisi yang tidak seperti sekarang ini.

“Kau hamil Cinta?” seakan tak percaya suamiku bertanya

“Siti hajar menunggu lama tapi dengan keikhlasannya maka hamil juga, mungkin ini buah sabar dan ikhlasku. Tapi ke ikhalsanku harus aku bayar mahal, aku ikhlas kalau aku harus mengasuhnya sendiri,” aku melepaskan semua yang menghimpit dadaku.

Aku melihat wajah didepanku yang bingung, tapi aku sudah bulat dengan keputusanku. Karena aku tidak mau dimadu.

“Jangan hukum aku, Cinta.” Suara memelasnya tidak akan mengubah madu yang  diberikanya menjadi manis

“Aku tidak menghukum, tapi aku hanya mau iklhas saja.” jawabku sambil berdiri

“Aku ikhlas Abang menikah lagi, jadi ikhlaskan aku untuk menjaga anak kita sendiri.” Aku berusaha tetap menahan emosiku, semua sudah terjadi.

“Aku tidak menginginkan madu yang terasa manis buat Abang tapi sangat pahit buatku, dan aku tidak meminta abang meninggalkannya tapi tinggalkan aku dengan menalakku saja.” setelah mengatakan itu aku berjalan meninggalkan pantai dengan laut yang sudah membuatku karam di dalamnya. Pantai tidak lagi menjadi tempat yang membuatku tenang tapi telah menengelamkanku.***

Tinggalkan Balasan