“Karena sudah sepuluh tahun, aku tahu Abang bosan dengan pernikahan kita. Sudah lama Ratih tidak pernah melihat Abang tersenyum apalagi tertawa lepas seperti sore tadi.” Ucapku menahan perih yang tiba – tiba hadir di sudut hatiku.
Langkahku ku percepat, meraih handel pintu kamar membukanya dan langsung menuju tempat tidur menarik selimut dan memejamkan mata berharap tidur menjemput mimpi yang indah.
“Rat, apa maksudnya. Abang tidak mengerti apa yang Ratih katakana. Bangun Rat, jelaskan jangan memperkeruh suasana. Bangun Ratih.” Ucap Bang Faisal sambil mengelus bahuku disebalik selimut.
Aku menghitung domba yang melewati pagar untuk menjemput tidurku tapi semakin aku menghitung semakin aku tidak bisa tidur, suara Bang Faisal bukan semakin pudar malah bertambah jelas.
“Ratih, bangun. Abang minta maaf, Abang tidak sengaja melupakan hari pernikahan kita. Tahun tahun sebelumnya Ratih juga yang selalu mengingatkan Abang. Jangan hanya karena Abang lupa tahun ini Ratih merajuk.” Bang Faisal masih terus memujukku.
Mengalah, akhirnya aku membuka selimut yang menutupi seluruh badanku. Duduk memandang lekat Bang Faisal. Aku meraih handphoneku yang aku letakkan di bawah bantal. Membuka aplikasi galeri, setelah menemukan foto yang aku cari. Aku menyodorkan foto itu kepada Bang Faisal. Menanti apa yang akan dikatakannya setelah melihatnya.
Lama hening, tidak ada yang membuka kata. Pandanganku masih terpaku kepada Bang Faisal, masih terdiam. Hatiku menyungging senyum lirin, aku meraih selimut dan menata diriku untuk mengambil posisi tidur, hanya itu yang ada dikepalaku saat ini. Ingin menjemput mimpi semoga bangun besok pagi, semua ini hanya mimpi belaka.
***
Entah karena terlalu lelah, aku melewati shalat malam dan subuh, netraku terasa perih tapi kupaksakan untuk terbuka. Ragaku sudah menolak untuk berlama – lama tidur, pandangan pertama yang aku lihat pagi ini adalah sosok Bang Faisal yang masih mematung duduk dihadapanku sewaktu aku meninggalkannya tidur.
Dengan lemah aku membangunkan badan, duduk dihadapan Bang Faisal. Mengibas – ngibaskan tanganku di depannya. Tidak ada respon akhir dengan berat hati aku menyentuh wajahnya, dingin, apa yang terjadi dengan Bang Faisal, tiba – tiba cemas mengelayut di hatiku.
“Bang…bang…sadar bang. Jangan buat Ratih takut Bang.” Ucapku sambil mengelus wajah dengn tangan kananku sementara tangan kiriku menguncang tubuh Bang Faisal.
“Bang sadar bang.” Sekali lagi aku menyadarkan Bang Faisal
Akhirnya aku melihat tetes air meluncur dengan sempurna di sudut matanya, lega hatiku walaupun respon Bang Faisal diluar dugaanku.
“Kita sholat subuh dulu Bang.” Ajakku setelah beberapa hari ini Bang Faisal selalu sholat di masjid, hari ini karena terlambat bangun dia menjadi imamku.
***
Bang Faisal membalikkan badannya menghadap ke arahku ketika aku mengaminkan doanya. Netra Bang Faisal menatapku tak berkedip.
“Sudah berapa kali Ratih melihat Abang.” Ucapnya sendu
“Melihat apa? melihat Abang tertawa lepas atau melihat Abang bersamanya.” Pancingku setelah mendengar ucapanya barusan.
“Ratih ini bukan seperti yang Ratih pikirkan, dia tidak ada arti khusus dihati Abang. Tapi yang membuat Abang tertawa lepas adalah tingkah anaknya.” Ucap panjang lebar Bang Faisal
“Mata memang bisa menipu tapi hati tidak Bang.” Ucapku perih
“Hati juga bisa salah Rat.” Ucap Bang Faisal lagi
“Aku ikhlas jika Abang memilihnya, aku ingin melihat senyum dan tawa Abang lagi. jangan jadikan orang yang bersalah karena menghilangkan senyum dan tawa dari kehidupan Abang. Kondisi Abang yang mematung semalam sudah jelas, jangan menambah dusta diantara kita.” Ucapku menahan sebak di dada.
Hatiku tidak seluas samudra, ikhlasku hanya sebatas merelakan Bang Faisal bahagia dengan yang lain tanpa aku disampingnya. Biarkan dermaga ikhlasku memberikan aku ketenangan dalam menjalani hidup dalam sepi yang memanjang.
Tak akan aku biarkan dermagaku hanya menjadi pelabuhan duka yang tidak berujung bahagia buat aku dan Bang Faisal.
Tekatku bulat untuk menutup dermaga hatiku buat Bang Faisal, ikhlasku melihat senyum dan tawa lepas tanda dirinya bahagia.***