Senja datang kembali, Bang Rustam belum juga pulang. Sementara anak keduaku sudah sejak dari pagi kesehatan semakin menurun, tidak ada yang biasa aku lakukan selain membalur seluruh tubuhnya dengan minyak kayu putih untuk membuat tubuhnya merasa nyaman sementara.
Untung saja sejak azan sholat dhuhur berkumandang anak kedua tertidur, mungkin saja karena dari pagi tidak henti – hentinya aku membaca ayat – ayat suci alquran untuk menenangkan.
Magrib sudah berlalu, semakin malam apalagi sholat isya’ sudah pula terlewatkan, hatiku gelisah kemana perginya Bang Rustam.
Zaman sudah modern tapi karena penghidupan kami tidak bisa seperi yang lainnya menikmati canggihnya teknologi. Handphone seken alias bekas hanya diperuntuk untuk si Abang, jika tidak anak kami tidak akan dapat belajar selama masa pandemic ini.
Aku gelisah bagaimana caranya menghubungi Bang Rustam yang sudah hampir dua hari tidak pulang keruman.
Samar – samar aku mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah, dengan penasaran aku mengintip dari balek jendela kayu. Polisi, kenapa ada polisi di depan rumahku, tapi aku masih berpikiran positif mungkin hanya menumpang parkir, maklum saja di depan rumahku adalah lapangan luar milik pengusaha kaya yang katanya ingin membangun mall, kami hanya menunggu waktu untuk pindah dari sini, bertambah pusing kepalaku jika mengingat itu semua.
Netraku membulat, intipan dari balik jendela menghapus praduga, ternyata polisi menuju ke arah rumah reotku, hatiku mulai gelisah ada apa ini?
Tidak menunggu pintu diketuk, aku langsung membuka pintu.
“Ada apa ya Pak? Ucapku penasaran, tidak mau menunggu Pak Polisi bertanya kepadaku.
“Maaf apa benar ini rumah Pak Rustam?” aku semakin penasaran dengan Pak Polisi pertanyaanya langsung aku jawab dengan anggukan kepala yang cepat.
“Maaf Bu, Pak Rustam mengalami kecelakan. Sekaran jenazahnya berada di rumah sakit daerah. Silakan ibu datang kerumah sakit untuk mengidentifikasi mayatnya.” Deg jantung berhenti seketika, gelap akhirnya aku tidak ingat apa – apa lagi.
***
Samar – samar aku mendengar suara gaduh, membuatku membuka mata perlahan. Di sampingku anakku tertua yang biasa kami panggil Abang, menangis sambil memeluk adiknya yang terlihat kesakitan.
Pikiranku melayang dengan berita yang dibawa Pak Polisi, tak ada tangis yang bisa aku keluarkan.
“Intan tabahkan hatiku nak.” Suara Ibu RT menyela masuk ke kamarku.
“Jenazah Rustam di sudah dibawa kerumah oleh warga, kami hanya menunggu dirimu siuman dari pingsan. Mau diselenggarkan sekarang atau ada yang mau ditunggu? Lagi – lagi aku mendengar penjelasan dari Bu RT.
Aku melihat ke arah jendela kamar, pagi menyonsong. Mentari sebentar lagi menyinari bumi tapi mentari hidupku telah direngut dari hidupku. mampukah aku menjalani pagi – pagiku tanpa mentari hidupku.***