Menatap langit yang meneteskan air perlahan tetesan yang hanya satu persatu selalu disebut gerimis sampai bagaikan dicurah air dari langit menjadi salah satu kegemaranku sejak kecil.
Melihat air turun dari langit selalu saja aku bertanya kepada Abah, siapa yang menumpahkan air dari sana sambil tangan kecilku menunjuk ke arah langit yang selalu mempesona warnanya.
Apalagi mendengar cerita dogeng ketika masih berumur dua tahun oleh nenek yang menjadi tetua di rumah besar peninggalan Atok.
“Hujan turun karena Bidadari di atas sana lagi bersedih.” Ucap nenek memulai dongengnya.
Senyumku mengerucut ketika setelah dewasa ternyata dongeng nenek hanya bualan untuk pengantar tidur.
Tapi entahlah sejak kecil aku sangat menyukai hujan seakan ada perasaan tenang ketika hujan membasahi bumi.
Aku melihat langit mendung, hatiku bernyanyi sebentar lagi hujan akan membasahi bumi batinku.
Melihat jam mengkira – kira waktu turunnya hujan, dulu kata guru IPA ku sewaktu SD mendung menandakan akan turun hujan, dan aku percaya.
Tapi berjalannya waktu ternyata walaupun setelah pengetahuanku bertambah bisa saja hujan tidak jadi walaupun mendung sudah mengelayut.
Tapi aku selalu percaya mendung akan selalu dibarengi hujan, entah lah kadang logikaku selalu salah dengan perasaanku.
Sekali lagi aku menghela napas panjang, pikiranku kacau sudah sepekan ini aku memikirkan ramadhan yang sudah di ujung mata, tapi hilal dana untuk pulang kampung belum juga kelihatan.
Hujan juga tidak turun walaupun beberapa hari mendung datang menyambang tapi entah karena apa berarak meninggalkan langit di atasku dan menghilang sehingga hujan tidak jadi datang.
“Bu Manisaha tidak masuk kelas?” aku dikejutkan oleh suara yang menganggu lamunku.
Aku tersenyum malu, ternyata lamunanku berpanjangan sehingga waktu istirahat terlewat dan sekarang aku sudah harus masuk kelas, kasihan perutku yang belum tersentuh minuman ataupun makanan sementara jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, dengan lemas aku berjalan menuju kelas.
***
“Maaf lahir bathin Bapak/Ibu semoga puasa kita diterima amal ibadahnya.” Kata penutup tadi siang yang diucapkan oleh Bapak Kepala Sekolah setelah acara salam – salam antara semua komponen sekolah.
Aku memandang langit biru, banyak bintang bertaburan maka malam ini hujan tidak akan turun, itu satu lagi feelingku berasal dari pengamatanku entah benar menurut teori geografi aku tidak tahu.
Pikiranku terus melayang mencari akal untuk mengakali Emak Abah untuk tidak pulang kampung tahun ini.
Tabunganku habis untuk membeli perumahan di Batam tempat aku mengabdi, ya aku memilih untuk mengajar di Batam daripada mengajar di Karimun, maklum pikiran besaranya pendapatan guru honor di sekolah swasta lebih besar menjadi pertimbangan waktu itu.
Malu rasanya mengatakan kepada Emak Abah jika aku mencicil rumah, padahal Emak Abah sudah berpesan untuk tidak mengambil perumahan, tapi aku lebih berfikir ekonomis jika mencicil perumahan dari mengontraknya dari orang lain, ha ha ha lagi – lagi feeling ilmu yang aku ajar mendominasi keputusan untuk mengambil perumahan, ya aku guru ekonomi di SLTA.
***
Hujan kapan hujan, aku menatap langit jangan bilang hujan tak jadi datang karena sekarang bukan bulan dengan akhir “Ber” sehingga tidak hujan.
Ah aku sudah lupa kapan bukan dengan akhiran “Ber” terjadi hujan, pancaroba selalu berubah sehingga hujan tidak dapat diprediksi turunnya kapan.
Hujan turunlah sehingga aku bisa mengambil keputusan untuk pulang kampung untuk menyambut ramadhan bersama Emak Abah di kampung.
Ramadhan dan hujan mungkin tidak berarti untuk orang lain tapi untukku ramadhan dan hujan penentu pulang kampung, aku mendesah masih gabut dengan pikiranku yang bercabang antara pulang atau tidak menjelang ramadhan yang tinggal dua hari lagi, pandanganku semakin gelap dan aku lupa tentang hujan.
***
Dingin menusuk tulang aku mencari selimut yang selalunya mendampingi tidurku entah ada di mana, suara gemericik di luar kamar membuatku membuka mata perlahan aku menajamkan pendengaran ingin memastikan jika hujan memang benar turun.
Hatiku berteriak gembiran, aku pulang kampung, bergegas aku meninggalkan tempat tidur walaupun mataku masih mengantuk berat, ingin tidur tapi mataku sempat bertabrakan dengan jam dinding yang menunjukkan angka mendekati enam, sudah terlalu lama aku terlena dengan hujan hampir saja meninggalkan kewajibanku kepada Sang Pencipta.
***
Langkahku ringan menuju pelabuhan, mengambil kapal jam 10 setelah hujan reda sejak setengah jam yang lalu.
Melihat tiket di tangan membuatku hatiku gembira tidak terkira, Emak Abah Intan pulang, sambil menatap langit dari pelabuhan biru taka da awan mendung yang menyelimuti, kata orang kampungku biar huja di darat daripada hujan di laut, karena itu aku gelisah bebarapa pekan ini karena kabar bahwa hujan sering turun di laut sehingga menyebabkan ada kapal yang kehilangan kendali sehingga terlambat sampai di tempat tujuan.
Dengan bismillah aku menginjakkan kaki kanan pada pintu kapal berharap perjalanku sampai ke tempat tujuan, kampung halamanku.***