Perlahan tapi pasti, semuanya mulai berubah. Akhirnya aku tidak tahan lagi, jika kau mau mendua hati jangan hatiku yang kau sakiti. Lelah sudah lelah aku bertahan, bagimana tidak dari semua nol sampai semua menjadi serba mewah teramat mewah aku berjalan beriringan bersamamu, sekarang kau mau mendua aku tidak akan mau kau duakan.
Namanya saja suami, tapi aku sudah lama tidak dianggapnya istri. Lihatlah sudah berapa lama dia tidak menjadi imamku, bukan aku mau mengatakan aku perempuan ahli surge tapi aku juga manusia biasa yang pada saat tertentu ingin juga merasa menjadi istri yang imamnya mengajaknya sholat bukan malah sebaliknya.
Deru mobil yang berlalu lalang tidak memekakkan teligaku, mungkin karena aku sudah terlalu alpa akan rasa bising yang memekakkan teliga. Rutinitas pagi mengantar buah hatiku kesekolah menjadi hiburan sejak 2 tahun terakhir ini. Bisa dihitung dengan jari, selama 2 tahun ini kau yang bergelar suamiku, hanya pulang pas buah cinta kita ulang tahun, setelah itu hari aku bertambah tua. Dan terakhir entah untuk menunjukkan kau setia kau membawa seikat mawar dengan jumlah 99 dan cicin berlian dengan harga yang bagiku bukan hanya untukku saja kau belikan. Miris bukan, karena aku menemukan nota dengan 2 cincin berlian tapi hanya satu yang aku terima.
“Selamat ulangtahun sayang.” Ucapmu dengan memberikan kecupan didahi hanya itu.
Waktu aku menanyakan kita makan romantic dimana kau hanya menjawab
“Aku sibuk, honey.” Kita atur lain waktu.
Kau berlalu, berjalan menuju kamar buah cinta kita, berlama – lama disana dan akhirnya kau pergi dengan alasan ada urusan kantor yang tidak dapat diwakilkan. Aku kesal, tapi lebih baik kau pergi daripada kau di rumah tapi hanya handphone yang kau perhatikan.
***
2 hari lagi, buah cinta kita akan bertambah usia. Aku tidak perlu repot untuk menanyakan apakah kau akan hadir, karena aku pasti kau akan datang. Karena harga dirimu terlalu tinggi, kau tidak akan mau jika ada tetangga atau kolegamu yang bercerita tentang rumah tangga kita yang tidak berbentuk rumah tangga lagi. Hanya rumah yang sudah runtuh tangganya, aku pasti itu.
Tamu sudah datang satu persatu, buah hatiku sudah bertanya dari setengah jam yang lalu. “Kapan Ayah pulang, Ma?” wajahnya sudah cemberut dari tadi, karena aku tidak bisa menjawab kapan kau akan pulang.
“Sayang, Ayah pulang.” Suaramu bagaikan air dingin yang menyejukkan hati buah hati kita. Senyumnya langsung terbit, padahal tadi bisa aku pastikan jika sampai kau tidak datang maka wadah airmata yang sudah penuh itu akan turun bagaikan bah diwajah kecilnya.
Aku melihat dia berlari menghampirimu dengan rasa rindu yang menggunung, memelukmu seakan takut kau akan pergi lagi dan tidak tahu kapan akan pulangnya.(Bersambung)