Hati, Mendua Miliknya.(Part2)

Senyum culasmu, dengan pongah berkata

“Anak Ayah, baru juga sebentar tidak ketemu sudah segunung rindunya.” Aku hanya tersenyum kecut, pandainya kau bersandiwara, seakan kau Ayah yang paling ada untuk buah hati kita, batinku geram. Tapi tidak mungkin aku merusak suasana bahagia buah hati kita. Biarkan dia bahagia dihari bertambah usianya.

Tamu – tamu seakan tersihir dengan ceritamu, bagaimana kau sangat mencintaiku dan menyayangi anak kita. Sekali lagi kau menipu mereka yang hanya melihat kita dari luarannya saja. aku muak, aku lelah tapi sekali lagi aku hanya memikirkan hati buah hati kita, akhirnya aku ikut bersandiwara, kau memeluk pinggangku memaperkan kemesraan yang sudah lama tidak kau hadirkan dalam rumah tangga kita. Tapi aku tahu bagaimana kau resah, lihat saja sebentar – sebentar kau melihat android ditanganmu yang tidak berbunyi.

Kesal akhirnya aku berbisik kepada buah hati kita

“Sayang, pinjam handphone papa buat foto. Hasilnya lebih bangus daripada handphone mama.” Aku berusaha membuat anakku memihak kepadaku.

Berhasil, aku melihat bagaimana kau tidak berkutik ketika buah hati kita dengan memelas meminjam handphonemu untuk berfoto bersama – sama temanya.

“Cepat ambil handphoneku.” Ancammu kepadaku setelah kau gagal dengan berbagai cara meminta handphone dari buah hati kita.

Aku tersenyum puas, aku pura – pura meminta handphonemu. Aku pastikan gagal memintanya.

“Dia tidak mau memberikannya bang.” Aku sengaja berkata dengan manja ditengah ramainya tamu, aku tahu kau kesal sangant kesal. Apa peduliku, kau saja tidak peduli dengan diriku lagi.

***

Hari terpanjang kau berada dirumah hari ini, pukul sudah menunjukkan angka 22 malam, tamu sudah pada pulang. Tapi kau tidak bisa pergi, handphonemu masih disandra buah hati kita. Dia memeluknya erat, aku tahu kau kesal. Kau sudah mencoba mengambilnya tapi buah hati kita malah menangis keras. Aku tersenyum dalam hati, puas.

“Rasakan bagaimana rasanya jika kau tersakiti.” Batinku.

Akhirnya dengan kesal kau masuk ke kamar, masuk ke kamar mandi. Aku mendengar suara shower berarti kau mandi untuk menghilangkan kekesalanmu. Aku duduk dipingir ranjang kita, memperhatikan semua tingkah lakumu seperti cacing kepanasan sejak pukul 21 tadi. Itu jam terlambat kau berada dirumah tapi hari ini karena buah hati kita kau tidak jadi keluar rumah.

Bunyi bel rumah membuat aku terkejut begitu juga dengan dirimu,

“Siapa sich yang bertamu malam – malam begini.” Kataku kesal sambil memandang dirimu

Langkah mendekati kamar tidur kita, aku pasti salah satu dari ART kita yang akan memberitahu ada tamu, dan aku pasti itu bukan tamuku. Aku memandang dirimu, yang seperti pucat bagaikan mayat hidup, matamu gelisah, aku jadi heran jadinya.

“Tuan, ada tamu.” Suara ART dari luar kamar kami terdengar

“Siapa yang mencari Abang malam – malam begini?’ Tanyaku, hanya dijawab dengan menaikkan bahunya saja dan menuju keruang tamu.

Aku mengikuti langkah suamiku keruang tamu, pemandangan aneh terlihat disana. Seorang wanita muda dengan perut membuncit dengan pandangan mata yang beringas, iya pandangan mata seperti mau menelan seseorang, tepatnya suamiku yang mau ditelannya.

“Kenapa handphonenya tidak diangkat?” suaranya mengelegar memehuni ruang tamu kami yang luas.

Aku memandangnya takjub, sudah lama aku menjadi istri suamiku belum pernah sekalipun aku berkata dengan nada keras kepadanya.

“Anda siapa?” tanyaku dengan nada tidak suka dengan tingkahnya

“Saya Istrinya.” Sambil berkata wanita itu menunjuk kearah suamiku

Aku berjalan menuju sofa dan duduk dengan angun seperti tidak terjadi apa – apa dan berkata

“Silakan duduk, anda datang kerumah saya. Dan saya harap anda sopan.” Suamiku masih berdiri terpaku bagai pasak yang sudah tercacak dibumi tak bisa dipindahkan mendengar suaraku.

“Silakan duduk.” Sekali lagi aku menyuruh tamu tak di undang itu untuk duduk

“Abang juga duduk.” Perintahku kepada suamiku

Dengan terpaksa kedua orang itu duduk, si wanita duduk berhadapan denganku, sementara suamiku memilih duduk di sebelah ku dengan jarak bantal sofa. Aku tahu dia tidak berani untuk duduk terlalu dekat denganku.

Aku memandang kedua mahluk ciptaan tuhan yang bergelar manusia, tapi apakah mereka bertingkah laku seperti manusia, batinku merintih.

“Anda istrinya?” tanyaku kepada si wanita, dijawab dengan anggukan kepalanya

“Terus saya siapa?” aku bertanya sambil bergantian memandang suami dan wanita yang mengaku istrinya.

“Anda mantan istrinya.” Jawab si wanita ketus dan memandang kearah suamiku

“Anda percaya?”” aku masih melontarkan pertanyaan

“Abang….” Suara wanita itu sepertinya meminta penegasan dari laki – laki yang menjadi suami kami.

Sunyi tidak ada jawaban dari laki – laki pengecut di antara kami,

“Silakan bawa suami anda pergi. Karena mulai saat ini saya tidak punya suami lagi.” intonasi suaraku datar, aku berdiri dan berjalan menuju kamar anakku.

Sentuhan ditanganku tidak membuatku berhenti melangkah, aku tahu suamiku berusaha memegang tanganku.

“Maafkan Abang.” Katanya lemah

“Pulanglah dulu, nanti aku pulang. Jangan buat keributan dirumahku.” Suara suamiku kepada wanita yang mengaku istrinya.

“Pergilah, aku tidak butuh Abang.” Usirku pada suamiku

Aku terus melangkah menuju kamar anakku, dengan beban yang melayang jauh. Ternyata suamiku tidak pulang karena sudah ada pengantiku, menetes airmataku setelah mengunci pintu kamar anakku.***

Tinggalkan Balasan