Dari jauh aku sudah melihat bayangannya, sebenarnya sich bukan melihat tapi aku memang sengaja mencari bayangan lebih tepat aku selalu menunggu di ujung jalan ini. Tepat di jam begini pukul 7 kurang sepuluh pasti dirikan akan lewat dengan motor meticnya aku selalu berharap dia akan menawarkan aku menumpang seperti waktu itu. aku jadi tersenyum mengingat hari itu, bagaimana tidak hari itu adalah hari yang paling beruntung bagiku walaupun motor mioku mogok jalan tapi aku mendapatkan tumpangan dari seseorang sudah lama aku idam –idamkan.
Sebenarnya kami sudah lama menjadi tetangga tapi entah karena apa sejak satu waktu yang lalu sikapnya menjadi lain kepadaku. Sehingga aku merindukan keberadaannya, tapi aku tidak melihat dia menyimpan rindu yang sama untukku.
Flasback
Aku mengayun langkah kakiku kesal, bagiaman tidak kesal seharusnya aku sudah berada di jalan untuk menuju sekolah tapi karena motor mioku mogok mau tidak mau aku harus berjalan kaki sampai di ujung gang untuk naik oplet. Abangku yang sudah pergi dari tadi, sehingga aku tidak bisa menumpang dirinya untuk pergi kesekolah.
Sejak ada pandemic, kami para siswa disekolahku masuk dengan ship yang sudah ditentukan. Aku memandang kekiri berharap sahabat kecilku sekaligus tetanggaku lewat sehingga aku bisa menunmpang kesekolah. Dan benar saja doaku terkabulkan aku melihat motornya melintas
“Mal , aku nebeng sama kamu.” Teriakku sambil melambaikan tanganku sewaktu melihat Faiz melintas.
Faiz yang sudah terlanjut melintas menghentikan motornya dan menunggu aku menyusul kearah motornya
“Motor mio kamu kemana?” tanyanya setelah aku duduk diboncengan motornya
“Mogok.” Jawabku kesal.
Seperti biassa kami bercanda, bicara dari barat sampai ke timur. Tiba – tiba aku merasakan perubahan sikap dari Faiz. Gapura sekolah sudah kami lewati, di tempat parkir tanpa menungguku Faiz masuk ke dalam kelasnya. Ya aku dan kama beda kelas, tapi untuk belajar kami selalu bersama – sama. Sejak pandemic kami selalu berwhatsapp ria dengan chatnya sesekali kami video call, jika soal yang dikerjakan susah.
Hari ini untung saja jadwalku dan Faiz sama sehingga aku bisa menumpang dengan ke sekolah.
Jam pulang tiba, aku berlari menuju kelas Faiz untuk menebeng pulang kerumah.
“Win, Faiz mana?” tanyaku kepada siswa di kelas Faiz
“Sudah pulang.” Jawab Edwin.
Aku hanya bisa melonggo, bagimana tidak padahal aku sudah chat ke Kama untuk nebeng pulang ke rumah.
***
Aku masih menunggu motor Faiz lewat, tapi sampai jam segini aku belum melihat bayangannya. Dengan malas aku terpaksa menyetop oplet yang lewat daripada aku terlambat datang ke sekolah.
Aku masih menduga – duga apa yang menyebabkan Faiz berubah sikap kepadaku, sudah sepekan Faiz tidak membalas Chatku.
Melihat keluar jendela oplet tanpa sengaja mataku melihat motor Faiz melintas, berarti Faiz baru saja keluar dari gang rumah kami. Apakah Faiz sengaja tidak lewat, batinku lemah. Apa salahku, aku terus berfikir apa yang membuat Faiz mengacuhkanku tapi pikiranku tidak menemukan jawabannya.
Turun dari oplet aku melihat sekelebat bayangan Faiz yang berjalan menuju kelasnya, tapi aku tidak berniat untuk mendekatinya. Kalau Faiz memilih untuk menghindariku, maka harus mau tahu diri, batinku lemah.
***
Sebulan telah berlalu hidupku sepi tanpa kehadiran dan chat dari Faiz, aku juga tidak pernah melihat batang hidung Faiz disekolah ada yang kosong dalam relung hatiku. Tapi aku malu untuk menghampiri Faiz dirumah, begini – begini aku masih tahu diri masak anak perempuan yang harus mencari dulu. Aku menahan napas berat sebelum aku menghembuskannya kembali, semua yang sudahku baca tidak satupun yang melekat di kepalaku.
Aku sengaja duduk diteras rumah hanya untuk dapat melihat Faiz melintas jika dia harus mencari sesuatu. Terus menatap kejalan masih tetap berharap akan kemunculannya.
Aku masih terduduk lemah di kursi depan teras rumahku, sudah hampir magrib sebenarnya aku masih mau menunggu, mana tahu aku akan melihat Faiz. Tapi suara Ibu dari dalam sudah mengingatku untuk masuk, tabu katanya jika duduk diluar ketika azan berkumandang. Akhirnya aku harus menurut tidak mungkin hanya karena Faiz aku akan melawan apa yang dikatakan Ibu.
Selesai sholat magrib aku bergegas menuju ruang tam, mengintip keluar jendela berharap Faiz akan melintas di depan rumahku. Aku sudah bertekat untuk menghadang Faiz dan bertanya kepadanya mengapa sampai sepurnama dia mendiamkanku.
Mataku menatap tak percaya pandangan di depan rumahku, akhirnya aku melihat Faiz dengan cepat aku menekan panel pintu ruang tamu dengan berlari kecil aku menuju jalan didepan.
“Faiz.” Panggilku berharap Faiz berhenti, tapi Faiz mengacuhkan aku
“Faiz, apa salah Ais. Jika Ais bersalah, Ais minta maaf.” Kataku dengan sengaja memperkuat suaraku. Aku melihat Faiz berhenti dan berbalik memandang ke arahku.
“Ais lupa dengan kata – kata sendiri.” Katanya berusaha menyudutkan Aku
“Iya Ais lupa jika Ais sudah menyakiti hati Faiz.” Jawabku jujur
“Ais tidak berharap Faiz menghukum Ais karena Ais benar – benar tidak merasa membuat Faiz marah.” Aku berusaha menjalin komunikasi dan memecahkan permasalahan kami.
“Jika tidak merasa bersalah kenapa Ais tidak pernah mengatakanya kepada Faiz.” Faiz masih berkeras bahwa aku bersalah.
“Faiz kita sudah berkawan dari kecil, tak seperti biasanya Faiz menghindari Ais bukan, tapi sekarang Faiz menghindari Ais. Sudah sebulan Faiz menghindari Ais, Ais sudah berusaha mendekat tapi Faiz semakin menjauh.” Kataku emosi
Aku meninggalkan Faiz setelah mengeluarkan semua yang membeku di dalam hatiku, percuma juga aku berusaha berbaikan jika Faiz tidak mau mengatakan kesalahan aku apa?
Aku menghemas pintu depan dengan keras, dan berlari menuju kamarku dengan air mata yang dengan susah payah aku tahan. Akhirnya air mata ini terjun bebas setelah aku berbaring di kasurku. Aku kesal dengan Faiz yang marah padaku sedangkan aku tidak merasa membuat salah kepadanya.
Nada notifikasi gawaiku berbunyi berarti ada chat yang masuk.
“Faiz ada di depan pintu rumah Ais.” Chat dari Faiz
Tok … tok …tok pintu kamarku diketok
“Ais ada Faiz tu di depan.” Suara Ibu terdengar dari luar pintu kamarku
Mau tidak mau aku harus menjumpai Faiz, aku tidak mau ibu berfikiran yang macam – macam jika aku tidak menemui Faiz. Ini saya Ibu sudah selalu bertanya kenapa sudah lama kami tidak belajar bersaman.
Dengan malas aku meninggal ranjangku, mematuk wajahku dicermin dan berjalan menuju ruang tamu. Pandangan Faiz yang menyambutku kedatanganku diruang tamu dengan sudut pandang yang tidak bisa aku artinya. Ada apa dengan Faiz, batinku.
Aku duduk di depan Faiz, tapi aku tidak berniat untuk bicara duluan. Suasana hening menghatui kami, akhirnya aku memilih untuk bangun dari tempat dudukku, memilih masuk ke dalam daripada duduk tapi Faiz tidak membuka bicara hanya memandangku membuat aku kesal setengah mati.
“Ais.” Aku mendengar suara Faiz memanggilku
“Kalau hanya mau diam lebih baik Faiz pulang, Ais mau belajar dulu.” Ucapku tanpa memandang Faiz dan berniat melanjutkan langkahku menuju kamar.
“Kita harus bicara, tapi kalau Ais masuk ke kamar Faiz bicara dengan siapa. Bicara dengan kursi. “ katanya coba melucu
Aku membalikkan badan menuju ruang tamu dan duduk di kursi yang tadi aku tempati dan memandang tepat di manik mata Faiz, menunggu apa yang akan dikatakan Faiz padaku.
“Sewaktu kita ke sekolah bersama – sama waktu itu, Ais mengatakan Ais menyukai Dion teman satu kelas dengan Faiz. Faiz tidak suka itu.” Ucapan yang keluar dari mulut Faiz tentu membuatku spontan tertawa lebar. Faiz memandangku dengan kesal karena aku mentertawakannya. Faiz berdiri dari tempat duduknya membuat aku harus menghentikan tawaku
“Maaf, Faiz lucu. Ais tidak bermaksud apa – apa sewaktu mengatakan itu.” Ucapku sungguh – sungguh.
“Mungkin Faiz tidak mendengar sewaktu Ais mengatakan akan lebih memilih Faiz daripada Dion. Malah Ais berpikir Faiz marah karena ucapan Ais waktu itu.” Ucapku malu.
Wajahku tertunduk tapi aku masih bisa melirik ada senyum yang terkembang di bibir Faiz ketika aku mengatakan aku lebih memilih dirinya daripada Dion teman satu kelasnya.
“Kalian lagi membicarakan apa?” Suara ibu mengejutkan kami berdua, Faiznya tidak diambilkan minum Ais.
Kami memandang Ibu, dan kemudian pandangan kami saling beradu. Ada sesuatu yang lain dihati kami, dan rasa itu hanya kami yang tahu. Bahkan Ibu juga tidak tahu, akhirnya kami saling melempar senyum yang membuat hati kami bahagia.***