Ramadhanku Berjalan(2)

Sungguh jika ditanya bagaimana takutnya aku tentu aku takut tapi aku lebih takut lagi dengan bulan penuh berkah ini, aku tidak mau menodainya dengan menerima walaupun aku tahu sejumlah uang di sodorkan dapat membeli baju baru untuk anakku.

“Banyak gaya, awas kalau macam – macam.” Ya Allah aku mengucap sambil berulang kali menyebut Asma Allah dalam hati.

***

Sambil menjalankan motor maticku aku melihat sekeliling ku dengan pengamatan membandingkan kehidupan yang aku rasa susah, tapi bagaimana dengan mereka yang seharinya harus mengais rezeki dengan menjadi pemulung.

Netraku memanas melihat seorang Ibu yang mengendong anaknya, yang nauzubillah memiliki kekurangan.

“Kasian kami Bu.” Ocehnya sambil mengulurkan mangkok plastic yang sudah pudar warnanya.

Hanya mengharapkan uang recehan untuk menikmati sebungkus nasi yang mungkin cukup untuk satu kali saja.

Aku masih bisa dibilang bernasib baik, walaupun susah masih bisa makan dua kali, akhirnya aku mengulur uang lima ribuan.

“Ini untuk anak Ibu.” Ucapku sambil menatap lirih kepada balita yang tersenyum walaupun aku tahu itu bukan senyum hanya seringgai entah apa maksudnya.

***

“alhamdulillan.” Ucap kami serentak.

Suara serine menandakan sudah berlalu masa untuk menahan lapar dari subuh tadi, melihat anakku dengan lahap menyantap menu laksa goreng yang aku buat untuk berbuka puasa ini hatiku merasa puas.

Sedangkan suamiku masih memilih memakan bubur kacang hijau takjil yang di dapatnya di lampu merah sewaktu ingin pulang ke rumah.

Sedangkan aku memilih memakan  kue buah Melaka kata orang melayu alias klepon kata orang jawa, ini juga takjil yang aku terima sewaktu pulang kerja tadi.

Ramadhan tahun ini  banyak mengajarkanku bahwa bersabar menghadapi cobaan kehidupan melawan kecurangan dengan tidak ikut di dalamnya juga merupakan satu satu cara untuk menghentikanya, seperti kata bijak tunjukkan dari diri sendiri semoga ada yang mengikuti jejak kita sehingga secara perlahan kecurangan akan putus dengan sendirinya jika semua orang punya kesadaran untuk menghentikannya.

Perlahan tapi pasti sesak di dadaku mulai berkurang, mengucap syukur bahwa hari ini aku bisa menahan sabar atas apa yang terjadi di depan mataku menjadi pelajaran untukku dalam menyikapi segala sesuatu dengan sabar dan berusaha menjadi pribadi tauladan tentunya.***

 

 

 

Tinggalkan Balasan