Pandanganku jauh ke depan, hamparan laut membentang menjadi titik pusat pandanganku saat ini.
Sudah hampir dua jam aku duduk ditepi pantai ini, setelah tadi aku meluahkan segala amarah yang selama ini terpendam jauh dilubuk hatiku.
Cukup sudah tiga tahun ini berdiam diri, menelan semua kekecewaan yang lebih parah dari luka kecelakaan adu kambing yang menewaskan korban.
Aku bagai mayat hidup yang menjalani hidupku yang kosong selama ini, tidak ada lagi cairan bening yang sanggup aku keluarkan saat ini setelah sepanjang tiga tahun ini aku menangis dan meratap.
Memandang jari manisku, tersemat cincin yang mengikat aku pada seorang yang sah mengijab kabul diriku tiga tahun yang lalu.
Suami hasil perjodohan, kesepakatan dari dua keluarga yang yakin membuat kami yang tidak mengenal satu sama lain bisa menjalani pernikahan dan bahagia.
“Jadilah istri yang berbakti, cinta saja bukan landasan kuat dari pernikahan tapi harus ada komitmen untuk mensukseskan pernikahan itu sendiri.” Ucap Mak kala itu sebelum mengantar aku keluar untuk menemui lelaki yang sudah mengikatku dalam pernikahan.
Ridwan Ismail sebenarnya bukan orang asing buat diriku, kami besar bersama kerana kami tinggal pada kampung yang sama.
Lelaki yang umurnya lima tahun diatasku, sebutan abang sudah lama tersemat dinamanya ketika aku memanggilnya.
Setelah menikah sebutan Abang sekedar panggilan tapi aku menyebut namanya dengan sebutan abang segenap hatiku.
Berusaha membuka hati yang sebelumnya pernah aku berikan pada lelaki yang melukaiku sangat parah.
Berdoa semoga saja lukaku akan diobati oleh Bang Ridwan, tapi nyatanya aku berharap lebih dan harapanku semakin berjalannya waktu menambah luka yang dalam dihatiku.(Bersambung)