Awal Deritaku (part 2)

Itu 10 tahun yang lalu, sekarang aku manajer pada salah satu perusahaan ternama dikota tempat aku bekerja. Aku merasa biasa saja tapi tatapan dari teman sekantor serta kata mereka aku unik, kekerasan hati tidak sama dengan penampilanku yang sederhana. Di kantor aku terkenal dengan atasan yang dingin, dan disegani.Aku tidak pernah memikirkan apa kata mereka yang berada di sekelilingku selama aku tidak melanggar aturan Agama dan Negara.

Umurku tidak bisa dikatakan muda lagi, tapi aku masih sendiri. Percakapan dengan Ibu beberapa pekan yang lalu sangat mengusik hatiku.

“ Kapan akan memperkenalkan ibu dengan calonmu, Cahaya? “ Bagaikan godam palu yang besar menghantam kepalaku, aku tidak tahu mau menjawab apa. 10 tahunku hanya ku habiskan untuk bekerja. Kuliah sambil kerja, semua kerja aku lakukan, jika tidak kuliah aku memberikan les kepada anak – anak SMP/SMA yang tidak jauh dari tempat kosku. Dari keluarga mereka aku bisa membayar kos dan keperluan lainya, itu di awal kuliah, menjelang wisuda aku sudah diterima bekerja berkat kerja kerasku. Sekarang aku sudah menikmati hasil kerja kerasku, rumah peninggalan Ayah sudah bisa aku renovasi, digarasi sudah ada mobil yang walaupun tidak baru bisa membawa Ibu berjalan – jalan tanpa harus kena panas dan hujan.

Itu dulu hidup keras harus membanting tulang untuk kuliah dan akhirnya aku bisa menyekolahkan adik – adiku. Aku bukan perempuan yang bilang dibilang jelek, tapi aku juga tidak mengatakan bahwa diriku cantik. Kecantikan relatif menurut mata yang memandang. Tubuh profosional dengan tinggi 160, berkulit kuning langsat cirri khas wanita Indonesia. Blasteran padang dan jawa, tentu bisa membayangkannya. Watak keras yang aku peroleh dari Ayah sementara ibu mengajarkan aku untuk selalu bertata karma adalah cirri khas orang jawa.

Banyak laki – laki yang melirik memandangku, bukan aku tidak tahu itu. Selama kuliah sudah ada beberapa teman laki – laki yang menyatakan suka tapi aku selalu menjawab mau bertanggung jawab untuk kedua adikku maka aku akan terima tapi mereka mundur teratur mendengar penuturanku. Aku hanya memandang mereka dengan senyum sambil berkata dalam hati. Ternyata hanya mencintaiku saja, dan berlalu pergi.

Akhirnya aku melupakan masalah laki –  laki dengan tidak pernah lupa berdoa disetiap sujudku sebagai umat yang beragama, meminta lelaki yang terbaik buat diriku dan keluarga serta bisa membimbingku ke jannah menuju surga bersama.

Hari ini aku seperti diingatkan kembali bahawa aku harus mencari pendamping untuk membuat ibu bahagia, sambil memandang langit cerah dibalik jendela kamarku. Tapi langit dihatiku tidak bisa secerah langit biru diatas sana. Ibu, apa yang harus aku lakukan? Terlalu lama aku sendiri, aku lupa cara untuk bersenda mesra dengan yang namanya lelaki.

Malam ini terasa singkat, aku tidak mau malam ini berakhir, aku tidak mau besok datang dengan cepat. Ibu jangan tanyakan lagi tentang pendamping hidup, aku tak bisa menjawabnya, aku tak merasa memejamkan mata, tapi pagi telah tiba. Azan subuh sudah bergema dengan malas, aku mengerakkan badan menurunkan kaki kelantai dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Berjalan gontai keluar kamar mandi, ternyata air wudhu masih belum mampu menghapus lelah dihati dan fikiranku, tapi aku berdoa semoga ada secercah harapan untuk masa depanku. Memasang niat dan sholat adalah harapan terbesar untuk memecahkan masalah jodoh yang dipertanyakaan ibu. Setelah salam kuucapkan aku menadahkan tangan memohon kehadiratnya untuk masalah yang sedang aku hadapi ini. Galau mau kemana aku menjadi pendamping hidup yang ibu harapkan, satu –satunya lelaki dikantorku sudah beristri, sementara hidupku hanya rumah dan kantor saja. aku bukan tipe yang suka keluyuran tanpa tujuan. Pertanyaan ibu menjadi beban yang sangat menyiksa pikiranku.

Dengan malas aku keluar dari kamar, ingin menghindari ibu bukan hal yang harus aku lakukan, itu malah akan menambah masalah. Ibu, dalam hati aku bermohon semoga ibu lupa dengan permintaannya supaya aku menjadi calon suami dalam waktu dekat ini. “ Cahaya mengapa wajahmu seperti orang tidak tidur, kamu sakit? “ ibu yang mau aku hindari malah berdiri di depan pintu kamarku. Dengan mata besar serta keterkejuataanku karena ibu ada di depan pintu kamarku, dengan spontan aku bertanya. “ Mengapa ibu disini?

“ sudah jam 07, bisanya jam segini cahaya sudah kekantor” karena itu ibu mendatangi kamar cahaya, Ibu fikir kamu sakit.” Ibu menjelaskan alasan mengapa ibu berada di depan pintu kamarku. Ya Allah, sambil melihat jam tangan yang melingkar manis ditanganku, aku menepuk jidatku sambil berkata, “ Mati aku terlambat,” tanpa mengisi perut untuk sarapan aku berlari kegarasi sambil menyambar tangan ibu mencium dan berpamitan kepadanya. Aku masih melihat ibu mengeleng – gelengkan kepala melihat tingkahku. Masih terdengar di teligaku suara ibu mengingatkan aku untuk tidak lupa sarapan setelah sampai di kantor nanti.

Hari ini aku masih bisa mengelak dari pertanyaan ibu, apakah setiap hari aku harus melakukan ini. Fikiranku benar – benar kacau dengan masalah jodoh yang ibu inginkan.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

1 komentar