KU TUNGGU PELANGI TAK KUNJUNG TIBA

“Han, abang pergi dulu tidak usah ditunggu. Mengantuk tidur saja.” Ucap Bang Saiful

Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Bang Saiful.

Sejak tak lagi berdinas, alias pensiun kesibukan suamiku bertambah banyak.

Melayani umat katanya, entahlah yang aku tahu aku hanya sebagai penunggu rumah yang tak bernyawa sehingga hatiku selalu terasa sepi.

Aku memandang keluar jendela, sejak Bang Saiful pensiun kami menepati rumah yang di sepi tetangga.

Rumah sederhana seperti permintaanku, lelah dengan kerenah anak sambungku yang selalu mempermasalahkan rumah peninggalan Ibunya

Bang Saiful selalu meminta aku untuk berpikiran positif atas semua perlakuan yang aku terima dari orang – orang yang dulu aku anggap menyanyangiku.

Sejak, ayah meninggal tiga tahun yang lalu aku merasa keseorangan.

Ibu serta saudaraku sepertinya tidak mendukung diriku, hanya rasa lelah jika sudah berkumpul keluarga.

Belum lagi sikap Bang Saiful yang selalu dingin setiap ada pertemua keluargaku.

Sementara untuk kepentingan anaknya aku selalu dituntut menjadi Ibu yang sempurna tanpa mengetahui bahwa anak – anakny bermuka dua.

***

“Yakin ingin menikah dengan duda.” Ucap Ayah ketika Bang Saiful datang melamar.

Umurku yang tidak muda lagi serta tekanan dari kiri – kanan membuatku tidak berfikir waras.

Sikap kebapakan serta keseharian Bang saiful yang rendah hati dan selalu membantu sesame membuatku terlupa bahwa pernikahan bukan hal yang mudah.

Waktu berlalu, ubah terus bertambah tapi aku masih sendiri.

Entah sepertinya sang pemilik kehidupan masih menguji kesabaranku dengan telat memberi jodoh dan sekarang aku masih sendiri.

Sering aku berfikir, jika ada satu saja anakku dengan Bang Saiful hidupku tidak akan sesepi ini.

Tapi nasib berkata lain, aku selalu hidup dalam kesepian berkepanjangan.

Ingin rasanya aku berpisah tapi aku malu dengan keputusan aku sendiri ketika menjawab tanya Ayah ketika ingin menikah dengan Bang Saiful.

“Insyallah Bang Saiful akan menjadi imam yang baik untuk Hana, Yah.” Ucapku kala itu.

Lima belas tahun berlalu, banyak liku dalam pernikahan kami aku coba bertahan tapi rasanya ketahananku hanya dianggap sebelah mata oleh Bang Saiful.

Masalah masyarakat menjadi prioritas utama, sementara aku yang sudah lelah bekerja diluar dan dirumah hanya menjadi penunggu setia rumah.

Kadang aku berfikir untuk pergi pelesir sendiri mengobati rasa sepi tapi aku takut menambah masalah jika sampai Ibuku mendengarnya.

Ingin rasanya berlari kepangkuan Ibu, tapi rasanya Ibu bukan pendengar yang baik.

Hanya almarhum Ayah yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku, cinta pertamaku selalu mengingatkan bahwa pernikahan merupakan perjuangan hidup mati selain melahirkan.

“Perceraian hal yang halal tapi dibenci – Nya, bertahanlah selagi bisa.” Ucapan Ayah sebelum menghembuskan napas terakhir.

Ayah, cinta pertamaku keras tapi selalu membuatku nyaman.

Sementara Ibu, sosok yang kadang membuatku bingung dengan cara berpikirnya.

Ada saja yang tidak kena dalam pandanganya, kadang aku enggan untuk bercerita kepada Ibu karena hanya menambah beban dan luka di dada.

“Sudah Mak bilang, menikah dengan duda banyak resikonya.” Lima tahun pertama ketika Aku dan Bang Saiful selisihan faham.

***

Aku menatap sekeliling rumah, tempat aku berteduh hampir lebih 15 tahun, berharap pada pelangi yang tak kunjung datang setelah hujan turun.

Badai tak terelak lagi, aku memilih untuk mengalah daripada sakit berpanjangan.

Setelah menulis secarik kertas untuk salam perpisahan, aku terlalu takut untuk mengirim pesan setelah dua hari yang lalu Bang Saiful pamit untuk mengikuti organisasi masyarakat yang menjadi alasan kepergianya meninggalkanku sendiri di rumah.

Air mata yang setia menemani masa pernikahan kami tidak lagi keluar dari mataku.

5 tahun pertama airmata ini keluar dengan rasa bahagia, aku merasa di miliki dan memiliki, 5 tahun ke dua airmataku tentang kebimbangan diantara bahagia dan kecewa.

5 tahun terakhir aku pastikan ada luka yang mengores dalam di sekeping daging yang disebut hati.

Aku akan melangkah jauh sejauh kaki melangkah, ingin mengobati luka yang ditoreh oleh orang yang dulu aku pikir akan menabur bahagia sampai napas berakhir di badan.

Setelah mengunci pintu rumah, dan meletakkan kuncinya pada salah satu pot bunga yang tersusun manis di depan teras rumah.

Gojek yang sudah dengan setia menunggu untuk membawaku pada jalan yang sudah aku putuskan.

Badai telah berlalu, hujan telah berhenti tapi pelangi tak terlihat juga.

Selamat tinggal semua duka, aku ingin meraih senyumku yang telah lama hilang dari bibriku.

Pelangi aku tidak mengharapkanmu lagi, selamat tinggal rumah yang mengajarkan aku bagaimana kerasnya hidup.***