Dengan sigap Cahaya memutar kursi rodaku ke arah kamar ibu, membukakan pintu kamar ibu untukku. Mendorongku masuk ke kamar ibu, aku melihat sekelilingnya rapi tertata indah.
“ Setelah pulang kerja Cahaya akan mampir ke sini untuk membersihakan rumah Indra. Jadi jangan heran kalau rumahmu bersih.” Suara bibi memecah kesunyian antara aku dan Cahaya. Aku tidak berani menatap wajah cahaya karena aku tidak mau melihat sorat mata sedih karena aku tidak bisa mengingatnya.
Cahaya meraih tanganku, aku merasakan tetes air mata yang membasahi punggung tanganku.
“ Cahaya pamit pulang.” Suaranya terdengar serak kerana menahan tangis, berusaha tegar dan berlalu menuju bibi mencium tangannya dan berlalu. Aku maupun bibi tidak sanggup untuk menahan kepergiannya.
“Indra, istirahat dulu. Bibi akan membuatkan makan siang buatmu.” Bibi meninggalkanku di kamar ibu sendirian.
Aku menuju foto ibu yang terletak dilemari kecil disebelah tempat tidurnya.
“ Bu, Indra tidak bisa mengingat Cahaya. Kata bibi kita mengalami kecelakan sewaktu akan melamar Cahaya. Andi juga menyakinkan Indra bahwa Cahaya adalah belahan dan tulang rusuk indra yang selama ini indra cari dan dambakan. Tapi Indra tidak bisa mengingatnya bu. Aku bermonolog dengan foto ibu yang masih aku pegang.
***
Setahun sudah berlalu, tapi aku masih belum bisa mengingat siapa Cahaya. Beberapa bulan yang lalu tepatnya setelah 7 bulan aku belum juga mengingat siapa Cahaya aku memintanya untuk melupakanku.
“ Maaf, Indra sudah berusaha tapi waktu terus berjalan Indra tidak mau Cahaya menunggu tanpa kepastian.” Sore itu seperti biasa Cahaya dengan rutin mengunjungiku setelah pulang dari kantornya. Sudah 3 bulan aku masuk kerja, tapi semua kenangan tentang Cahaya tidak sedikitpun terlintas di kepalaku. Yang aku ingat kantor dan Andi serta orang – orang yang selalu berada di lingkunganku saja, tapi Cahaya seperti kabut tebal hitam yang tidak ada dalam pikiranku. Wajah sendu itu tidak mengatakan apa – apa hanya tersenyum miris memandangku, setelah meletakkan teh yang dibuatnya. Setiap datang kerumah Cahaya tidak pernah sendiri selalu di temani salah satu adiknya setelah menanyakan kabarku dan membereskan rumah dia akan pamit pulang. Selama menunggu dia berbenah aku selalu bercerita dengan adiknya.
“ Kak Indra benar tidak mengingat sedikitpun tentang kak Cahaya?” tanya Azmi ketika kami menunggu kakaknya berbenah rumah
“Maaf, abang tidak mengingatnya.” Kataku lirih ketika Azmi bertanya
“ Azmi juga tidak bisa bercerita banyak, karena waktu kak Cahaya berkata ada seseorang yang akan melamarnya barulah kami mengenal abang Indra. Prosesnya tertalu cepat, belum juga 2 bulan kakak dan abang berkenalaan abang sudah bertunang dan 2 bulan kemudian menurut rencana akan menikah.” Kata Azmi
Aku tidak percaya ketika Andi mengatakan bahwa aku berkenalan dengan Cahaya lewat kencan Online, aku mengikuti kencan online karena sudah tidak tahan dengan pertanyaan ibuku kapan aku akan menikah.
“ semenjak mengenal Cahaya kau selalu mengatakan dia adalah tulang rusukmu yang hilang satu.” Cerita Andi suatu waktu.
Tapi aku tidak bisa mengingat bagaimana aku bisa senekat itu meminta Cahaya menikah denganku jika waktu perkenalan kami sesingkat itu.
Cahaya melepaskan cincin tunang yang diberikan bibi Indra sehari setelah penguburan Ibu Indra.
“ Cahaya terimalah cincin ini, ibu Indra sangat berharap Cahaya menjadi menantunya.” Bibi menceritakannya padaku. Dan hari ini sambil meletakkan cincin itu di atas meja Cahaya berkata
“ Cincin ini tidak berhak berada di jari Cahaya lagi jika begitu” setelah mengatakan itu Cahaya pamit tidak seperti biasanya sebelum pulang Cahaya akan meraih tanganku untuk menciumnya. Aku memandang kepergianya, entah aku tidak bisa menggambarkan perasaan apa yang aku rasakan saat melihat ia berlalu. (bersambung)
***