Maafkan Aku Membuatmu Derita (part 8)

“ Kenapa diam? Cahaya marah kepada Indra sejak  tadi cahaya hanya diam saja. atau kita kesuatu tempat dulu  untuk berbicara. Aku tahu pasti ada keraguan di hati Cahaya tentang keseriusanku untuk melamarnya.

“ kenapa berhenti, bukankah Ibu sudah menunggu kita di rumah sakit?”

“ Jawab dulu pertanyaan Indra, baru kita menjemput Ibu, Indra tidak mau memaksa Cahaya “

Cahaya tidak nyaman dengan tatapan mataku yang terus memandangnya akhirnya Cahaya menganggukan kepalanya barulah aku menjalankan mobil kearah rumah sakit.

Aku tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ada rasa percaya di wajah Cahaya tentang niatku untuk melamarnya. Berdamailah dengan hatimu Cahaya, Indra tidak sungguh mencintai Cahaya kataku dalam hati. Sekali – sekali aku melirik ke arah Cahaya yang duduk disampingku berdoa untuk kesekiankalinya semoga Allah menijabah doakan Cahaya adalah jodoh dari tulang rusukku yang hilang satu.

***

“ Menantu ibu sudah dating” suara ibu terdengar gembira ketika aku dan Cahaya masuk kedalam ruang rawat inap ibu. Cahaya meraih tangan Ibu dan menciumnya aku mengikuti apa yang dilakukan Cahaya. Tanpa aku suruh, Cahaya sudah mengemas barang – barang Ibu, ya Ibu harus ini sudah bisa pulang.

“ Cahaya, Indra titip Ibu dulu.”

“ Memangnya Ibu barang, dititip – titip “

Cahaya tersenyum melihat tingkahku dan Ibu,

“ Sana pergi, Ibu sudah ada Cahaya yang mengurus.” Usir ibu

Aku berlalu meninggalkan Ibu dan Cahaya untuk mengurus semua administrasi rumah sakit sebelum Ibu dibenarkan untuk pulang.

“ Assalamualaikum”

“ Walaikumsallam” aku mendengar jawaban dari dalam kamar rawat inap Ibu, semua barang keperluan Ibu sudah siap, aku melihat Ibu dan Cahaya yang berbicara

“ Pasti menjelekkan Indra”

“ Eh emang kamu sudah jelek, tidak perlu Ibu kasih tahu Cahaya juga sudah tahu”

Sekali lagi aku melihat wajah tersipu malu merona pipinya mendengar percakapan aku dan Ibu. wajah yang membuatku tak puas untuk selalu memandangnya.

“ Ya sudah, ibu mau jalan atau Indra pinjam kursi roda”

“ Pakai kursi roda saja, ibu belum kuat.” Suara Cahaya yang ku dengar menjawab pertanyaanku.

“ Tu, menantu ibu yang lebih tahu kondisi Ibu, payah kamu Indra”

Aku mengaruk kepalaku yang tidak gatal, belum apa – apa Ibu sudah selalu membela Cahaya. Tapi aku senang melihat Ibu sangat menyukai Cahaya. Aku keluar kamar untuk meminjam kursi roda rumah sakit.

“ Pelan – pelan bu,” aku melihat Cahaya begitu hati – hati membantu ibu untuk duduk di kursi roda. Setelah Ibu duduk di kursi roda, aku mendorong Ibu sementara Cahaya membawa barang bawaan Ibu di rumah sakit. Kami bagaikan keluarga kecil yang bahagia. Senyum selalu menghiasai bibir tua Ibu, menandakan Ibu sangat bahagia.(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan