“ Aisyah”, kudengar suara dari seberang sana menyebut namaku. Ibu menelepon, pasti ada yang tidak beres, pikirku. Ibu hanya menelepon jika ada masalah di rumah, entah itu karena adik – adikku ataupun saudara ayah yang selalu meminta ini dan itu dengan ayah. Ayah tidak bisa menolaknya, sehingga ibu harus jengkel jika ayah meminta kepada ibu untuk meminta uang kepadaku.
Risiko menjadi tulang punggung keluarga, tapi aku tidak pernah menyesalinya jika yang meminta itu untuk kedua orang tuaku atau untuk kebutuhan adik – adikku. Tapi jika untuk kebutuhan yang bukan buat mereka, ini yang sering membuat aku dan ayah bertengkar dan lama tidak berbicara.
“ Aisyah, pamanmu butuh uang untuk operasi hernianya,” ku dengar suar ibu dari telepon gemgamku.
“ Pinjam, bukan diminta,” jelas ibu lagi.
Aku hanya tersenyum sinis, selalu begitu. Aku masih ingat sudah beberapa kali paman meminjam tapi tidak pernah dibayar. Jika aku sudah ribut menanyakannya sewaktu berkunjung ke rumah orang tuaku, ayah akan menjawab dengan santai.
“ Tidak akan berkurang hartamu dengan membantu orang Aisyah.”
Selalu kalimat itu yang dilontarkan ayah, “ Ayah, utang harus dibayar.
“ Pamankan janjinya utang sewaktu mau menggunakan uang Aisyah,” jelasku.
“ Kita tidak pernah punya utang kepada paman,” seingatku ayah.
“ Tapi sepertinya kita punya utang kepada paman, sehingga paman selalu meminta uang kepada ayah, atau ayah memang pernah berutang kepada paman. Sehingga sekarang kita harus membayarnya,” geramku.
Ayahku anak tertua, sama seperti diriku. Sejak kecil, aku sudah terbiasa melihat paman dan bibiku tinggal dirumah.
Ayah menjadi pengganti kakek dan nenek setelah mereka meninggal untuk menjaga paman dan bibiku. Pamanku masih duduk di kelas satu SMA ketika kakek dan nenek meninggal, sementara bibi sudah dilamar calon suaminya.
Aku dan paman hanya berjarak 6 tahun, kadang – kadang aku sering jengkel dengan paman. Di depan ayah paman selalu berpura – pura rajin, dan menjaga kami jika ayah tidak berada di rumah.
Aku dan kedua adikku selalu disuruh ini dan itu jika ayah tidak berada di rumah, padahal pekerjaan itu seharusnya dikerjakan oleh pamanku.
Pamanku selalu berkata “ belajar bekerja dari kecil, paman juga sudah melakukan itu sewaktu kakek dan nenek masih hidup.”
Aku hanya cemberut dan menyapu halaman rumah yang lumayan besar, sementara kedua adikku akan mengangkat sampah yang sudah ku sapu dan kumpulkan.
Ya ayah terlalu sayang kepada adiknya, sampai kuliahpun seharusnya pamanku sudah selesai. Tapi malah aku yang wisuda dulu, baru satu tahun kemudian pamanku lulus. Alasan pamanku terlalu klise menurutku, jurusan yang diambil pamanku memang susah lulusnya. Omong kosong, semuanya, jika aku tidak lulus tepat waktu mungkin pamanku tidak akan lulus – lulus pikirku.(bersambung)