Celoteh Nyakbaye, Cerpen “Merekam Hari (2)”

Cerpen, Fiksiana, KMAB27 Dilihat

Putra Maulana, baguskan namanya berbanding terbalik dengan namaku Delima. Aku sempat protes, karena berpikir namaku seperti nama buah – buahan. Tapi apa mau dikata, nama pemberian orangtuaku tidak mungkin aku ganti seenak perutku saja. Pasrah hanya itu yang dapat aku lakukan, setelah panjang lebar Ayah menerangkan mengapa memberi aku nama Delima.

Beberapa hari ini, ada yang menghentak dadaku. Netra kurang ajar ini tidak sengaja melihat chat yang masuk di handphone Bang Putra.

Putri namanya yang sangat cocok bersanding dengan nama Bang Putra, hatiku terus terusik dengan isi yang hanya sekilas tapi kalimatnya tidak mau lepas dari ingatanku

“Saya tunggu kabarnya.” Isi yang sempat aku baca membuat hari –  hariku berlalu dalam kabut penasaran yang menyiksa.

“Auw.” Aku meringis, pisau melukai jariku tanpa sengaja.

Aku melihat darah yang menetes dijariku tapi siapa yang bisa melihat darah yang terus mengalir di hatiku setelah melihat isi chat Bang Putra, ditambah dengan sikapnya yang mulai dingin, kami bagaikan dua orang yang terpaksa tinggal dalam atap karena nasib yang mempertemukannya.

“Cerobohmu tidak hilang – hilang Delima, hari jari besok tangan kamu yang terpotong atau malah rumah ini akan terbakar karena kelalaian yang kamu perbuat.” Sentakan suara Bang Putra menyadarkan diriku yang sejak tadi hanya melihat darah yang mengucur dari jari telunjukku.

Sambil meringis bukan karena rasa sakit akibat pisau tapi karena perkataan Bang Putra menusuk kejam hatiku saat ini.

Aku berlari menuju tidak menuju kamar, tapi langkah kakiku menuju keluar rumah tidak aku pedulikan teriakan Bang Putra yang memanggil namaku, aku terus berlari dan berlari. Rasa sesak menyelimuti hatiku, tatapan mengintimidasi bang Putra sewaktu mengeluarkan kalimat marah untuk terus terngiang di teligaku, membuat air bening meleleh deras dari netraku, sesuatu yang kental juga mulai menyesakkan hidungku.

Setelah lelah berlari aku baru tersadar bahwa aku sudah terlalu jauh dari rumah, pandangan orang disekitarku membuatku bertambah sakit. Setelah mengumpulkan nyawa yang sempat hilang aku baru sadar bahwa aku berada di pasar yang jauh dari rumah.(bersambung)

Tinggalkan Balasan