Aisyahku

“Hmm, masih marah ya Bang, sialan senyum yang hampir membuatku cinta mati dan akhirnya mengoyak – gonyak perasaan ku menjadi berkeping  bagaikan pecahan duralex yang harus pecah pada saatnya.

“Serius masih marah Bang.” Aku menatap manik mata yang selalu memancar idah bak batu pualam yang sangat berharga dan mahal harganya.

“Pikir saja sendiri.” Aku berlalu meninggalkan sosok yang pernah sangat sulit untuk aku lupakan butuh, butuh delapan tahun serta meninggalkan kampung halaman guna mengusir bayang serta pesonanya.

Flashback On

Namanya Putri Aisyah, sejak sekolah menengah pertama alias SPM aku mengenalnya. Pindah kesekolah yang sama denganku karena Ayahnya yang seorang tentara pindah tugas. Senyumanya itu yang membuat aku mabuk kepayang. Lelaki tanggung yang baru melepas masa aqilbaliqnya setelah berteman selama satu pekan. Sejak itu Ais, aku memanggilnya menjadi penghuni hatiku.

Cinta monyet yang terus berlanjut sampai dengan ke sekolah menengah atas alias SMA membuatku benar – benar harus mengungkapkan rasa hatiku.

“Ais boleh Raihan bertanya?” ucapku setelah kami belajar besar malam itu.

Aku dan Ais selalu belajar bersama karena rumah kami bertetangga, entah mengapa Ayah Ais yang seorang tentra merasa aman anak gadisnya yang cantik berteman denganku. Setiap malam kami akan belajar bersama tentunya dengan pantauan sang Ayah tapi karena aku tahu diri tidak macam – macam maka tidak ada yang menjadi penghalangku untuk menikmati wajah cantik yang menghuni hatiku,

“Raihan mau tanya apa?” senyum itu sungguh membuat jantungku berdegup kentang, tangan ini gatal ingin menyentuhnya tapi aku sadar diri.

“Ais suka tidak sama Raihan?” ucapku malu sambil menatap wajah macam yang ada  dihadapanku.

“Ais tidak mengerti maksud Raihan, sebagai teman tentu suka sama Raihan yang baik dan pintar.” Ucapnya pelan.

“Bukan sebagai teman tapi sebagai laki – laki.” Sengaja aku menekan kata laki – laki padanya.

Aku melihat gelagat yang tidak mengenakkan dari tatapan Aisyah  ketika aku menekankan kata lelaki kepadanya.

“Ais tidak pernah menganggap lebih selain teman Raihan, perjalanan kita masih panjang. Ais mau kuliah dan meraih cita – cita dulu. Ayah juga tidak suka jika Ais pacaran sekarang.” Dug jantung dan hatiku sakit mendengar kalimat panjang lebarnya, tidak ada harapan,

Itu pertemuan terakhirku dengan Aisyah setelah itu Aisyah tidak mau lagi belajar bersama denganku, Ayah Aisyah juga sepertinya sudah tidak bersahabat denganku.

Waktu berlalu ketika aku mendapat kabar keluarga Aisyah pindah lagi karena tugas ayahnya pindah tugas.

***

Baru sepekan aku pulang kampung setelah menamatkan AL ku di Surabaya dan tugas di beberapa tempat oleh satuan. Akhirnya aku bisa menetap kembali ke kampung halaman yang sebenarnya masih menyisakan luka di hatiku, aku melihat cincin di jari manisku yang sedikit mengobat sakit hatiku akan kampung halaman yang merenggut cinta pertamaku. Akhirnya perjodohan kedua orangtuaku ku terima, walaupun belum pernah melihat siapa calonku itu.

“Assalamualaikum.” Suara yang sungguh tidak ingin aku dengar saat ini, apalagi rumah lagi tidak ada orang.

“Walaikumsallam.” Dengan malas aku menjawab salamnya dan membuka pintu sedikit saja

“Ada apa, lagi tidak ada orang di rumah.” Ucapku datar

“Abang bukan orang?” Ucapnya melucu

“Bukan aku hanya bayangan saja.” ucapku ketus dan menutup pintu rumah

“Assalamualikum.” Masih suara itu, apa tidak ada kerjaan lain batinku kesal

“Ada apa?” suaraku meninggi dari dalam, malas untuk membukakan pintu baginya

“Ada titipan kue buat Abang dari Bunda.” Ucapnya lantang

“Terima kasih dengan Bunda untuk kuenya.” Aku membuka pintu dan mengambil tititpan yang katanya buatku

“Untuk Aisyah tidak ada ucapan terima kasih.” Ucapnya membuat aku menjadi kesal.

“Terima kasih.” Ucapku dengan langsung menutup pintu lagi.

Aku mendengar suara mobil berhenti di depan rumah, pasti kedua orangtuaku sudah selesai acara pisah kenang Ayah di kantor, ya tahun ini Ayah pensiun dari jabatannya. Karena hal itu Ayah dan Emak mendesak aku untuk cepat – cepat menikah.

“Ya ampun Raihan, apa yang ada di otakmu, ada tamu kok dibiarkan tidak di ajak masuk.” Omel Emak bagai petasan yang meledak serentak.(bersambung)

Tinggalkan Balasan