Bukan Cangkirku Lagi (1)

Meneguknya perlahan, berusaha menikmatinya tapi tetap ada rasa yang berbeda. Aku merenung dan mencari apa yang membuatnya rasa begitu tidak sama. Mataku menerawang menatap langit biru melalui jendela kamar berusaha dan berusaha tapi aku tidak menemukan jawabannya.

Malam ini terasa lebih sepi dari biasanya, angin malam yang masuk lewat jendela membuat aku merapat pelukan tangan untuk mengusirnya. Aku merindukan bunyi jangkrit yang selalu menemani malam pada masa kecilku. Tersenyum miris, dari lantai dua rumahku  mana mungkin aku bisa mendengarkan bunyi jangkrik itu, aku bukan lagi di desa tapi di kota ketiga terbesar di Indonesia.

Batam sudah seperti rumah keduaku, setelah meninggalkan kampung kecil di kabupaten pemekaran di kenal dengan nama Karimun dengan Provinsinya Kepulauan Riua. Sudah hampir sepuluh tahun aku tinggal disini, setelah menamatkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Yogjakarta.

Memilih kembali ke kampung halaman untuk mengabdi tapi akhirnya terdampar di Batam karena prospek pekerjaan lebih menjanjikan di Batam ini. Kota yang dulu hanya pulau kecil, sekarang maju pesat dengan segala fasilitas yang tidak berbeda dengan kota Jakarta, Surabaya dan Medan.

Sudah sepuluh tahun tapi aku belum bisa membiasakan diri dengan segala hiruk pikuknya, semua serba cepat orang sepertinya hidup untuk bekerja, semua di nilai dengan uang tidak punya uang seakan hidup tidak punya arti. Aku menghembus napas berat, setelah bekeluarga aku rindu dengan hidup santai sewaktu aku kecil. Bisa makan pucuk ubi jika Ayah tidak turun melaut, ikan hasil tangkapan Ayah yang dilumuri garam supaya tahan lama sebagai persedian lauk yang di sebuk ikan asin. Tapi aku merasa bahagia karenanya, tapi sekarang aku tinggal di kota terbesar di Indesia.

Ada dua mobil di garasi rumah yang dengan setia mengantaruku kemanapun aku pergi, dan setiap lebaran tiba melalui roro mobil ini akan berjalan diaspal di kampung halamanku. Hidup yang bergelimang kemewahan menurut yang melihatnya, tapi aku merasakan kesepian yang berpanjangan.

Melirik ke arah jam dinding klasik yang megah berdiri di sudut ruangan, sudah menunjukkan pukul sebelas malam, perutku hanya berisi kopi yang rasanya tidak seperti biasa. Kemana Suami dan Anak semata wayangku kini berada, sudah larut malam tapi batang hidung mereka tidak juga kelihatan.

Aku berjalan meninggalkan jendela berjalan menuju kamar tidurku, menekan panelnya kamar dengan fasilitas seperti hotel bintang lima dengan kamar mandi yang ada bathtubnya. Kamar ini sudah tidak senyaman dulu.

“Ma, Al tidur di sini ya.” Celoteh semata wayangku

“Udah gede juga masih mau tidur dengan Mama.” Usil suamiku mengoda Alfian buah cinta kami

“Baru juga lima tahun Pa.” aku membela si jagoanku, tawa membahana kamarku merupakan tempat kami bercanda sebelum tidur menjemput.

Aku memandang kasur empuk yang hanya aku saja menepatinya, aku melangkah mendekatinya mengelus lemah dasar kasurnya tidak ada kehangatan di sana.(bersambung)

Tinggalkan Balasan