Celoteh Nyakbaye, Cerpen ” Merdeka (1)”

Meriah, pernak pernik hari kemerdekaan sudah berjejer di jalan – jalan, penjaja bendera merah putih kebanjiran rezeki, senyum Emak dan Abah merekah.

Sejak sebulan lalu, Emah dan Abah membuka simpanan mereka. Mulai memperhatikan apakah rezeki mereka yang tertunda masih dibisa dijual tahun ini, bau apak menyuar keseluruh rumah. Ukuran rumah yang kecil membuat bau apak tidak dapat dihindari, untung saja kami sudah makan malam jika tidak tentu selera makan leyap karena bau yang dikeluarkan oleh calon rezeki Emak dan Abah.

Aku ikutan duduk di lantai semen kasar yang dilapisi tikar pandan, memilah dengan teliti semua calon rezeki kami. Senyum terus saja mengembang di wajah Emak dan Ayah ketika calon rezeki kami hanya mengeluarkan bau apak tapi tidak ada yang rusak penampilannya.

Mulai dari ukuran kecil yang dibisa dipajang di mobil dan motor, sampai ukuran super besar yang akan berkibar ditiang yang tinggi melambaikan keperkasaannya.

“Hanya tinggal dicuci dan diseterika Bah.” Ucap Emak gembira

“Emak yang, cuci Abah yang seterika ya Mak.” Senyum mengembang di wajah Emak dan Abah.

“Biar Ain yang sterika Mak.” Ucapku

“Jangan Ain belajar saja yang baik, jangan kecewakan Emak Abah.” Serentak suara Emak Abah terdengar.

Airmataku menetes, mendengar ucapan Emak Abah yang selalu memproritaskan pendidikanku walaupun kami bukan orang berada.

“Kenapa menangis Ain sakit.” Aku mengelengkan kepala tak sanggup menjawab pertanyaan Emak yang kelihatan jelas mengkhawatirkanku.

“Sudah malam, sana tidur supaya besok tidak terlambat untuk sholat subuh.” Aku tersenyum mendengar ucapan Emak, bukannya takut aku telat ke sekolah tapi Emak Abah selalu mengingatkan diriku untuk tidak telat mengerjakan kewajiban kami sebagai umat beragama.

***

Netraku memandang panjangan bendera yang sudah memadati jalan raya yang menuju ke sekolahku. Tiba – tiba ada ide cemerlang hinggap di kepalaku, bersenandung kecil aku berjalan menuju sekolah yang setiap hari aku tempuh dengan berjalan kaki, karena satu motor kami sepekan ini digunakan Abah untuk menjajakan dagangan kami.

Pelajaran pertama sudah berlalu, masih ada sisa satu mata pelajaran sebelum bel tanda istirahat sebelum aku melancarkan misiku, senyum tersungging dibibirku memikirkan ideku.

Akhrirnya aku tiba di ruang osis, netraku mencari keberadaan Pak Dwi yang menjadi Pembina harian siswa. Setelah melihat sosoknya aku mendekat dan mengucapkan salam.

“Walaikumallam Ain, ada apa?” Salamku dijawab dengan ramah oleh Pak Dwi.

“Pak saya mau menawarkan dagangan Abah saya kepada Bapak, karena saya dengar sekolah memerlukan bendera untuk menjadi hiasan di penyambutan hari tujuh belasan nanti Pak.” Lancar ucapanku semoga lancar pula rezeki kami.

“Bagus itu, saya suka siswa yang tidak malu untuk membantu orangtua. Besok kamu bawa Benderanya, nanti bapak catat berapa kebutuhan Bendaranya. Mengenai harga Sekolah akan membayar sesuai dengan harga jual Bapak kamu.” Aku tersenyum bahagia mendengar ucapan Pak Dwi.

“Terima kasih Pak, besok Saya bawa.” Dalam hati tidak henti aku mengucapkan syukur, bapak tidak perlu lagi berjualan dari rumah ke rumah. Ini juga merupakan strategi Abah tidak mau mengelar dagangan di pinggir jalan, karena sudah banyak yang melakukannya.

***

Bersambung

Tinggalkan Balasan