Setelah membayar ongkos kepada sopir taxi yang sudah berbaik hati mengantarku pulang, terpaksa senyum kecut yang kuhadiahkan kepada sopir sebelum aku melangkah masuk ke dalam neraka rumah tanggaku.
Benar saja, suara cicitan mertuaku sudah terdengar
“Dari mana, bukannya langsung pulang malah kelayapan.” Aku hanya tersenyum kecut dan mengucapkan salam walaupun aku tidak mendengar mertuaku menjawab salamku.
Aku melangkah menuju kamar, membuka handel pintu perlahan pintu terbuka aku melihat suamiku termenung di dekat jendela kamar kami. Aku tidak bermaksud mendekatinya, langkahku terus menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Tidak aku pedulikan suara kokok perutku yang minta di isi, sejak dari tadi pagi aku membiarkan perutku kosong.
Suamiku terusik lamunannya karena aku membentangkan sejadah tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Dari mana?” suaranya terdengar lemah. Pasti habis berdebat dengan Ibu batinku
Aku hanya tersenyum dan berkata
“Pantai.” Jawabku singkat
“Orang kantor menelepon, Abang bilang Ais cuti hari ini.” Jelas suamiku tanpa aku bertanya.
“Tunggu, Abang ambil wudhu kita berjamah.” Perintahnya kepadaku.
***
Kami saling berhadapan, setelah mencium tangannya, selesai berjamah sholat zhurur bersama. Hanya sunyi yang melanda kami, aku maupun suami belum ada yang membuka suara.
Aku tersenyum, tapi aku pasti senyumku bukan senyum yang terbaik. Begitu juga suamiku membalas senyumku dengan sama kecutnya.
“Bang sebaiknya kita akhiri pernikahaan ini, mungkin bukan jodoh kita untuk memiliki anak bersama. Ais tidak mau menumpuk dosa dengan selalu jengkel dengan Ibu dan Abang.” Suaraku keluar walaupun dengan tersendat – sendat .
“Tak ada yang salah dengan kita berdua, tapi Ibu dan Abang tidak mau menunggu.” Suaraku terdengar lagi.
Buncahan airmataku sudah tak terbendung, tapi aku masih berusaha menahannya sehingga setetes demi setetes keluar dengan cepat ku hapus. Aku tidak mau menangis lagi, lelah aku harus kuat. Lama aku memandang suamiku yang hanya terdiam dan membisu seribu bnahasa. Aku memegang lembut legan suamiku,
“Ais selalu mencintai Abang, tapi kita sepertinya tidak bisa bersama, dari pada saling menyakiti lebih kita berjalan masing – masing.” Runtuh sudah pertahannku air mata tak lagi bisa ku bendung sambil memeluk legan suamiku aku menangis tersedu.
“Kita akan pindah ke dunia kita sendiri.” Suara suamiku membuat isakku terhenti dan memandang tak mengerti akan apa yang dimaksudnya
“Kita akan keluar dari rumah ini.” Jelasnya lagi
“Bagaimana dengan Ibu?” tanyaku
“Biarkan ibu dengan dunianya.” Tenang suara suamiku mengatakan itu
“Ais tidak mau Abang menjadi anak durhaka.” Lirihku
“Abang tidak durhaka, sudah terlalu lama kita hanya memikirkan kehendak Ibu, tapi Abang melupakan semua ketabahan dan kesabaran Ais menghadapi Ibu dan semua saudara Abang, sudah cukup semua. Kita akan memulai lagi dari awal, Ais mau?” gunung air mata di netraku kembali menguak. Aku menangis terisak di dada bidang suamiku.
Ya Allah terima kasih atas semuanya, doa terindah yang dapat aku panjatkan hanya ada rasa syukur yang menggunung. Aku fikir, aku akan kehilangannya suamiku.***