Flashback.
“Pijit punggungku Say.” Suamiku selalu memanggilku sayang kadang membuatku tersenyum sendiri.
“Nanti jika punya rezeki lebih, kita beli kasur empuk seperti di hotel bintang lima, biar enak tidurnya dan tidak sakit badanya.” Masih mendengarkan celoteh suamiku.
“Yang keras pijitnya Say.” Aku tersenyum mendengar permintaanya, tanganku menambah volume pijitanku padanya.
“Pasti enak ya jadi orang kaya, banyak duit bisa beli apa saja. doakan rezeki Abang banyak biar kita bisa merasa jadi orang kaya.” Aku tersenyum mendengar ucapan suamiku.
Tak lama aku mendengar dengkur halus dari bibir yang selalu mengeluh akan hidup yang kami jalani.
***
Jam dinding berbunyi sebanyak dua belas kali, aku masih sendiri. Memandang lemah ke arah pintu kamar tidak ada tanda suamiku akan pulang. Aku mencoba mengejamkan mata dengan mulai membaca surah pendek untuk menjemput kantukku, sepertinya rasa kantukku pergi menjauh sehingga sulit sekali aku menjemputnya. Sudah pukul satu dini hari, masih juga tidak ada tanda kepulangannya, di mana suamiku? resah tapi ada dayaku sejak rezekinya bertambah selalu ada saja kerja yang menyita waktu bersamaku, awalnya aku tidak mempermasalahkannya tapi sekarang aku merindukan masa kami selalu bersama walaupun dalam hidup yang serba berkecukupan kadang juga kekurangan tapi dia suamiku selalu menemani diriku dalam malam yang dingin, tapi aku hangat dalam dekapannya.
Aku meraih gawaiku dengan merek termahal yang dibelikannya bulan lalu, menekan tombol hijau untuk menghubunginya. Nomor suamiku tidak dalam jangkauan, aku mencoba sekali lagi tapi hasilnya masih sama. Akhirnya aku meletakkan gawaiku lemah, berjalan menuju kamar mandi, lebih baik aku mengadu pada-Nya, desahku pilu.
***
Tok tok tok, ketukan dipintu membangunkan aku dari tidur tidak nyenyakku. Membuka mata dengan terpaksa, melihat jam dinding pukul sembilan pagi, Ya Allah aku melewatkan sholat subuhku. Dengan kepala berat aku berjalan menuju pintu kamar, menekan panelnya. Wajah tua yang menjadi pembantu rumahku
“Nyonya sakit?” ucapnya pelan dengan mata yang mengamati penampilanku dengan mata tuanya.
“Sedikit pusing bik.” Jawabku pelan.
“Ada yang mencari Ibu.” Katanya lagi
“Suruh kembali saja nanti.” perintahku
Langkah menjauh si bibik, aku menutup kembali pintu kamarku.
“Aku harus sholat subuh.” Batinku
Belum juga sempurna doaku, aku mendengar ketukan dipintu kamarku. Berdiri berjalan menuju panel pintu.
“Ibu tamunya tidak mau pulang, sebelum ketemu Ibu.” Ucap bibik
“Perempuan atau laki – laki tamunya bik.” Tanyaku
“Perempuan dan laki – laki bu.” Perkataan Bibik membuat dahiku berkerut siapa yang mencariku.
“Sebentar lagi saya turun, buatkan minuman buat mereka.” Perintahku kepada Bibik sebelum menutup pintu kamar untuk berganti baju.
***
Langkahku menuruni tangga menuju ruang tamu di lantai satu, siapa yang mencariku dan apa keperluanya, semua pertanyaan itu bermain di benakku.
“Assalamualaikum.” Ucapku setelah sampai di ruang tamu
“Walaikum salam.” Mereka menyambut salamku.
Aku memperhatikan mereka, sepertinya aku tidak mengenal tamu yang sekarang duduk diruang tamuku, yang laki – laki seumuran Ayahku, sementara yang wanita bisa aku pastikan seumur wanita seumuran anakku.
“Ada yang bisa Saya bantu.” Ucapku, senyum menghiasi wajahku dan aku duduk di salah satu kursi di ruang tamu.
Ada raut cemas di wajah si bapak sementera yang wanita hanya menundukkan wajahnya sedari tadi.
“Saya mau meminta pertangung jawaban bu, anak Saya hamil.” Aku terkejut mendengar perkatan si bapak.
“Tidak mungkin anak Saya menghamili anak bapak, jangan main tuduh bapak bisa saya laporkan karena mencemarkan nama baik keluarga kami.” Ucapku berang.
“Bukan anak Ibu yang menghamili anak saya tapi suami Ibu.” Ucapnya tidak kalah berangnya.
Aku terdiam tidak bisa berkata apa – apa, aku memperhatikan wajah di wanita dengan seksama.
“Kami sekrestaris bapak bukan?” hanya untuk memastikannya saja, mataku nanar panas di sudut mataku.
“Iya bu, maaf.” Ucapnya pelan tapi masih bisa aku dengar.
“Kenapa kamu mau dihamili bapak, kamu mau jadi istri muda, aku tidak akan mengizinkan bapak menikahimu.” Suaraku naik satu oktaf.
“Suami ibu memaksa anak saya, kami hanya minta bapak menikahinya saja untuk memberikan nama kepada bayi yang sedang dikandung anak saya. Setelah bayinya lahir silakan ibu ambil anaknya setelah itu saya minta suami ibu untuk menceraikan anak saya.” Ada rasa kesal yang mendalam dalam suara si bapak ketika mengucapkan kalimat yang membuat aku tercegang.
“Kami memang orang miskin, tapi kami tidak gila harta.” Murka si bapak sambil memandangku tidak terima dengan ucapanku.
“Kita tunggu suami saya pulang.” Ucapku, dari arah luar aku mendengar suara mobil suamiku.
“ Assala ….” Panel pintu depan terbuka, ucapan salam suamiku terpotong melihat tamu yang berada di ruang tamu bersamaku.
“Mereka mencari bapak.” Ucapku pelan tapi ekor mataku meminta penjelasan dari suamiku.
Aku berlalu meninggalkan mereka, aku tidak punya kekuatan untuk mendengarkan percakapan mereka, hatiku hancur. Betapa bejatnya suamiku sampai memasak wanita yang seumur anaknya untuk berhubungan badan, sungguh terlalu. lang berhubungan badan, sungguh terlalu. Langkahku gontai menuju kamar tidur, ada berton batu menghantam kepalaku, sudut mataku panas tapi aku menahannya.
***
Akhirnya perkahwinan yang sudah tigapuluh tahun harus kandas di depan pengadilan agama. Baru saja palu pak hakim mengesahkan status baruku, seorang janda pada masa senjaku. Meninggalkan gedung hijau ini setelah beberapa kali mendatangi menambah sakit yang terus menerus mengalirkan darah dari orang yang sudah berjanji akan setia dan memperlakukan aku sebagai tulang rusuknya yang hilang satu. Sekarang tulung rusuknya pergi meninggalkannya, bukan meninggalkannya tapi dia yang telah membuangnya dengan cara yang mungkin tidak ada satupun perempuan di dunia ini mau membenarkannya.
Tidak ada lagi airmata yang mengalir, hanya rasa yang mungkin tidak ada cara untuk mengobatinya, sekali lagi aku memandang gedung hijau yang memberikan status baru padaku seorang “Janda.”***