7 | Menyerah Bukan Berarti Kalah
“Rama … Bapak sudah menyerah,” kata Kak Tuan Yusuf pada anaknya di berugak halaman belakang selepas magrib.
Wajah lelaki tua itu terlihat kusut masai. Cahaya yang selama ini memancar dari setiap titik wajahnya mendadak seperti terhapus oleh sebuah kesedihan yang tak kunjung selesai. Matanya yang biasa berbinar penuh harapan, kini hanya menyisakan kepasrahan tanpa usai. Namun demikian dia tetap ingin menunjukkan pada anaknya bahwa dia baik-baik saja seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Dia masih sanggup menanggungnya sendiri.
“Tapi kenapa, Pak? Bukankah Pak Kades belum mengeluarkan keputusan?” tanya Rama sambil memeluk bapaknya.
Tubuh pria yang sebagian kulitnya sudah tidak kencang lagi itu sedikit bergetar. Dia menahan untuk tidak membiarkan air mata menjadi banjir besar. Namun pelukan Rama mau tidak mau meruntuhkan pertahanannya yang mulai samar. Tangis itu pun pecah setelah kesedihan tersebar. Berhamburan tanpa ampun mendera keduanya yang seolah tak lagi kuat menahan sabar. Keduanya larut dalam samudera kesedihan yang dalam dan lebar.
Tanpa sepengetahuan mereka, dua orang perempuan berbeda usia tengah memperhatikan diam-diam di kejauhan. Air mata berkarib dengan keduanya saat menyaksikan pelukan tak berujung disertai sesenggukan. Akhirnya waktu pula yang membuat pelukan itu terpisahkan. Sebuah guncangan mendadak mereka rasakan. Selama beberapa detik, guncangan itu semakin keras dirasakan. Saat itu juga bumi beserta segala isinya seolah ingin dikeluarkan. Pekat pun mendadak membayangi ketakutan. Gulita melingkupi seluruh yang ada di semesta kehidupan. Ingar-bingar teriakan terus terdengar bergantian. Teriakan demi teriakan itu pun diselingi tangisan. Desa yang damai mendadak mencekam dan mengerikan. Kejadian tak terduga mengubur ketenangan yang selama ini dipertahankan. Tanah pun bergolak mengombang-ambingkan tubuh-tubuh tak berdaya yang hilang keseimbangan.
“Gempa, gempa! Lari, lari!”
Terdengar teriakan dari arah mamak Rama dan neneknya berdiri. Teriakan itu terdengar semakin keras bersamaan dengan lafaz mengagungkan asma Allah sebagai doa suci. Mereka berdua bergegas menembus lorong samping bangunan utama menuju halaman depan yang sangat luas dan aman jika runtuhan terjadi.
Sementara itu Kak Tuan Yusuf menarik tangan Rama menjauh dari berugak yang bergoyang semakin keras. Dengan tenaga yang dimiliki dia pun berusaha menarik Rama menuju halaman depan yang luas.
“Bruk!”
Terdengar ada sesuatu yang ambruk. Sesosok tubuh terjerembab di antara reruntuhan genteng rumah yang bergoyang seperti mengamuk. Sesosok kecil secepat kilat melesat menghindari pecahan-pecahan remuk.
Di tengah kegelapan dia menuju suara yang memanggil namanya. Di halaman depan luas itu dengan erat dia memeluk mamak dan neneknya. Mereka bertiga menangis bersamaan demi mengingat ada yang terpisah di antara mereka. Lirih mereka memanggil nama bapak Rama yang masih berusaha menembus lorong gulita.
Teriakan demi teriakan masih membelah pekat. Di tengah halaman, ketiganya berdiri mematung tanpa sekat. Mereka menunggu sosok yang masih tertinggal di bagian dalam dan mungkin sedang sekarat. Sesenggukan kembali terulang dengan cepat.
Beruntung Rama mengantongi telepon selulernya. Setelahnya keadaan agak sedikit tenang, dengan gagah dia melangkah menuju bapaknya berada.
“Jangan, Nak. Terlalu bahaya,” mamak Rama berusaha mencegah langkah setengah berlari itu.
Langkah itu masih berlanjut hingga lorong bagian belakang. Dia mendadak berhenti ketika bumi kembali diguncang. Dia pun memutuskan kembali pada mamaknya dengan terhuyung-huyung seperti perahu dihantam gelombang. Ketiganya kembali bertukar tangisan panjang. Doa-doa pun dirapal demi keselamatan saat bencana menghadang. Di tengah doa dan air mata, mereka dikejutkan oleh suara gedoran di pintu gerbang.
“Kak Tuan … Tolong buka gerbangnya!”
Teriakan itu berasal dari beberapa warga yang berdatangan. Mereka tidak tahu ke mana lagi harus menyelamatkan diri selain ke rumah bapak Rama yang lebih aman. Tidak heran. Dengan halaman depan hampir setengah luas lapangan sepak bola merupakan tempat aman untuk mencari perlindungan.
Mamak Rama bergegas berlari menuju gerbang. Sekali tarik gerbang pun terbuka lebar tanpa halang. Beberapa orang tetangga langsung bergerak dalam remang-remang menuju tanah lapang. Di sana telah berdiri Rama dan neneknya yang sedang berusaha menguatkan diri karena batinnya terguncang. Malam terus beranjak dalam cahaya rembulan yang remang. Guncangan demi guncangan terus terjadi hampir setiap lima belas menit sekali menyerang. Mereka tak ada yang berani bergerak dan beranjak meninggalkan tanah lapang. Semua menyatu dalam doa, kecuali bapak Rama yang langkahnya masih terhadang.
Lelaki itu merintih memanggil-manggil nama Rama. Dia terus berusaha menembus reruntuhan seorang diri. Butuh waktu cukup lama baginya untuk akhirnya bisa tiba di ujung lorong samping rumah yang tak lagi sepi.
“Bapaaakkk!”
Rama berteriak menghambur ke arah bapaknya diikuti mamak, nenek, dan beberapa lelaki dewasa–salah satunya adalah Rajab. Dengan bantuan penerangan telepon seluler, mereka berusaha mengangkat Kak Tuan Yusuf yang megap-megap. Belum sampai di tempat lapang, bumi kembali berguncang seolah tanpa sebab. Beberapa lelaki dewasa yang mengangkat bapak Rama terlihat oleng hendak terjerembab. Beruntung mereka akhirnya bisa menyelamatkan pria yang matanya telah sembab.
Saat gempa reda, mamak Rama memanggil Rajab dan beberapa orang lainnya. Mereka pun akhirnya berkumpul dan mendengarkan petunjuk dari mamak Rama secara saksama.
“Rajab dan semua. Minta bantuan kalian untuk masuk ke rumah,” kata mamak Rama yang sekaligus menjelaskan barang-barang apa saja yang harus diambil beserta posisinya masing-masing.
Sebelum mereka menghilang ke dalam rumah, mamak Rama berkata dengan setengah berteriak, “Kalian hati-hati, ya!”
Setelahnya mamak Rama kembali ke keluarganya. Di bawah bangunan kayu beratap seng, dia memeluk anak dan suaminya. Pemandangan seperti itu terlihat di beberapa bagian halaman depan rumahnya. Di satu titik, seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun terlihat menenangkan perempuan tua. Di titik lain, seorang perempuan muda sedang berusaha menenangkan bayinya dengan cara menyusuinya. Di titik lain beberapa orang terlihat duduk berkumpul dengan penerangan sekadarnya. Bukan itu saja. Sekelompok orang dengan pakaian adat–mereka adalah tetangga Rama yang beragama Hindu–sedang berusaha saling menguatkan sesamanya.
Perlahan tangisan pun mereda kemudian. Mereka akhirnya sedikit mampu menguasai segala kekhawatiran. Beberapa orang tetangga berinisiatif memimpin pembacaan doa-doa dan kidung pujian. Baris demi baris mengalun syahdu penuh pengharapan. Kekhusyukan pun mampu membunuh malam yang mencekam dan siap meluluhlantakkan.
Hampir tengah malam ketika Rajab dan teman-temannya berhasil mengeluarkan beberapa perlengkapan dari dalam rumah bapak Rama. Dengan cekatan, dia dan teman-temannya menyelesaikan tugas yang telah diberi. Selain menyiapkan hunian sementara dari kain terpal, mereka juga membuat kamar mandi darurat bertutup spanduk bekas berbahan vinyl di sisi kiri.
Lewat tengah malam semuanya selesai disiapkan. Beberapa warga segera membungkus diri dalam tenda dengan tetap saling menguatkan. Sebagiannya berjaga secara bergantian.
Di bawah atap seng, Rama masih memeluk bapaknya yang sudah tertidur. Di sana dia masih terjaga sendirian di samping mamak dan neneknya yang juga sudah tertidur. Malam terasa terlalu panjang dan tak kunjung uzur. Menatap sekeliling dalam remang, sudut matanya pun mengembang dalam kabur.
“Rama … Kamu tidur sana. Biar Kak Imah yang jaga Bapak.”
Rama berusaha menegakkan kepalanya yang sedikit terkulai menahan kantuk demi mendengar suara gadis yang sudah dianggapnya sebagai kakak itu. Dalam siraman cahaya lampu darurat, Rama tersenyum ke arah gadis yang tidak pernah lelah mengajarinya agar bisa menguasai panggung itu.
“Lalu bagaimana dengan Nenek Anah, Kak? Siapa yang jaga dia?”
Imah Inges mengukir senyum tipis, “Tenang, Rama. Ndak papa. Ndak jauh juga dari sini, kok. Kamu tidur saja dulu. Nanti Kita bisa gantian.”
Rama tidak mampu lagi memberikan alasan. Bahkan untuk sekadar menggelengkan kepala saja tidak sanggup dia lakukan. Kata-kata Imah Inges seolah-olah sedang meninabobokan segala kelelahan yang ditanggungnya sejak selepas magrib sebelum bumi berguncang sebagai sebuah kepastian.
Malam panjang menemani kecemasan-kecemasan di wajah-wajah lelah. Guncangan demi guncangan akhirnya mampu membuat mereka semua kembali tersadar untuk tidak menyerah. Tidak terkecuali bayi-bayi yang berada dalam gendongan ibu-ibu yang terlihat payah. Guncangan itu kembali melahirkan tangisan membuncah.
Rama membuka mata ketika telinganya menangkap keriuhan. Dia mengusap-usap matanya lalu mengedarkan pandangan. Beberapa objek singgah di matanya, dibiaskan oleh lensa mata menjadi sesosok yang sangat melekat dalam ingatan. Tidak jauh dari tempatnya duduk dia melihat Ipang Jering, Rudi Solong, Imah Inges, dan Rajab sedang saling menguatkan. Keempatnya sedang berbincang dengan sesekali diselingi tawa kecil untuk menutupi kekhawatiran. Mereka mengembangkan senyum ketika Rama terlihat melangkah menuju tempat mereka berkumpul dan berbagi kekuatan.
“Eh … Ada Paman Rajab juga,” kata Rama mengangsurkan tangan kanannya ke arah lelaki berjaket tebal yang duduk di antara Ipang Jering dan Rudi Solong.
“Aku Kira kamu pingsan. Ha ha ha,” kata Rudi Solong menunjuk muka Rama.
Rama yang tahu kalau dirinya sedang menjadi objek candaan pun hanya tertawa. Begitu sederhana cara menemukan kekuatannya yang sempat hilang, berkumpul kembali dengan teman-temannya.
“Kalian lagi ngomongin apa, sih? Lagi ngomongin aku pasti, ya?” tanya Rama setelah duduk di samping Imah Ingea.
“Woo! Pede sekali kamu. Ha ha ha,” jawab Imah Inges sambil tertawa dan memukul pundak Rama kemudian melanjutkan lagi kata-katanya, “kita lagi bahas tentang apa saja yang harus kita lakukan besok. Iya, kan, Kak Rajab?”
Rama melihat Rajab salah tingkah demi mendengar perkataan Imah. Tanpa basa-basi dan komando, dia bersama-sama dengan Ipang Jering dan Rudi Solong pun berkata, “Ciyee …”
Mendengar itu, Rajab tersipu malu, “Heh! Anak kecil ndak boleh gituin orang dewasa, ya. Ndak sopan namanya itu.”
Mendadak rasa bersalah menjalar di sel darah Rama. Dia merasakan ada yang berbeda dengan Rajab malam ini. Tidak seperti biasanya yang tidak pernah menanggapi serius perundungan mereka bertiga selama ini.
“Ah mungkin dia sedang lelah,” pikir Rama yang kemudian mengajak teman-temannya minta maaf pada Rajab.
Subuh hampir tiba ketika Rama dan yang lainnya mendengarkan dengan saksama penjelasan Rajab tentang langkah-langkah yang akan mereka lakukan esok hari. Di antara mereka tidak ada satu pun yang menyela penjelasan tentang mitigasi.
“Besok saat kondisi sudah agak membaik, kita cek rumah masing-masing. Kalau sekiranya aman dimasuki, Kita masuk sama-sama. Namun, jika tidak lebih baik tidak usah dipaksakan. Sampai sini kalian paham?”
Mereka mengangguk pelan. Sampai menjelang azan subuh, mereka masih mendengarkan penjelasan dari lelaki berusia hampir tiga puluhan.
“Langkah selanjutnya kalian harus mempersiapkan tas mitigasi. Apa saja isinya? Isinya selain beberapa stel pakaian, juga obat-obatan, jajan ringan, dan juga minuman. Tidak usah banyak-banyak. Cukup perkirakan bisa untuk dua hari ke depan. Sampai sini ada pertanyaan?”
Semua yang mendengar tidak ada yang menyahut. Mereka kebanyakan menganggukkan kepala sebagai jawaban meskipun tidak sedang takut. Mereka baru menjawab setelah Rajab menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan secara berkelompok dan bergiliran karena mendesak, yaitu dapur umum dan penambahan tenda untuk ibu hamil dan menyusui serta anak-anak yang membutuhkan selimut.
“Kami siap, Paman! Iya, kan, Ipang, Rudi?” jawab Rama sambil meminta persetujuan teman-temannya.
Kedua sahabatnya itu pun menjawab kompak dalam posisi tangan hormat, “Siap, Jenderal!”
Subuh pun akhirnya tiba. Mereka berbondong-bondong menuju masjid untuk salat berjamaah di sana. Kali ini giliran Pak Kades yang memberikan kuliah tujuh menit selepas salat penuh makna. Dalam ceramahnya, Pak Kades meminta warga agar tetap tenang sekaligus waspada terhadap gempa susulan yang bisa terjadi kapan saja.
Pagi yang layu kembali berguncang. Jamaah itu pun langsung berhamburan ke tanah lapang. Setelahnya, mereka beriringan kembali ke pengungsian yang siap menyambut mereka datang.
Di sana beberapa ada yang duduk-duduk saja. Ada juga yang sedang membersihkan luka. Beberapa anak-anak terlihat kehilangan tawa bahagia. Muram menemani matahari pagi yang semakin meninggi di angkasa. Terus meninggi meninggalkan kekhawatiran tak bertepi dan tak terhingga. Terlebih di dada Rama dan keluarganya ketika bapaknya terus-terusan merintih meremas-remas dada sebelah kiri secara tiba-tiba. Kali ini lebih serius daripada sebelumnya.
***