Guruku Tahu Aku Bisa
Cing Ato
#SecarikKenangan
Mentari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Embun pun masih bertengger bermesraan dengan daun talas, sementara bayu perlahan menyelimutiku. Suasana yang selalu membersamaiku dan melepaskan diriku pergi menjemput ilmu.
Dengan penuh keyakinan aku berangkat meninggalkan rumah untuk menjemput ilmu.
Dengan segudang pengetahuan yang aku baca semalam sebagai bekal untuk siap belajar di madrasah.
Biasa aku selalu bawa buku lengkap, mulai dari buku tulis, buku tugas, buku bacaan, dan kamus. Aku selalu menyiapkan buku untuk belajar besok, setelah itu aku baca. Sebelum tidur aku sudah masukkan ke dalam tas, sehingga tidak ada alasanku ketinggalan buku.
Setiba aku di sekolah aku sering menyapu kelas tanpa diketahui teman-teman sekelas. Terkadang membuat bingung teman-teman yang piket hari itu. Hal ini aku dapat pelajaran dari kepala madrasah. Beliau selalu menyapu kantornya di pagi hari sebelum murid-murid datang. Aku adalah siswa pagi yang selalu datang sebelum teman-temanku datang.
Tidak berapa lama teman-temanku telah datang ke madrasah. Masing-masing mereka menurunkan kursi yang tadi pagi aku angkat dan kuletakkan di atas meja.
“Teng. ..teng….teng….teng” terdengar suara lonceng yang terbuat dari besi dipukul beberapa kali oleh guru piket.
Murid-murid pun semua masuk ke kelas masing-masing. Selanjutnya disusul para guru. Kebetulan hari itu pelajaran pertama mata pelajaran Al-Qur’an Hadits yang diajarkan oleh bapak Ustaz H. Efendi…
Aku kenal pak ustaz H. Efendi sejak menuntut ilmu di MTs Nurul Huda Cakung. Ketika aku menuntut ilmu di MAN 1 Filial Cilincing Jakarta Utara. MAN ini cabang dari MAN 1 Grogol. Lalu MAN 1 Filial Cilincing memisahkan diri menjadi MAN 5 Marunda Jakarta Utara.
MAN 1 Filial Cilincing dahulu gedungnya menyatu dengan MTSN 5 Cilincing. Namun, setelah itu pindah ke gedung baru di Marunda.
Pak H. Efendi tubuhnya agak tinggi, ganteng, dan penampilannya seperti seorang ustaz. Beliau selalu memakai kopiah hitam. Namun, sedikit galak kalau kata anak sekarang. Mungkin tegas lebih cocok.
Suatu hari selesai menjelaskan ayat Al-Qur’an beliau mengajukan pertanyaan kepada siswa-siswi tentang kedudukan salah satu ayat ditinjau dari ilmu nahwu.
Satu-persatu siswa-siswi ditanyakan. Beliau mulai bertanya kepada para siswa yang duduk di sebelah kiri kelas. Dari depan terus ke belakang lalu ke depan lagi begitu seterusnya tak satupun teman-teman yang dilalui bisa menjawab, karena tidak bisa menjawab akhirnya mendapatkan hadiah berupa sabetan mistar di belakang tubuh. Wow,…panaaaas…
Tibalah beliau pada lajur kanan tempat di mana aku duduk. Kebetulan aku duduk baris kedua dan aku duduk sebelah kiri teman satu meja. Teman-teman yang di depanku mulai ditanya dan tidak bisa menjawab. Mistar pun melayang.
“Blak…bluk…” Bunyi tubuh terkena mistar
“Mati deh gue dapet sabetan penggaris,” ujar teman semejaku sambil membayangkan betapa nikmatnya dapat sabetan.
Aneh ya, aneh. Aku heran kenapa pak guru melewatiku dan teman yang disampingiku yang ditanya. Sementara aku dilewatkan.
“Aduh,” teriak temanku sambil badannya agak di kedepankan.
“Busyet, dah lumayan sakit,” ujarnya lagi
Aku hanya tersenyum saja.
“Lah, eluh dilewatkan, kagak ditanya,” ujar teman keheranan.
“Lah, tahu gue juga kaga tahu, pak guru malah ke belakang,” timpalku.
Habis deh, teman-teman disabetin semua gara-gara tidak tahu jawabannya. Setelah semuanya ditanya pak guru balik ke depan menuju tempat dudukku. Aku santai saja karena aku sudah tahu jawabannya. Sepertinya guruku juga sudah tahu bahwa aku tahu jawabannya. Maka itu, aku ditanyakan di akhir.
Pak guru langsung bertanya. Dengan ringan aku menjawabnya dan jawaban itu betul. Aku pun terbebas dari sabetan mistar.
“Alhamdulillah, Alhamdulillah, dan Alhamdulillah,” ucapku dalam hati yang penuh kebahagiaan.
Rasanya pada saat itu aku bangga sekali, tidak sia-sia aku belajar siang malam terkadang libur pun aku belajar. Wajar kalau aku bisa menjawabnya, ditambah setiap malam aku mengaji ke pak kiai. Dan aku juga punya besik ilmu Nahwu. Ketika aku duduk di MTs Nurul Huda guru bahasa Arab mengajarkan ilmu nahwu dasar dan malamnya aku mengaji sarah dari ilmu itu.
Karena belajar setiap hari, sampai aku hafal semua ayat dan hadits yang ada di buku pelajaran Al-Qur’an Hadits. Selain itu juga sejak kelas 2 ( kelas 8) MTs sudah menemukan kunci belajar. Wajar kalau aku selalu berada di pusaran lima besar sejak kelas 1, 2, dan 3 MAN.
Pada akhirnya aku mendapatkan tiket kuliah ke perguruan tinggi negeri IAIN Jakarta (UIN Jakarta) lewat jalur prestasi. Itu pun aku harus bertarung dengan 200 siswa berprestasi MAN se-DKI Jakarta. Di samping itu juga aku mencoba lewat jalur biasa, ternyata lulus juga. Padahal bersaing dengan 3000 orang pada jurusan yang aku ikuti. Dan yang diterima sekitar 200 orang. Alhamdulillah,… Anak tukang arang akhirnya bisa kuliah.
Demikian secarik kenangan, ketika masih duduk di bangku madrasah. Semoga bermanfaat. Aamiin yaa rabbal a’lamin
Kuncinya prestasi adalah belajar, belajar, dan belajar.
#Belajarlah setiap hari dan lihatlah apa yang terjadi.#
Komentar