Serbet Dapur Penghalang Api Neraka (5)

Terbaru38 Dilihat

SUHARTO

MTS N 5 JAKARTA


Ada dua orang bertetangga, biasa dalam hidup bertetangga tak lepas saling berbagi, pinjam sana-pinjam sini atau minta sana-minta sini, hal itu wajar dalam bertetangga.

Kita sering melihat atau kita sendiri yang melakukannya. meminta bumbu dapur karena males ke warung atau memang warungnya agak jauh, sementara kita tanggung lagi masak. Tidak banyak si, hanya sekedar satu sendok garam, satu siung kunyit, satu buah cabai dan lainnya. Tetapi terkadang ada tetangga yang pelitnya tidak ketulungan, buntut gasir, pantat kuning, pelit, medit, koret dan sejuta label lainnya.

Ya, itulah kehidupan ada tetangga yang baik sekali, ada setengah baik, ada sedikit baik, dan ada sama sekali pelit. Jangankan tetangga, terkadang kita dapati saudara kita sendiri ada yang seperti itu. Tentunya ada yang melatarbelakangi kenapa mereka seperti itu?


Suatu hari ada tetangga yang meminjam serbet/lap dapur.
“Ibu, pinjam lap dapur. Lap saya tidak ada, saya mau angkat wajan habis goreng ikan,” kata tetangga.
“Ya, bu sebentar saya ambil,” jawab tetangga.


Padahal terkadang sulit sekali dipinjamkan, tetapi kali ini lagi lurus pikirannya. Mungkin hanya lap dapur yang baunya sampai tujuh rasa dan warnanya tidak sedap dipandang.


Singkat cerita ketika sudah berada di alam pembalasan tetangga itu dihisab oleh Allah. Ketika api neraka menyambarnya dia teriak sekencang-kecangnya sambil berucap.


“Astaghfirullah….. astaghfirullah…. astaghfirullah,” ucapnya sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.
Kemudian dia terdiam sambil melihat tubuhnya
“bukanya tadi api menyambar ke saya,” ucapnya dalam hati sambil terheran.


Tiba-tiba ketika dia sedang terheran api itu menyambar lagi, dengan sigap diapun teriak lagi Sabil mengucapkan
“Astaghfirullah… astaghfirullah….. astaghfirullah….,” Kemudian dia buka lagi telapak tangan yang menutupi wajahnya sambil melihat tubuhnya.
“Ada apa ya…. hingga aku tidak tersentuh api,” kata hatinya penuh tanda tanya.


Apipun datang lagi menyambar diapun teriak sambil mengucapkan istighfar, tetapi kali ini matanya sedikit mengintip dari sela-sela jari ingin mengetahui apa yang menyebabkan api tidak menyentuh tubuhnya.
“MasyaAllah…… Alhamdulillah….itukan lap dapur yang dulu saya pinjamkan tetangga, ya Allah…. Astaghfirullah… astagfirullah…. astagfirullah…..,” ucap tetanga pelit.


Lap dapur yang kita pandang hina, jika diberikan kepada orang lain pun tidak ada yang mau, apalagi sampai dijual pasti tidak ada yang beli. Terkadang kita bertemu dengannya kita malah menjauh. Tetapi siapa sangka sangat bermanfaat disaat-saat kita butuh bahkan bisa menolong kita.


Kisah di atas tentang menanamkan kebaikan walaupun hanya lap dapur yang tak berharga, bisa kita jadikan pelajaran dalam berselancar mengarungi samudera kehidupan ini.


Masihkah kita bangga dengan apa yang kita miliki, sementara semua itu tidak bisa menolong kita, kecuali jika berbagi kepada sesama, anak-anak yatim yang terlantar, panti asuhan yang memerlukan uluran tangan dan orang-orang duafa yang memerlukan bantuan kita.


Pada dasarnya harta yang kita miliki di mata Allah adalah harta yang kita infakkan atau shodaqohkan. Tidak ada yang kita bawa ketika kita mati, kecuali amal, amal, dan amal. Harta yang kita punya menjadi ajang rebutan anak-anak kita. Istri, suami dan anak-anak yang kita cintai tidak akan menemani kita di alam kubur. Mungkin mereka sedih seminggu dua Minggu selebihnya seiring waktu berjalan mereka akan melupakan kita. Kecuali kita meninggalkan mereka menjadi anak-anak yang soleh dan Sholehah.
Tuhan berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ

Artinya:”Barangsiapa yang berbuat kebaikan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan (sebesar biji dzarrah), niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. ” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).


Demikian, perbanyaklah amal kebaikan selagi Allah memberikan waktu dan kesempatan. Jangan sampai lupa dan baru sadar ketika waktu sudah tidak ada.

Tinggalkan Balasan