Mengenal Pendidikan Segregasi dan Inklusi

Pendidikan untuk semua. Bagaimanapun keadaanya, sejatinya anak-anak layak mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Tidak ada anak yang bisa memilih terlahir dari latarbelakang sosial, ras, miskin, kaya, lahir normal ataupun berkebutuhan khusus dan lain sebagainya.

Nah, selama ini kita mengenal pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah terdiri atas pendidikan regular pada sekolah regular seperti TK, SD, SMP/MTs, SMA/SMK dan sekolah Luar biasa (SLB) seperti TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. System pendidikan yang seperti ini dikenal dengan istilah “segregasi”

Pembelajaran model “segregasi” yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus / Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata lain, di sekolah ini Anak Berkebutuhan  Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggrakan secara reguler.

Dengan model segregatif tersebut, Depdiknas (2007:1) menjelaskan bahwa tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal. Hal ini mengingat, kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Di samping itu, peserta didik tidak disiapkan untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal. Mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Dengan demikian, perkembangan emosional dan sosialisasi siswa kurang luas karena faktor lingkungan menjadi terbatas.

Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan kesepian dan perasaan rendah diri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat pula mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku stereotip dan stimulasi diri. Ini menambah kondisi mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.

Agar perkembangan peserta didik tanpa diskriminasi terwujud, Para ahli berbagai disiplin ilmu, simpatisan, dan kelompok penyandang disablitias melakukan berbagai usaha perbaikan untuk menyebutkan secara spesifik orang penyandang disabilitas dan menekankan bahwa semua penyandang disabilitas–tanpa memandang tingkat keparahannya–memiliki hak atas pendidikan. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut memperoleh hasil, maka pada Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 memuat instrumen-instrumen hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus lainnya.

Dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 tersebut telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia) suatu instrumen yang mengikat hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum. Bahkan Pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan dasar “wajib dan bebas biaya bagi semua”. Hal inilah salah satu yang melatarbelakangi terbentuknya Sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif.

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan Pendidikan memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Tujuan Pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk memperoleh pendidikan yang layak sesuai dengan kondisi anak dan menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta pembelajaran yang ramah terhadap semua anak.

Adapun Sasaran Pendidikan inklusif yaitu anak usia sekolah termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). ABK yang mengalami hambatan permanen,  temporer maupun hambatan dalam perkembangan.

Anak berkebutuhan khusus yang dapat dilayani melalui pendidikan inklusif diantaranya, cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, cerdas dan atau berbakat istimewa, anak yang tinggal di daerah terpencil/terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/sosial, kemiskinan, warna kulit, gender, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak gelandangan dan nomaden, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

Nah,  bapak dan ibu sudah mengenal pendidikan dengan model segregasi dan inkusif. Sekolah bapak dan ibu guru, anak-anak, cucu kita sekolah dengan model yang mana ya, ayo komentar di bawah ya. Terima kasih

Tinggalkan Balasan

News Feed