Isu intoleransi beragama terus digulirkan di tengah umat, termasuk
seputar perayaan Natal beberapa waktu lalu. Tuduhan intoleransi diarahkan kepada muslim yang memilih tidak memberikan ucapan selamat buat hari raya pemeluk agama lain. Instansi pendidikan juga menjadi lahan disebarnya opini tentang buruknya sikap intoleransi yang endingnya ditunggangi dengan ide moderasi beragama.
Di awal tahun 2021, juga sempat heboh tentang tuduhan intoleransi. Beredar berita dugaan seorang siswi Nasrani yang ‘diharuskan’ memakai kerudung saat bersekolah di SMK Negeri 2 Padang (www.bbc.com). Respon atas kasus ini luar biasa, Mendikbud, Mendagri dan Kemenag sontak meluncurkan Surat Keputusan Bersama terkait Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di lingkungan sekolah Negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah.
SKB Tiga Menteri tersebut mencakup enam keputusan utama yang salah satu poinnya berisi tentang keharusan bagi Pemerintah Daerah dan Kepala Sekolah untuk mencabut aturan terkait keharusan maupun larangan penggunaan seragam maupun atribut keagamaan di lingkungan sekolah negeri. (kompas.com).
SKB ini membawa pengaruh kebebasan dimana siswa muslimah boleh tidak memakai kerudung di sekolah. Padahal, di usia tersebut, mayoritas mereka sudah balig sehingga terkena kewajiban menutup aurat. Sementara penerapan kewajiban ini
masih sangat minim diterapkan dalam kurikulum.
Kemudian munculah permohonan uji materil SKB 3 Menteri yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Upaya ini berakhir dengan dibatalkanya SKB ini oleh Mahkamah Agung (MA). Adapun dasar MA melakukan pembatalan adalah karena terdapat Undang-undang yang bertentangan dengan SKB ini.
Nampak bahwa pembatalan ini dasarnya bukan syariat Islam, padahal ranah yang dirugikan dalam SKB tadi masuk ke dalam ranah syariat yaitu berkaitan dengan kewajiban menutup aurat. Tak bisa dibantah hal suburnya paham sekularisme di negeri ini.
Munculnya SKB yang menjadi polemik ini sesungguhnya tak lepas dari paham Sekularisme yang melahirkan paham bebas. Ide kebebasanlah yang melahirkan kegelisahan akan munculnya sikap intoleransi. Tuduhan intoleransi ini dalam perkembangannya ditunggangi dengan ide moderasi beragama.
Demi membela ‘toleransi beragama’ dan melindungi rakyat minoritas, aturan formal yang bertentangan dengan tatanan syariat Islampun dibuat. Sekolah bukan menjadi tempat untuk melatih penerapan syariah bagi muridnya. Lembaga pendidikan malah dijadikan tempat pelanggengan agenda liberalisasi global, yaitu menghambat kebangkitan islam.
Perlu Sikap Kritis
Umat Islam harus melek politik dan bersikap kritis. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan umat sesungguhnya adalah bagian dari politik. Umat Islam perlu melakukan koreksi terhadap kebijakan pemerintah jika bertentangan dengan syariat agama Islam. Kewajiban amar makruf nahi munkar harus dilaksanakan, karena ini merupakan perintah agama.
Perlu dikritisi bahwa peluncuran SKB tiga menteri itu bernuansa diskriminasi. Pasalnya, SKB tentang Seragam Keagamaan ini dibuat tidak lama setelah ada dugaan kasus pemaksaan penggunaan kerudung terhadap siswi Nasrani, kala itu. Di sisi lain, telah banyak terjadi kasus dimana pelajar muslimah dilarang menggunakan kerudung di sekolah, namun pemerintah tidak merespon.
Tahun 2014, seorang pelajar muslimah di SMAN 1 Denpasar, Bali, dilarang memakai kerudung ke sekolah. Kasus serupa terulang kembali di tahun 2017, seorang pelajar muslimah di SMA Negeri 1 Maumere yang berkerudung, dilarang memakai rok panjang. Kedua kasus tersebut hanya diselesaikan di tingkat lokal antar pihak yang terkait, sementara pemerintah tetap geming.
Kejanggalan respons inilah yang memunculkan kecurigaan adanya agenda besar yang sedang dilancarkan. Walaupun SKB ini akhirnya berhasil dibatalkan, namun dasarnya bukan opini keberpihakan terhadap syariat Islam. Oleh karena itu, kaum muslim harus tetap semangat dalam mengarusksn opini Islam dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebab, sesungguhnya bahaya yang mengancam umat muslim saat ini begitu nyata.
Agenda Global?
Sebuah pertanyaan logis muncul, tentang mengapa terhadap aturan agama Islam, pemerintah menjadi alergi? Seolah aturan Islam sebagai penyebab adanya intoleransi di negeri ini. Terkesan bahwa umat Islam harus diwaspadai karena tak toleran.
Bila ditelusuri, tuduhan intoleran ini berkaitan dengan agenda Barat yang menginginkan agar islam tak bangkit. Kebangkitan islam merupakan momok bagi peradaban Kapitalis yang saat ini tengah menguasai dunia. Agenda ini disambut dengan ramah oleh pihak yang menginginkan agar posisi kekuasaan mereka aman.
Monsterisasi terhadap aturan Islam ini datang dari propaganda Barat termasuk pemimpin Amerika Serikat. Mereka telah memberi label yang buruk pada Islam, seperti teroris dan radikalis. Umat Islam dijauhkan dari penerapan aturan agamanya sendiri.
Diopinikan bahwa jika terlalu mendalami Islam dinilai akan terjebak dalam radikalisme yang menumbuhkan bibit terorisme. Ini merupakan fitnah, yang kemudian malah digaungkan oleh pemimpin negeri-negeri umat Islam. Keagungan syariat islam untuk diterapkan menjadi tumbal, demi mengekor agenda global.
Kebangkitan Islam Mimpi Buruk Bagi Barat
Sejarah membuktikan, ketika sistem pemerintahan Islam diterapkan di kehidupan dalam bingkai Khilafah, umat Islam menguasai dua per tiga dunia. Tegaknya kekuasaan Islam telah menghadirkan kemakmuran dan memberi kemashlahatan. Kegemilangan sistem pemerintahan Islam begitu menyilaukan sehingga membuat pihak Barat dengki. Bangkitnya umat islam dalam bentuk kekuasaan berupa institusi khilafah islamiah merupakan momok bagi negara adidaya Barat. Mereka berusaha melakukan cara apapun agar kebangkitan islam ini tak terjadi lagi.
Umat Islam yang tengah berjuang untuk menerapkan agamanya secara menyeluruh dinilai menjadi ancaman besar bagi eksistensi sistem sekuler dan liberal saat ini. Karena itu, Barat meluncurkan jurus moderasi beragama sebagai akal-akalan agar umat Islam jauh dari mengenal ajaran agama sebagaimana adanya. Sejumlah dana pun diluncurkan untuk proyek ini, bahkan hinhga mencapai 7,2 T.(http://republika.id/28/9/2022)
Islam moderat dalam casing moderasi beragama disematkan sebagai lencana penghargaan bagi siapa saja yang ingin dinilai memiliki pemikiran sesuai kepentingan Barat yang justru menjadi musuh islam. Ajaran Islam yang sesuai Al-Qur’an dan Hadis dinilai tidak lagi relevan dengan era globalisasi saat ini.
Lebih parahnya, moderasi beragama dijadikan alat untuk mengadu domba antarsesama umat Islam di dunia. Label fundamental, tradisional, moderat dan liberal, yang dimunculkan oleh lembaga Rand Corporation milik AS menjadi senjata dalam politik belah bambu. Labelisasi ini menjadi pemisah persatuan umat Islam dengan identitas muslim yang sesungguhnya. Mereka akan berupaya agar umat Islam jauh dari syariat dan enggan menunjukkan identitasnya. Sebab mereka tahu betul, ketika umat Islam bersatu dalam naungan sistem pemerintahan Islam, sejarah kebangkitan umat Islam ada di depan mata.
Harapan Kebangkitan Islam
Menghadapi fitnah Islam moderat di akhir zaman ini, akan tersaring mana yang istikamah dalam kebenaran Islam dan mana yang akhirnya tergiur dengan kekuasaan. Ketika jumlah orang-orang yang berani menyerukan dakwah agar kembali kepada aturan Islam secara menyeluruh jumlahnya sangat sedikit akibat tekanan-tekanan yang didapatkan, cukuplah kita merasa optimis saat mengingat sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Muslim yang artinya, “Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.”
Umat Islam musti cerdas menilai setiap perkembangan kebijakan pemerintah dengan kacamata Islam, dan aktif mengkritisi jika didapatkan racun moderasi yang diaruskan secara global ke dalam pemikiran umat saat ini. Sebab, kebangkitan Islam merupakan sebuah keniscayaan. Rasulullah saw telah memberikan bisyarah atau kabar gembira. Wallahu a’lam bishowab.