Kesengsaraan demi kesengsaraan terus menimpa anak. AYS dan istrinya YG di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, menyiksa bayi berusia 2 tahun yang diasuhnya hingga tewas. Alasannya sepele, gara-gara korban sering rewel.
Kasus serupa juga ter Jakarta, seorang anak perempuan yang ditelantarkan ayahnya sendiri di salah satu kios pasar Kebayoran Lama. Di tubuhnya ditemukan sejumlah luka lebam di bagian mata hingga luka bekas senjata tajam. Bahkan ada bekas luka bakar di wajahnya. Ia mengaku disiksa ayah kandungnya sendiri. (Tempo, 12/06/25).
Di Simalungun, seorang ayah tega melakukan kekerasan seksual terhadap tiga putri kandungnya semenjak mereka masih kelas 5 SD. Di Sragen, seorang ayah tiri mencabuli putrinya yang masih berusia 14 tahun sampai hamil. Bikin nyesek. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung anak, kini tidak lagi aman.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kekerasan anak yang masih terjadi di masyarakat Indonesia. (Republika, 17-6-2025).
Ironis! Rumah yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi tempat yang berbahaya bagi anak. Keluarga yang seharusnya menyayangi, justru menorehkan luka. Kondisi ini merupakan cerminan akan kerusakan kehidupan yang ada hingga ke dasarnya. Lantas, ke manakah anak-anak ini akan berharap perlindungan?
Kekerasan dapat berdampak serius pada anak, tidak hanya mengakibatkan luka fisik, tetapi menorehkan luka jiwa. Anak yang hidup dalam kekerasan, terlebih yang dilakukan oleh keluarga, akan mengidentifikasi bahwa kekerasan merupakan penyelesaian masalah. Mereka menjadi pelaku kekerasan pada waktu ke depan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) menuliskan data, kasus kekerasan di negeri ini mengalami kenaikan beberapa tahun terakhir. Pada 2020 tercatat 11.264 kasus Pada 2021, terdapat 14.446 kasus, pada 2022 ada 16.106 kasus dan pada 2023 ada 18.175 kasus.
Temuan lain dari SIMFONI-PPA menunjukkan, kekerasan anak dengan pola yang sama dari tahun ke tahun. Pertama, pelaku kekerasan anak didominasi orang terdekat dan orang tua. Kedua, jumlah kasus terbanyak terjadi di dalam rumah tangga.
Angka yang terdata di atas sebatas yang dilaporkan, sedangkan yang tidak tercatat bisa jadi lebih besar. Kekerasan yang terjadidalam keluarga seperti gunung es yang hanya tampak di permukaannya saja.
Mengapa Rumah Menjadi Sumber Kekerasan?
Menteri PPPA menjelaskan bahwa penyebab utama kekerasan terhadap anak ada tiga faktor, yakni pola asuh yang tidak tepat, penggunaan gadget yang tidak bijaksana, dan pengaruh lingkungan.
Menelaah lebih jauh hal
yang disampaikan Menteri PPPA tentang tiga hal penyebab kekerasan, pada dasarnya hanyalah dampak, bukan penyebab. Kesalahan pola asuh, misalnya, efek dari penerapan kapitalisme yang mendorong perempuan untuk mencari nafkah keluarga. Beban sebagai istri, ibu dan pencari nafkah, telah merampas waktu kaum ibu untuk mendidik, melindungi dan memantau hal yang terjadi pada anak. Anak-anak menjadi kehilangan hak.
Kesalahan penggunaan gadget dan kesibukan sehingga otang tua mengalihkan pengasuhan pada gadget juga dampak dari sistem yang ada. Dampak dari paham kebebasan berpendapat membuat orang mudah menghalalkan berbagai sarana pemuas syahwat nafsu yang mudah terakses mudah melalui gadget.
Lingkungan yang rusak juga dampak dari penerapan kapitalisme-liberal dalam kehidupan. Masyarakat yang individualis, cuek, pergaulan rusak, merebaknya kejahatan di masyarakat yang pada akhirnya berdampak ke rumah, terutama anak-anak sebagai korban.
Karena semua hanya hal di atas merupakan dampak, kita tidak akan mampu mengurai masalah hanya dengan mengajarkan pola asuh anak kepada orang tua, mengatur penggunaan gadget, ataupun menguatkan ketahanan keluarga.
Arus Kapitalisme-liberalisme, sedemikian kuat melibas benteng-benteng keluarga. Sekuat apa pun kita membangunnya, dampak kerusakannya tak akan hilang. Keluarga memerlukan benteng yang kuat dan mampu menahan arus tersebut agar tidak merobohkannya. Benteng besar itu adalah institusi Khilafah, yaitu negara yang menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh.
Khilafah Sebagai Pelindung Anak
Persoalan kekerasan terhadap anak merupakan efek buruk dari penerapan sistem kapitalisme-liberalisme yang rusak dan merusak. Untuk menyolusi kerusakan yang bersifat sistemik, haruslah sepadan, yakni dalam level sistemik pula. Dalam hal ini, Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki sistem untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan terhadap anak. Karena aturan islam berasal dari dzat yang menciptakan segala makhluk.
Penerapan sistem Islam secara menyeluruh akan meniscayakan ketiadaan tindak kekerasan apapun, termasuk terhadap anak. Hal itu karena Islam merupakan satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur aktifitas ritual atau aspek ruhiyah semata. Selain sebagai akidah ruhiyah, Islam juga merupakan akidah siyasiyah, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan guna mengatur kehidupan di setiap aspeknya.
Aturan Islam berasal dari Sang Pencipta, yang Maha Tahu atas manusia yang diciptakan-Nya. Inilah aturan yang terbaik, berbeda dengan aturan produk akal manusia. Sementara aturan buatan manusia bersifat terbatas, coba-coba dan parsial.
Penerapan aturan Islam ini dibebankan kepada negara. Negara punya peran yang strategis dalam urusan yang menyangkut kehormatan, harta dan nyawa manusia Rasulullah ﷺ bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara. Dalam hadis-nya yang mulia, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Dalam hadis lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Mekanisme Islam dalam Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Islam memiliki konsep ekonomi secara paripurna dengan mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang memadai para kepala keluarga. Di samping itu, semua sumber daya alam strategis adalah milik rakyat yang dikelola negara. Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warga negara, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan. Dengan jaminan seperti ini, para ibu tidak perlu bekerja. Kaum ibu bisa fokus pada tugas utamanya mendidik dan menjaga buah hatinya.
Negara juga wajib menjaga atmosfer ketakwaan dan kesadaran terikat terhadap hukum di tengah masyarakat. Pembinaan dilakukan di sekolah, di masjid, maupun di lingkungan tempat tinggal.
Orang tua akan memahami fiqih keluarga. Mereka mengajarkan anak hukum Islam semenjak dini, seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu, memisahkan kamar tidur anak, dan sebagainya.
Negara mengatur mekanisme peredaran informasi di dalam negeri melalui berbagai media massa. Media massa bebas menyebarkan berita, namun wajib memberikan pendidikan bagi umat serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Jika terjadi pelanggaran , negara akan menjatuhkan sanksi yang tegas pada penanggung jawabnya.
Untuk media asing, konten akan disaring dari pemikiran dan peradaban yang bertentangan dengan akidah Islam. Begitu pun internet, dibatasi dan dipantau. Negara akan memblokir aplikasi yang menyebarkan paham yang bertentangan dengan Islam. Konten pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme, dan sejenisnya akandicegah untuk masuk ke dalam negeri.
Selain itu, negara mencegah masuknya berbagai paham dan budaya yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan kehidupan masyarakat, seperti liberalisme, sekularisme, homoseksualisme, dan sejenisnya dari saluran mana pun. Media massa, buku-buku bahkan orang asing yang masuk dilarang membawa atau menyebarkan hal tersebut. Jika mereka melanggar, akan dikenakan sanksi berdasarkan hukum Islam.
Demikiankah, penerapan hukum Islam secara menyeluruh akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin dan pembentuk generasi terbaik.
Institusi yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab di atas tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara paripurna, yaitu negara Khilafah.