Menkes RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan, pemerintahan RI membuka pintu investasi asing sebesar-besarnya untuk pengadaan vaksin, obat-obatan, serta peralatan medis. Hal itu disampaikan dalam acara Health Business Gathering 2021 yang digelar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Invervestasi Menurut Menkes, pemerintah akan memberikan insentif kepada perusahaan vaksin untuk mendirikan pusat produksi vaksin mereka di Indonesia, terutama untuk vaksin jenis viral-vector based dan nucleid-acid based (m.kumparan.com,23/9/2021).
Menurut Menkes, selama pandemi Covid-19, Indonesia mengalami ketergantungan impor terhada obat-obatan dan vaksin. Sayangnya proses impor tersebut terhambat karena lockdown. Lalu, pemerintah mengupayakan agar 30—50% sumber kebutuhan penanganan pandemi tersedia dari dalam negeri.
Untuk itu disusunlah 6 program Transformasi Industri Pelayanan Kesehatan. Salah satunya berisi tawaran keran insentif bagi perusahaan asing yang membangun industrinya negeri ini. Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan menjelaskan, insentif tersebut berupa penghapusan beberapa pajak, pengurangan biaya cicilan pajak, dan pengembalian kelebihan pajak hingga 5 miliar rupiah. Pemerintah bahkan telah menyiapkan Batang Industrial Zone seluas 400 hektare di Batang, Jawa Tengah, yang didesain khusus untuk Industri Kimia Farmasi, termasuk vaksin.
Solusi Yang Gamang
Beberapa perusahaan telah menyatakan vaksin yang mereka produksi berprluang mengalami penurunan efektivitas untuk melawan varian Omicron, salah satunya adalah Moderna (nucleid-based vaccine). Karenanya tawaran Menkes untuk mengajak perusahaan vaksin jenis viral-vector dan nucleid-acid based ini tampaknya kurang tepat. Kala efektivitas vaksin dalam menghadapi tantangan baru pandemi masih dipertanyakan, Ri malah membuka penawaran khusus untuk perusahaan vaksin jenis tersebut. Hal ini menunjukkan kesalahan membaca peta pergerakan pandemi sehingga solusi yang diambil menjadi tidak pasti.
Menggali Potensi Memberdayakan Peneliti Pribumi
Tidakkah lebih baik jika memberdayakan biaya insentif tersebut untuk penelitian pengembangan vaksin teknologi terbaru yang mampu melawan varian Omicron? Sejauh ini saja, Indonesia telah mampu bikin vaksin berteknologi virus vaccine dan protein-based vaccine. Ahli di bidang ini di negeri ini juga tak kurang. Mengapa harus bergantung pada asing?
Jika pengembangan vaksin dilakukan secara mandiri, berpeluang bagi Indonesia sebagai pusat ekspor vaksin secara global.
Ketergantungan pada Asing, Negara Berkepas Tangan
Sikap pemerintah yang menyerahkan pengembangan dan pengadaan vaksin kepada investor asing dengan membangun perusahaannya di Indonesia merupakan bentuk lepas tanggung jawab atas kepentingan hajat hidup publik. Kehadiran investor asing pada industri kesehatan akan membuat negara makin ketergantungan. Hal ini kontradiktif dengan pernyataan awal Menkes terkait tujuan investasi sektor kesehatan ini, yaitu agar Indonesia bisa berdaya secara mandiri. Jika yang mengambil alih adalah perusahaan asing, dimanakah wujud kemandiruan negara?
Berdasarkan Perpres 44/2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penyalur Alat Kesehatan, penanaman modal asing maksimal hanya 33%, bahkan untuk Perdagangan Besar Bahan Baku Farmasi (vaksin dan obat antivirus bisa termasuk di dalamnya) mensyaratkan bahwa 100% modal berasal dari dalam negeri.
Atas dasar ini, sektor kesehatan masuk dalam Daftar Negatif Investasi karena berkaitan dengan ketahanan suatu negara. Jika asing menguasai sektor kesehatan yang itu menyangkut menyangkut hajat hidup warga negaranya sendiri, berarti pemerintah berlepas tangan. Bahkan, pemerintah mengingkari dasar konstitusi negaranya sendiri, yaitu UUD 1945 pasal 28 I ayat 4 yang menyatakan bahwa pemenuhan hak asasi manusia, termasuk pelayanan kesehatan, adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Layanan Bidang Kesehatan Dalam Islam
Berbicara tentang wabah penyakit infeksi, sejak jaman dahuluntelah terjadi. Sejarah membuktikan bahwa ilmuwan muslim merupakan pelopor dalam penemuannya. Sekitar 1020 M pada masa kejayaan dunia Islam, Ibnu Sina ‘Bapak Kedokteran Modern Dunia’ dalam bukunya The Canon of Medicine telah menjelaskan konsep penting seperti metode karantina dalam membatasi penyebaran penyakit menular.
Pada abad ke-14, wabah The Black Death bubonic plague menyerang Andalusia. Dokter muslim bernama Ibnu Khatima menjadi yang pertama menemukan bahwa penyebab penyakit infeksi tersebut adalah mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh manusia
Di abad yang sama, dokter muslim keturunan Andalusia-Arab bernama Ibnu al-Khatib (1313—1374) menulis jurnal “On the Plague” yang mampu menjelaskan teori dasar bahwa penyakit infeksi dapat tertular melalui kontak tubuh atau pakaian, mirip sekali dengan kasus penyebaran Covid-19 saat ini.
Semua itu terjadu pada masa kekhilafahan. Dengan sistem pendidikan kesehatan Islam era Khilafah tersebut, cendekiawan muslim menjadi pelopor teknologi dan temuan penting dalam bidang kedokteran. Tidak seperti saat ini, ketika sistem kehidupan Islam tidak terterapkan, umat muslim menjadi tergantung pada pihak asing.
Melepaskan tergantungan terhadap asing hanya dapat ditempuh bila Indonesia mandiri dan berdaulat. Bahkan kapitalisme memperparah kondisi Indonesia masih berpegang pada sistem kehidupan yang cacat dan rusak ini.
Perlu merujuk pada Islam sebagai sistem kehidupan , dimana pembiayaan di bidang kesehatan disokong oleh dana yang bersifat pasti dari sumber kepemulikan umum. Sistem yang meniliki konsep tata kelola yang mandiri dan profesional tanpa bergantung pada negara lain, apa lagi negara kufur. Semuanya demi kemakmuran rakyat dan mewujudkan kemuliaan seluruh rakyat.
⁰.