Tender pengelolaan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Sumatera Utara akhirnya dimenangkan oleh perusahaan asal India, GMR Airport Consortium GMR terlibat dalam mengelola bandara ini selama 25 tahun melalui kemitraan strategis dengan PT Angkasa Pura II (AP II). (kumparan, 26/11/2021). GMR sendiri merupakan perusahaan konsorsium yang terdiri atas GMR Group asal India dan Aeroports de Paris Group (ADP) asal Prancis. (CNN Indonesia, 24/11/2021).
Menurut Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga, negara bakal memperoleh dua keuntungan dari upaya kemitraan tersebut. Pertama, dana sebesar Rp1,58 triliun dari GMR dan kedua, dana pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar Rp56 triliun dengan tahap pertama sebesar Rp3 triliun.
Arya juga mengatakan bahwa masuknya GMR sebagai pemegang saham di joint venture company (JVCo), yakni PT Angkasa Pura Aviasi, membuat AP II tidak perlu mengeluarkan Rp 58 triliun untuk pengembangan Bandara, karena mitralah yang akan menanggung proyek pembangunan bandara.
Dari kemitraan strategis tersebut, GMR mendapatkan 49% saham AP II atas Bandara Kualanamu. Sisanya, AP II masih memiliki 51% saham di bandara tersebut. (CNN Indonesia, 24/11/2021).
Melalui kerja sama ini, Bandara Kualanamu akan menjadi pintu gerbang utama internasional di kawasan Indonesia bagian barat, termasuk dalam rangka mempercepat pengembangan dan peningkatan daya saing bandara di kawasan ASEAN.
Adapun aset yang ada saat ini, serta hasil pengembangan aset setelah kontrak berakhir, 100% oleh AP II. AP II menargetkan penumpang Bandara Kualanamu menjadi 54 juta orang per tahun atau setara dengan penumpang Bandara Soekarno-Hatta.
Jalin Kemitraan Karena AP II Merugi?
Bagi AP II, bandara merupakan salah satu sektor usaha miliknya yang sangat terdampak oleh pandemi. Sejak akhir 2020, kinerja keuangan AP II mengalami tekanan yang cukup signifikan. (Bisnis, 8/10/2020).
Selama pandemi AP II mengalami kerugian yang tak sedikit. Laporan keuangan per Juni 2020 menunjukkan pendapatan perseroan turun 27,33% menjadi Rp3,21 triliun. AP II menderita kerugian Rp 887,45 miliar, berkebalikan dengan keuntungan sebesar Rp 363,17 miliar pada Juni 2019. Pendapatan dari aeronautika bahkan turun separuhnya.
Karenanya di awal 2021 AP II berupaya mengembalikan kondisinya melalui tiga program pemulihan. Pertama, melalui, leapfrogging the corporation (penciptaan bisnis baru dan membangun ekosistem yang lebih besar). Kedua, lean operation (optimalisasi sumber daya di bandara guna meningkatkan kualitas layanan), dan yang ketiga lewat leading digital (percepatan proses digitalisasi sistem kebandarudaraan).
Peluang Akuisisi Oleh Asing
Sepinya sejumlah bandara saat pandemi memang merupakan realita. Sebut saja Bandara Kertajati di Jawa Barat; Bandara Jenderal Besar Soedirman di Purbalingga, Jawa Tengah; hingga Bandara YIA (Yogyakarta International Airport) di Yogyakarta. Semuanya senyap.
Mencermati kondisi ini, termasuk kasus bandara Kualanamu, kemitraan strategis dalam pengelolaan tampaknya menjadi ajang bisnis baru di sektor kebandarudaraan.
Bahkan bisa jatuh pada kondisi penjualan bandara kepada pihak asing. Terlebih adanya pandemi, dimana ada pembatasan perjalanan lintas negara. Karenanya, akuisisi bandara oleh negara yang lebih kuat ekonominya agaknya to be the new trend.
Tak hanya di Indonesia, Agustus lalu India berencana menjual ratusan proyek infrastrukturnya sebagai bagian dari National Monetization Pipeline (NMP). Penjualan ini mencakup aset strategis seperti jalan dan kereta api, bandara, saluran transmisi listrik, dan pipa gas. Penjualan aset ini merupakan bagian dari kebijakan divestasi strategis pemerintah India. Nantinya India hanya akan mempertahankan kepemilikan pada beberapa sektor yang teridentifikasi, sementara sisanya diprivatisasi. Selanjutnya, hasil monetisasi aset ini digunakan untuk meningkatkan pembiayaan alternatif untuk infrastruktur baru. (Rmol, 24/8/2021).
Uganda juga demikian. Uganda terjebak utang ke Cina untuk pengembangan bandara internasional. Cina pun mengambil alih Bandara Internasional Entebbe ketika Negara yang berada di Afrika Timur ini tak bisa menutup utangnya. Diperkirakan nasib tragis Uganda bisa menimpa negeri kita, mengingat ketergantungan utang pada negara Asing.
Buka Peluang Asing Kuasai Bandara di Indonesia
Selain Kualanamu, perusahaan Asing juga melirik sejumlah bandara yang lain di Indonesia. Bahkan, kini ada dua bandara resmi yang pengelolaannya melalui skema kemitraan strategis. Diharapkan dengan model pengelolaan jenis ini bakal bisa meningkatkan kualitas tata kelola bandara, semisal tentang peningkatan traffic pesawat yang lebih ramai. Sebagai contoh, pesawat dari Inggris bisa langsung ke Jakarta tanpa harus transit di Timur Tengah atau Singapura. (merdeka, 26/11/2021).
Skema pengelolaan bandara oleh investor swasta merupakan hal yang legal dalam bisnis penerbangan di tanah air. Hal ini justru mengandung bahaya. Apalagi bila sasarannya pada bandara-bandara besar.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengomentari ketertarikan investor asal Inggris untuk mengelola bandara di Tanah Air, termasuk bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, via Sovereign Wealth Fund (SWF). (cnbcindonesia.com/28/12/2020)
Kemudian, Desember 2019 lalu Pemerintah Indonesia telah menetapkan konsorsium Singapura menjadi pengelola Bandara Komodo selama 25 tahun. Pemerintah pun memastikan Bandara Komodo bukan yang terakhir untuk mereka tawarkan pada asing. Target berikutnya, Bandara Sam Ratulangi di Manado dan Bandara Singkawang.
Abai Terhadap Kemaslahatan Umat
Bandara, pada dasarnya memang bagian dari fasilitas publik yang akan menopang aktivitas masyarakat di sektor transportasi udara. Namun betapa tidak wajar, ketika pembangunannya yang sudah mengorbankan alih fungsi lahan publik harus berakhir dengan pengelolaan oleh pihak asing yang sudah pasti berbasis keuntungan di pihaknya.
Tidakkah ini bukti melencengnya fungsi kemaslahatan publik? Publik mana yang hendak penguasa prioritaskan jika ternyata ada kemitraan dengan asing dalam pengelolaan fasilitas tersebut? Terlebih, pembangunan infrastruktur secara masif l yang mengarah pada “Indonesia for sale“. Pasalnya, hampir semua pembangunan didanai asing. Ketergantungan pada Asing, agaknya telah mencapai level kecanduan.
Membangun Tata Kelola Demi Kemaslahatan Rakyat
Muncul sejumlah pertanyaan. Apakah ketika bandara atau jalan tol terbangun, semua rakyat bisa menikmatinya dengan gratis? Bukankah selama ini mampu membayar tiket pesawat sekaligus menjadi penumpangnya hanya kalangan ekonomi menengah ke atas?
Realitas kemitraan strategis pengelolaan bandara justru menegaskan bahwa hajat orang banyak sedang dipermainkan oleh kepentingan swasta asing. Sudah pasti berorientasi keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana pola kinerja ideologi kapitalisme.
Negeri ini sedang berjalan di atas rel demokrasi. Apa yang hendak kita pertahankan dari sistem yang membuang peran agama dalam berpolitik dan bernegara ini? Yang dengan karakter sekulernya kuat dalam memfasilitasi kapitalisme yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang? Sistem yang menciptakan jarak yang jauh antara rakyat dengan kemaslahatannya.
Bukankah telah disediakan sistem yang benar yakni sistem islam, di mana pemimpinnya mengurus kemaslahatan rakyat dengan metode yang benar pula. Hal mana terdeskripsi dalam sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Mengambil sistem ekonomi Islam yang mengharuskan negara bersikap mandiri tanpa bergantung pada asing merupakan pilihan yang tepat. Pengelolaan transportasi apapun jenisnya semuanya dibiayai oleh baitulmal dari sektor kepemilikan negara maupun kepemilikan umum. Sistem Islam memiliki konsep kemandirian dalam hal ekonomi karena sumber- sumber pendapatan negara telah ditentukan oleh batasan syariatnya serta telah disediakan di alam. Mengelolanya sesuai syariat akan membawa pada kemaslahatan seluruh umat manusia.