Membenahi Pariwisata Danau Toba dengan Mengatur Harga dan Tarif Jasa

Wisata78 Dilihat

Biarpun pariwisata merupakan salah sektor yang tidak termakan resesi, tapi pandemi virus corona baru (Covid-19) ternyata merontokkan pariwisata global. Ini terjadi karena pandemi terjadi di banyak negara yang menyebabkan penutupan tempat-tempat wisata dan menghentikan penerbangan. Pasca pandemi diharapkan bisa mendongkrak sektor pariwisata sehingga perlu pembenahan di destinasi wisata, seperti Danau Toba, Sumatera Utara, untuk menghadapi tatanan kehidupan baru.

Soalnya, selama ini pun banyak keluhan wisatawan nusantara (Wisnus) dan wisatawan mancanegara (Wisman) tentang pelayanan di sektor pariwisata. Padahal, Danau Toba merupakan salah satu dari 10 destinasi wisata baru yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Selain masalah pelayanan, transportasi ke Danau Toba dari Kota Medan dan Bandara Kualanamu juga jadi persoalan karena waktu tempuh antara 5 – 6 jam. Ini jelas membuang waktu dan pelancong dari Kota Medan dan sekitarnya tidak nyaman jika kunjungan ke Danau Toba dilakukan pulang-pergi. Tapi, Presiden Jokowi sudah menggenjot pembangunan jalan tol sehingga waktu tempuh dari Medan ke Danau Toba hanya 1,5 jam. Itu artinya warga Medan dan sekitarnya akan nyaman melancong ke Danau Toba dengan masa kunjungan satu hari.

Terkait dengan penetapan Danau Toba dan sembilan destinasi lain sebagai destinasi wisata baru   merupakan objek wisata sebagai Beyond Bali atau Bali and The Beyond. Itu artinya pelayanan di sektor pariwisata di Danau Toba minimal harus setara dengan Bali.

Persoalan banyak yang muncul jika dikaitkan dengan pelayanan yang setara dengan Bali, seperti harga (minuman, makanan dan cinderamata) serta tarif jasa. Keluhan pelancong tentang harga makanan sering dipublikasikan melalui media, terutama media sosial. Memang, ini tidak hanya terjadi di Danau Toba karena di destinasi wisata lain pun sering muncul keluhan.

Keluhan pelancong tentang kursi yang harus dibayar ketika diduduki di kawasan Danau Toba, misalnya, bisa jadi informasi yang menjatuhkan pamor pariwisata. Begitu juga dengan keluhan pelancong yang ‘digarong’ untuk membayar makanan laut (seafood) sekitar Rp 1 juta. Ini terjadi karena tidak ada daftar harga minuman dan makanan yang terpampang secara jelas.

Langkah Pemkot Yogyakarta, misalnya, yang ‘mengusir’ pedagang minuman dan makanan lesehan di Jalan Malioboro karena ketahuan melakukan nuthuk harga (menaikkan harga dengan tidak wajar) bisa jadi contoh untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pariwisata. Di destinasi wisata di luar Yogyakarta dan Bali tidak ada penegakan hukum bagi pelaku wisata yang melakukan perbuatan yang merugikan sektor pariwisata.

Dalam kaitan inilah pemerintah-pemerintah kabupaten, ada enam kabupaten, yang bersinggungan langsung dengan pariwisata Danau Toba harus sepakat menetapkan harga dan tarif yang dituangkan dalam peraturan daerah (Perda) sehingga mempunyai kekuatan hukum dengan sanksi administrasi, pidana dan denda. Selain itu juga diwajibkan bagi pelaku pariwisata membuat papan pengumuman tentang harga dan tarif yang mudah terbaca.

Aspek-aspek yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pariwisata memang merupakan bagian dari komersial, tapi bukan untuk dikomersialkan.

Di Bali, misalnya, Tari Kecak jadi objek komersial dengan membuat acara rutin, bahkan di siang hari, di gedung-gedung pertunjukan. Untuk menyaksikan Tari Kecak pelancong membayar dengan membeli tiket yang dijual secara resmi. Ini menguntungkan pengelola dan pemerintah daerah memperoleh pajak serta pelancong merasa nyaman karena tarif yang resmi dan wajar.

Nah, apakah di Danau Toba ada pertunjukan seni seperti Tari Kecak? Jawabannya: tidak ada. Misalnya, banyak pelancong yang ingin menyaksikan pertunjukan patung kayu Si Gale-gale. Tapi, tidak ada pertunjukan terjadwal dengan tarif resmi. Pelancong yang ingin menyaksikan pertunjukan Si Gale-gale pun harus melakukan negosiasi soal bayaran. Ini artinya objek wisata dikomersialkan dan ini tidak sehat bagi dunia pariwisata.

Untuk itulah pemerintah kabupaten setempat dan pengelola pariwisata perlu membangun gedung pertunjukan Si Gale-gale dengan tarif resmi dan terjadwal sehingga tidak ‘mencekik’ pelancong. Ini juga jadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak tontonan.

Tanpa mengatur harga dan tarif jasa, pariwisata Danau Toba tidak akan pernah bisa setara dengan Bali atau Yogyakarta sehingga perkembangan pariwisata Danau Toba akan jalan di tempat alias mandeg yang tentu saja tidak mendongkrak kesejahteraan warga melalui sektor pariwisata (suarakonsumen.com, 27 Agustus 2020). *

Tinggalkan Balasan