Kasus Perempuan Muda Pelaku Pelecehan Seksual Terhadap 17 Anak di Jambi Bukan Fenomena Baru

Humaniora27 Dilihat

Ibu muda di Jambi itu merupakan seorang paraphilia yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain disebut cougar

Berita di media massa dan media onlie serta talk show di TV terkait dengan perempuan muda (YSA, 25 tahun) di Jambi selalu dikaitkan dengan aspek-aspek di luar seksualitas.

Dalam konteks seksualitas tidak dikenal istilah seks menyimpang karena semua hubungan seksual adalah alamiah. Ibu muda di Jambi itu merupakan seorang paraphilia yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain.

Dari pemberitaan dan talk show di TV ada kesan perbuatan melawan hukum dalam aspek seksualitas terjadi karena penyimpangan. Padahal semua kegiatan seksual yang dilakukan kalangan heteroseksual, homoseksual dan paraphilia bisa melawan hukum dan bisa pula tidak melawan hukum.

Dalam hal ini ibu muda itu seorang cougar yaitu perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak, laki-laki dan perempuan, praremaja pada rentang usia 7-14 tahun. Ini merupakan perbuatan melawan hukum.

Tapi, dari kegiatan yang dia lakukan yaitu memperlihatkan organ-organ seks dan ditonton ketika dia melakukan hubungan seksual, dalam hal ini dengan suaminya, juga sebagai seorang veyeurisme dan eksebisionisme.

Parafilia tidak kaitannya dengan (kelainan) psikologis karena yang mereka lakukan adalah aktivitas seksual yang alamiah.

Sebaliknya, suami-suami yang memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan kondisi istri tidak mau termasuk perkosaan dalam ikatan perkawinan (marital rape) di Indonesia tidak merupakan bagian dari perbuatan yang melawan hukum.

Begitu pula dengan suami yang memaksa istri melakukan seks oral, seks anal serta posisi “69” di Indonesia juga tidak merupakan penyimpangan seksual serta tidak pula jadi perbuatan yang melawan hukum.

Hubungan seksual disebut menyimpang jika hubungan seksual dilihat dengan kaca mata norma, moral, agama dan hukum.

Namun, yang ironis di Indonesia suami-suami yang selingkuh dan melacur serta ‘kumpul kebo’ tidak pernah disebut sebagai perilaku seksual yang menyimpang. Padahal, perbutan itu melawan norma, moral, agama dan hukum.

Dalam talk show di TV ada pakar yang menyebut perilaku YSA itu sebagai fenomena karena pelecehan seksual dilakukan oleh perempuan. Ini tidak akurat karena di Kota Bengkulu, Prov Bengkulu, tahun 2017 sudah ada seorang ibu rumah tangga yang divonis penjara karena melakukan hubungan seksual dengan remaja. Ini perilaku cougar seperti yang dilakukan YSA di Kota Jambi.

Yang menggelikan beberapa host talk show di TV selalu bertanya: Mengapa pelaku melakukan hal itu?

Sama saja dengan suami-istri, mengapa mereka melakukan hubungan suami-istri?

Antara lain karena kebutuhan biologis. Sama saja dengan YSA yang dia lakukan merupakan kebutuhan biologis dengan cara yang lain yaitu paraphilia.

Perilaku cougar bisa melawan hukum, seperti yang dilakukan NT. Tapi, ada juga perempuan tua (Lansia) yang menikah dengan remaja untuk mendapatkan sensasi seks remaja dan tidak harus dengan hubungan seksual penetrasi. Ini perilaku cougar yang tidak melawan hukum.

Host TV bertanya pula tentang tanda-tanda pelaku pelecehan seksual, dalam hal ini cougar.

Tentu saja tidak ada. Sama halnya dengan lesbian, gay dan biseksual (ini orientasi seksual) tidak bisa dikenali secara fisik. Hanya Waria yang bisa dikenal secara fisik.

Pelaku pedofilia (laki-laki dewasa yang tertarik secara seksual dengan anak-anak, laki-laki dan perempuan, umur 7-12 tahun) bahkan perilakunya seperti “dewa” yaitu menjadikan anak-anak korbannya sebagai anak angkat, anak asuh, keponakan angkat, bahkan dijadikan sebagai istri.

Bentuk paraphilia lain yang luput dari perhatian tapi sudah ada korbannya di Indonesia yaitu infantofilia (laki-laki dewasa yang secara seksual tertarik dengan bayi dan anak-anak umur 0-7 tahun).

Selain itu ada juga necrofilia (laki-laki yang menyetubuhi mayat) yang sudah terjadi juga di Indonesia yaitu di Banten.

Ada lagi bestialis yaitu orang-orang yang secara seksual menyalurkannya dengan binatang. Inipun sudah terjadi di Indonesia yakni di Tasikmalaya, Jabar.

Sedangkan eksebisionis sudah jamak terjadi, seperti laki-laki yang menunjukkan penisnya kepada perempuan, laki-laki yang melakukan onani di angkutan umum, dan lain-lain.

Pembahasan kasus NT melalui berita di media massa dan talk show di TV kian melebar sehingga mengaburkan inti persoalan yang terjadi.

Secara fakta empiris yang terjadi adalah pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang perempuan dewasa terhadap anak-anak. Ini saja yang dibawa ke ranah hukum.

Pembahasan soal paraphilia tidak akan ada habisnya, apalagi dibumbui dengan norma, moral dan agama maka yang muncul hanya aneka pendapat sebagai fakta opini. (Sumber: tagar.id, 7/2-2023). *

Tinggalkan Balasan