Renungan 2 Tahun Pandemi Covid-19 di Indonesia

Edukasi52 Dilihat

* Stigma dan Diskriminasi Covid-19 Karena Kita Tak Belajar dari Pengalaman

Pandemi Covid-19 hari ini, 2 Maret 2022, genap dua tahun landa Indonesia, jumlah kasus sampai 2 Marer 2022 capai5.589.176 dengan 148.660 kematian,

Entah angin apa yang membuat pejabat terkait mengait-ngaitkan dansa dengan penularan virus corona (Covid-19) ketika konprensi pers pada tanggal 2 Maret 2020 tentang indentifikasi kasus pertama virus corona (Covid-19) di Indonesia.

Sampai tanggal 2 Maret 2022 seperti dilaporkan situs independen, worldometers, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 5.589.176 dengan 148.660 kematian. Sedangkan data di situs ourworldindata.org menunjukkan sampai tanggal 28 Februari 2022 persentase warga Indonesia yang sudah divaksinasi Covid-19 mencapai 69,00% yang terdiri atas 52,03% dua suntikan dan 16,97% satu suntikan. Namun, apakah persentase vaksinasi ini merata pada warga di seluruh Nusantara?

Secara umum dansa (KBBI: tari cara Barat yang dilakukan oleh pasangan pria-wanita dengan berpegangan tangan atau berpelukan yang diiringi musik) selalu dikaitkan dengan maksiat [KBBI: perbuatan yang melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dan sebagainya)].

Maka, ketika petinggi-petinggi negeri ini menyebut-nyebut dansa waktu memaparkan kasus pertama Covid-19, disebut Pasien 01, jadi santapan sebagian besar media massa (surat kabar, majalah, radio dan TV) dan media sosial karena dinilai sensasional dan bombastis.

Padahal, perilaku yang jauh lebih berisiko juga banyak dilakukan warga sehingga tertular HIV, sifilis, kencing nanah/GO, klamidia, virus hepatitis B, kanker serviks, dan lain-lain.

1 Judul Berita Terkait Pasien 01

Judul-judul berita terkait dengan Pasien 01 sebagian besar tidak lagi objektif (catatan nama media tidak disebut).

Ada yang menyuburkan xenofobia [KBBI: perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal; kebencian pada yang serba asing] dengan menyebut warga negara asing (Jepang):

  • Kemenkes: Ada 50 Orang Ikut Dansa di Klub WN Jepang Positif Corona
  • Ada 50 Warga Berbagai Negara Saat WNI Positif Corona Dansa dengan WN Jepang

Judul berita di atas menyudutkan WN Jepang, padahal dia sendiri tidak menyadari sudah tertular virus corona ketika dansa. Dia mengetahui tertular virus corona di Malaysia. Kemudian dia mengontak temannya dansa mengabarkan bahwa dia positif corona.

Jauh sebelum pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 pertama (2 Maret 2020) pada bulan Februari 2022 ada yang meragukan kondisi pandemi di Indonesia bukan tidak ada virus corona, tapi karena belum ada terdeteksi.

Soalnya, di beberapa negara ASEAN Covid-19 sudah terdeteksi. Indonesia sendiri belum menutup pintu masuk. Pakar Harvad itu mengatakan kalua hal itu terjadi (virus corona tidak terdeteksi), maka virus corona akan mendorong epidemi yang jauh lebih besar. Belakangan hal ini terbukti karena terjadi episentrum virus corona di Indonesia (Juli 2021), sampai aekarang Indonesia jadi episentrum Covid-19 di ASEAN.

Celakanya, pemerintah, dalam hal ini Menkes (waktu itu) Terawan Agus Putranto, malah menantang pakar Harvard itu. Padahal, Pasien 01 sudah lama dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Depok, Jabar, tapi RS itu tidak bisa mendeteksi virus corona. Pasien 01 dan 02 baru terdeteksi setelah ditangani RS Sulianti Saroso, RS khusus infeksi di Jakarta Utara.

Maka, bukan tidak ada (kasus virus corona), tapi tidak terdeteksi. Pakar itu memberikan alasan keraguannya adalah penerbangan internasional dari dan ke Indonesia belum ditutup. Bahkan, ada penerbangan dari China.

Laporan The New York Times (22/3-2020) menyebutkan ribuan warga Wuhan, China, tempat pertama virus corona terdeteksi, terbang ke banyak negara di dunia, termasuk ke Indonesia, merayakan Imlek. Sebagian dari mereka diperkirakan tertular virus corona tanpa gejala. Betul saja karena kasus pertama virus corona di luar China terdeteksi di Bangkok, Thailand, pada seorang perempuan warga Wuhan.

Ketika beberapa negara di ASEAN menutup pintu mereka terbang ke Indonesia. Kasus kematian pertama terkait Covid-19 terjadi di Bali yaitu seorang turis asing.

Ada yang membuka tabir dengan kalimat konotasi (KBBI: tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi):

  • Pengakuan Pasien Virus Corona Depok, Tak Cuma Dansa dengan WN Jepang
  • Pasien Corona Mengaku Tak Kenal WN Jepang, Kemenkes: Nyatanya Ada Close Contact

Ada pula yang mengait-ngaitkannya dengan hari valentine [KBB: hari penyampaian atau pernyataan pesan kasih sayang (pada tanggal 14 Februari)]:

  • 4 Fakta 2 WNI Positif Virus Corona: Tertular saat Dansa di Hari Valentine
  • Corona Menginfeksi Warga Indonesia di Lantai Dansa Saat Hari Valentine
  • Warga Depok Tertular Virus Corona saat Acara Dansa Hari Valentine

Selain itu judul berita pun ada yang menggiring opini publik terkait dengan penularan virus corona:

  • Kisah WNI Dansa dengan WN Jepang Berujung Tertular Virus Corona
  • Warga Depok Tertular Virus Corona Usai Dansa Bareng WN Jepang
  • Dari Lantai Dansa, Perempuan Depok Ini Terinfeksi Virus Corona
  • Dansa Di Hari Valentine Jadi Penyebab Warga Depok Positif Virus Corona

Ada pula judul berita yang mengedepankan sensasi sehingga menggelapkan fakta:

  • Corona Menginfeksi Warga Indonesia di Lantai Dansa Saat Hari Valentine
  • Warga Depok Tertular Virus Corona saat Acara Dansa Hari Valentine
  • Pesta dansa yang membawa petaka menyebarnya virus corona

Berita-berita tersebut sudah pada tahap pembeberan riwayat kontak yang merupakan fakta privat sehingga bukan untuk publikasi publik. Bisa juga diberitakan asalkan yang membeberkan yang bersangkutan atau ada izin tertulis (inform consent).

2 Pernyataan yang Bikin Blunder

Yang sangat disayangkan pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan (Menkes), ketika itu, dr Terawan Agus Putranto, dengan enteng mengumbar riwayat kontak Pasien 01. Medical record (catatan medis) adalah rahasia jabatan dokter yang hanya boleh dibaca oleh dokter dan pasien. Untuk konsumsi publik harus izin pasien.

Jika berpijak pada UU yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk membuka identitas pasien, misalnya terkait dengan penyakit menular, tapi perlu diingat tetap ada aturannya.

Adalah tidak etis dan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengumbar identitas dan riwayat kontak pasien karena akan berujung pada stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).

Pasien 01 dan Pasien 02 sudah menderita karena pembeberan riwayat kontak. Warga menuduh mereka sebagai penyebar Covid-19, padahal pada waktu yang sama ada kasus Covid-19 di beberapa kota di Indonesia yang sama sekali tidak terkait karena tidak adsa kontak dengan Pasien 01 dan 02.

Yang bikin virus corona kian riuh di Nusantara adalah pernyataan nyeleneh beberapa pejabat teras negeri ini pada bulan Februari 2020 dan di awal serta masa kritis pandemi: LP3ES Catat Ada 37 Pernyataan Blunder Pemerintah soal Covid-19.

Selain itu judul-judul berita di media online nasional pun seakan menyepelekan ancaman pandemi virus corna yang sudah menggila di dunia (nama media tidak disebut):

  • Jokowi Pastikan Virus Corona Tak Terdeteksi di Indonesia
  • Ma’ruf Amin: Berkat Doa Kiai dan Qunut, Corona Menyingkir dari Indonesia
  • Canda Wapres Sebut Susu Kuda Liar Bisa Tangkal Virus Corona
  • Mahfud: RI Satu-satunya Negara Besar di Asia Tak Kena Corona
  • Canda Luhut saat Ditanya Corona Masuk Batam: Mobil?
  • Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona
  • Kelakar Bahlil di Depan Hary Tanoe: Virus Korona Tak Masuk Indonesia Karena Izinnya Susah
  • Kelakar Menhub: Kita Kebal Corona karena Doyan Nasi Kucing
  • Rapat di DPR, Ribka Tjiptaning Bercanda Korona ‘Komunitas Rondo Mempesona’
  • Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona

3 Dikait-kaitkan dengan Agama

Pernyataan ini: Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona, seperti halnya pernyataan pejabat di awal epidemi HIV/AIDS: Menkes Suwardjono Suryaningrat, Yang Taat Beragama, Jauh Dari AIDS. Indonesia bukanlah tempatnya penyakit AIDS asal seluruh masyarakatnya tetap berpegang tegus pada ajaran agama yang dipeluknya ataupun norma-norma susila dalam kehidupan sehari-hari (Harian Merdeka, 25/9-1985).

Padahal, tidak ada kasus terdeteksi karena pemerintah tidak melakukan surveillance test HIV, terutama (ketika itu) pada kalangan yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Pemeintah baru mengakui ada HIV/AIDS di Indonesia Maret 1987 ketika seorang turis Belanda, pria gay, terdeteksi HIV/AIDS di Bali.

Celakanya, kasus itu jadi “sumber” mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS), yaitu penyakit bule, penyakit homoseksual, penyakit gay, penyakit turs, dan seterusnya. Inilah salah satu faktor yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia jalan di tempat.

Bicara soal agama, lagi pula semua bangsa di dunia ini, kecuali negara-negara ateis (sosialis dan komunisme), beragama. Fakta menunjukkan negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar negara pun tidak luput dari kasus HIV/AIDS. Tapi, pernyataan itu sudah membentuk opini sehingga warga yang merasa dirinya beragama tetap melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Pernyataan yang nyeleneh ini: “Kelakar Menhub: Kita Kebal Corona karena Doyan Nasi Kucing” juga muncul di awal epidemi HIV/AIDS ketika seorang epidemiolog menduga mungkin orang Indonesia kebal terhadap AIDS karena aspek rasial.

Kalau saja pemerintah berkaca pada kasus stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami oleh Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang juga terjadi karena pembeberan catatan medis dan identitas serta dampak dari pemberitaan yang tidak berempati. Yang konyol adalah kalangan medis justru yang terbanyak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha.

Padahal, dengan mengetahui status HIV seseorang tenaga kesehatan akan terhindar dari risiko tertular karena menerapkan langkah-langkah pencegahan.

Dokter dan perawat serta bidan banyak yang tertular virus corona dari pasien karena mereka berbohong terkait dengan faktor risiko, seperti tidak menjelaskan riwayat kontak dengan pasien Covid-19 atau tidak memberitahu dokter atau perawat tentang perjalanan yang mereka lakukan.

Stigma juga subur karena judul-judul berita yang mengaitkan kasus Covid-19 dengan maksiat yaitu dansa. Hal yang sama terjadi sejak 35 tahun yang lalu ketika pemerintah, bahkan tenaga medis dan kalangan lain mengait-ngaitkan penularan HIV dengan moral dan agama, seperti zina, seks sebelum menikah, seks di luar nikah, melacur, selingkuh, homoseksual, dan lain-lain.

Padahal, secara medis tidak ada kaitan langsung antara zina, seks sebelum menikah, seks di luar nikah, melacur, selingkuh, homoseksual, dan lain-lain.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Begitu pula dengan Covid-19, sama sekali tidak ada kaitan langsung antara maksiat (baca: dansa) dengan penularan virus corona. (Sumber: Tagar.id, 2 Maret 2022). 

Tinggalkan Balasan