Tanpa Hospitality Labuan Bajo Tidak Akan Bisa Jadi Objek Wisata Dunia

Wisata20 Dilihat
Sebagai salah satu dari 10 Bali Baru Labuan Bajo di NTT diharapkan Jokowi bisa jadi tujuan wisata berkalas dunia
Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Jokowi Ingin Labuan Bajo Jadi Wisata Dunia. Ini judul berita di Tagar, 21 Januari 2020. Untuk mendukung harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu berbagai sarana dan prasarana fisik yang mendukung pariwisata dibangun, seperti landasan bandara yang akan diperpanjang.

Jokowi pada jalur yang pas karena pariwisata adalah sektor yang kebal terhadap resisi, bahkan resesi global. Di tingkat daerah tujuan wisata (DTW) atau destinasi wisata pariwisata juga membuka dan mendorong berbagai sektor terkait. Mulai dari akomodasi, kuliner, jasa, dll. Ini memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan.

1. Aturan Normatif dengan Pijakan Agama

Jika dikaitkan dengan program Jokowi yang mengembangkan destinasi wisata baru di luar Bali yaitu ’10 Bali Baru’, salah satu di antaranya adalah Labuan Bajo, di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, atau di Pulau Flores, NTT.

DTW yang dikembangkan sebagai salah satu dari ’10 Bali Baru’ ini mengandalkan pemandangan alam. Padahal, pariwisata tidak sekedar pemandangan alam tapi juga terkait budaya yang berbaur dengan kehidupan masyarakat.

Kesiapan DTW di Indonesia selain Bali dan Yogyakarta tidak mendukung dunia pariwisata nasional. Bandingkan jumlah wisatawan mancanegara (Wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Yahun 2017 ada 14 juta wisman, sedangkan Thailand dikunjungi 35 juta wisman dan Malaysia di tahun 2017 didatangi 25,95 juta wisman.

Padahal, objek wisata di Indonesia jauh lebih banyak daripada di Thailand dan Malaysia. Sebuah pantai di Thailand, Maya Bay, di Pulau Koh Pho Phi Leh, yang dikenal sebagai pantai “The Beach” karena jadi lokasi syuting film “The Beach” tahun 2000, dikunjungi 4.000 wisatawan tiap hari.

Kedatangan (inbound) wisatawan ke Malaysia dan Thailand tidak semata-mata karena pemandangan alam karena pemandangan alam di Malaysia dan Thailand kalah dengan keindahan alam di Indonesia. Tentu saja ada faktor-faktor lain yang jadi pemikat Wisman berkunjung ke Malaysia dan Thailand. Salah satu di antaranya adalah hospitality (keramahtamahan).

Kesiapan DTW ’10 Bali Baru’, dalam hal ini Labuan Bajo, tidak bisa disebut sebagai tempat wisata yang nyaman, al. karena banyak aturan normatif dengan pijakan agama. Di banyak DTW, bukan hanya DTW dengan mayoritas Muslim, ada peraturan daerah (Perda) yang melarang peredaran dan penjualan minuman beralkohol. Padahal, minuman beralkohol adalah barang legal di Indonesia. Yang diatur adalah peredarannya berdasarkan kadar alkohol.

2. Dunia Hiburan Malam yang Dikekang

Seorang manajer hotel di Manokwari, Papua Barat, misalnya, hanya bisa mengurut dada ketika dimarahi Wisman bule karena harga bir yang tidak masuk akal. Soalnya, di Manokwari ada peraturan daerah (Perda) yang melarang peredaran miras (minuman keras yaitu minuman yang mengandung alkohol), sehingga peredaran bir ada di pasar gelap sehingga harganya selangit.

Adalah hal yang mustahil meniadakan minumam beralkohol di objek-objek wisata di sebuah DTW. Tapi, itulah yang terjadi di Indonesia selain di Yogyakarta dan Bali. Hiburan malam pun dijalankan dengan regulasi yang ketat sehingga tidak lagi memberikan kenyamaman kepada wisatawan, tapi ketakutan karena ada razia dari Satpol PP dan polisi.

Sejak reformasi semua daerah di Indonesia menutup lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran sehingga praktek pelacuran dalam bentuk transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus. Ini membuat tarif dan keamanan yang tidak terkendali.

Begitu juga dengan cara berpakaian Wisman. Cara berpakaian Wisman seperti di Bali, jalan-jalan di kota hanya dengan cawat dan kurang, tidak akan pernah bisa dilakukan di daerah lain. Bahkan, di Yogya sekalipun. Di Yogya wisatawan cewek hanya ‘boleh’ memakai celana pendek dan kaos kutang walaupun tetap memberikan ruang untuk mata lelaki ‘mata keranjang’.

Hal lain yang menjengkelkan bagi Wisman dan Wisnus (wisatawan nusantara) adalah tidak ada daftar harga minuman dan makanan yang terpampang di warung dan restoran sehingga sering terjadi harga yang mencekik leher. Ini jadi tantangan untuk Pemkab Manggarai Barat yaitu membuat regulasi yang mewajibkan warung, restoran dan hotel memajang daftar harga minuman dan makanan.

Selain itu perlu juga regulasi yang mengatur tarif dan jasa yang terkait langsung dengan pariwisata sehingga tidak ada celah untuk menipu Wisman dan Wisnus. Meningkatkan keamanan bagi Wisman dan Wisnus juga jadi tantangan berat karena sudah pernah terjadi kejahatan seksual berupa perkosaan terhadap Wisman perempuan adal Perancis pada tahun 2018. Ini kabar buruk bagi pariwisata Labuan Bajo.

Kondisi yang harus dibangun di Labuan Bajo adalah wisatawan yang berkunjung merasakan keramahtamahan dan sukacita menerima tamu sehingga mereka tidak kecewa. Masyarakat juga menerima Wisman dan Wisnus sebagai tamu bukan sebagai calon mangsa untuk mencari keuntungan yang berlebihan.

Tanpa hospitality dan regulasi serta keamanan sulit menjadikan Labuan Bajo sebagai DTW berkelas dunia (Sumber: tagar.id, 24/1-2020). *

Tinggalkan Balasan