Beberapa hari belakangan ini stasiun TV swasta nasional menyiarkan berita, ulasan dan laporan tentang betap sulitnya mendapatkan tiket konser musik Coldplay yang manggung 15 November 2023.
Spontan terjadi flash back seakan ada rekaman terkait dengan kisah saya menonton grup band legendaris Deep Purple yang manggung di Stadion Utama Senayan, Jakarta (sekarang GBK-Gelora Bung Karno) pada tanggal 4 dan 5 Desember 1975.
Ketika itu saya sedang belajar di sebuah perguruan tinggi kedinasan swasta. Biarpun kala itu tidak ada siaran televisi atau internet yang bisa mengunduh music, tapi bagi kalangan muda Deep Purple salah satu band yang jadi idola.
Lagu “Soldier of Fortune” dengan petikan gitar klasik jadi hiburan di malam hari sambil belajar dengan penerangan yang remang-remang karena daya di kamar kos dibatasi.
Kalau ada yang ganti bohlam akan segera ketahuan karena listri padam. “Sopo sing ngganti bohlam!” Itu teriakan ibu atau bapak kos.
Maka, lagu-lagu bisa didengar melalui alat pemutar kaset (tape recorder) kadang pakai baterai kering. Kepala tape harus sering digosok dengan kapas dan alkohol agar suara jernih.
Di Jalan Malioboro ada toko kaset yang menyediakan kaset-kaset musik Barat, selain itu ada pula satu stasiun radio swasta, Geronimo, sedangkan Radio UNISI masih diselingi dengan lagu-lagu dalam negeri, yang sepajang hari putar lagu Barat. Radio ini sering disentil kalangan yang sok nasionalis karena tidak pernah putar lagu domestik.
Informasi tentang band-band luar negeri bisa diperoleh dari Majalah (bulanan) “Aktuil” yang terbit di Bandung, Jabar. Saya langganan di sebuah kios koran di Shopping Center, sekarang sudah jadi arena permainan di ujung Malioboro.
Halaman tengah majalan itu berupa poster grup-grup band ternama. Saya pajang di dinding kamar kos di kidul stasiun Lempuyangan. Ada poster Deep Parple dengan kapal terbang juga bernama Deep Purple.
Ketika ada kabar Deep Purple akan manggung di Jakarta, penggemar band itu pun sibuk karena waktu itu belum ada penjualan tiket online. Kalau dipesan melalui kerabat tentulah repot karena ketahuan bolos, soalnya waktu itu bukan masa liburan.
Maka, kalau di masa liburan ongkos kereta api (KA), ketika itu KA Senja Yogya, bisa dapat potongan (reduksi), tapi ketika hendak ke Jakarta nonton konser Deep Purple tidak bisa dipakai karena tidak masa liburan. Soalnya, harus ada rekomendasi dari kampus.
Yang jadi persoalan uang di tangan tidak cukup untuk ongkos pp, beli tiket, makan dan lain-lain. Waktu itu belum ada ATM, bahkan tabungan pun sangat jarang dimiliki pelajar dan mahasiswa.
Harga tiket ketika itu Rp 1.000 — Rp 7.500 tergantung posisi di tribun atau di pinggir lapangan. Waktu itu kurs 1 dolar AS = Rp 415. Itu artinya harga tiket antara 2,41 — 18,07 dolar AS. Jika dihitung dengan kurs dolar AS sekarang (18/5-2023), maka harga tiket Deep Purple itu berkisar antara Rp 35.822,36 — Rp 268.593,38. Tapi, perlu diingat ketika perekonomian sangat berat sehingga nilai uang sangat berarti. Wesel saya Rp 25.000/bulan di luar keperluan lain-lain, seperti uang kuliah, beli pakaian, buku dan lain-lain.
Apa akal?
Saya makan di sebuah warung dekat kos dengan menitipkan uang di awal bulan setelah menerima wesel dari kampung nun di bagian selatan Sumatera Utara, Kota Padangsidimuan.
Saya beruntung karena ibu tempat makan saya baik kepada saya. Misalnya, di akhir bulan ibu selalu menawarkan uang karena di buku kecil yang jadi catatan makan selalu ada saldo. Banyak buku kecil teman yang ditahan ibu sejak akhir bulan karena mereka tidak jujur.
Kalau baru terima wesel ada di antara mereka yang makan di tempat lain, sementara di buku kecil saldonya minus.
Ketika saya jelaskan tujuan saya, ibu itu pun memberikan uang untuk bekal nonton konser. Semoga almarhum ibu dan bapak pemilik warung itu dapat tempat di sisi-Nya. Amin.
Karena niat sudah bulat persiapan pun terus dilakukan. Tiket hanya dijual di Ibu Dibyo, ketika itu merupakan loket penjualan berbagai macam tiket di Jalan Cikini, Jakarta Pusat. Sedangkan tiket KA saya biasanya beli di, kalau tidak salah, Carnation, yang merupakan agen perjalan di pojok Patung Pak Tani, Menteng, antara Gambir dan Bu Dibyo.
Deep Purple manggung dua malam di Senayan yaitu 4 dan 5 Desember 1975. Mereka mendarat di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, Rabu siang, 3 Desember 1975, dengan pesawat Boeing 707 Transair.
Saya memilih malam kedua dengan pertimbangan tidak seramai malam pertama. Tapi, dugaan itu salah karena di malam kedua justru terjadi kerusuhan kecil di akhir konser penonton mamaksa masuk ke lapangan hijau ke dekat panggung.
Dari Yogya berangkat sore hari dengan KA Senja dari Sta Tugu. Sampai di Sta Gambir pagi. Langsung ke toilet dan cuci muka tidak ganti pakaian karena hanya ada yang melekat di badan. Seterusnya saya langsung ke Bu Dibyo yang berjarak sekitar 1 km dari Gambir ke arah TIM.
Sampai di loket saya masih dapat di depan karena masih pagi hari. Karcis sudah di tangan. Rasanya lega.
Tapi, perjuangan belum selesai. Dari Cikini masih harus ke Stadion Utama Senayan. Dari loket Bu Dibyo jalan kaki ke Jalan Thamrin selanjutnya naik bus tingkat ke Komdak (sekarang Polda Metro Jaya).
Di emperan stadion sudah banyak yang menunggu konser. Saya pilih duduk nyender dengan harapan bisa tertidur.
Sekitar pukul 19.00 pintu mulai dibuka. Saya langsung masuk. Di panggung ada band pemuka, kalau tidak salah God Bless.
Memang, Deep Purple yang manggung di Senayan itu sudah berganti beberapa personilnya, David Coverdale (vokal) menggantian Ian Gillan (yang disebut sauranya sampai empat oktaf), Tommy Bolin (gitar, vokal) menggantikan gitaris handal Richie Blackmore, Glenn Hughes (bas, vokal), Jon Lord (kibor, backing vokal), dan Ian Paice (drum, perkusi).
Coverdale menyapa penonton: “Selamat Malam …. Apa kabar?” Jrenggggg …. Lagu-lagu terkenal mereka mulai ” dari Smoke on The Water”, “Lazy, Highway Star”, “Georgia on My Mind” dan tentu saja Soldier of Fortune menggema di stadion yang malam itu langit di atas stadion cerah.
Selesai konser mulai terpikir: Tidur atau istirahat di mana malam dan siang besok? Soalnya, KA Senja baru berangkat pukul 16.00 WIB.
Tidak jadi soal. Bersama penonton yang juga dari luar kota kami ramai-rami jalan kaki ke Gambir dan merebahkan diri di emperan stasiun. Ketika itu stasiun belum semegah seperti sekarang. Penuh dengan pedagang, copet, preman dan lain-lain.
Tapi, karena penat tak terasa terbangun di pagi hari. Ke kamar mandi seterusnya cari sarapan. Kembali lagi ke emperan stasiun menunggu loket buka.
Esok paginya sampai lagi di Yogyakarta. Mulai lagi kehidupan rutin sebagai anak kampus dan dengar music di kamar kos. (dari berbagai sumber). (Sumber: Kompasiana.com, 18 Mei 2023).