Mandi di Sungai Tidak Boleh Langsung Nyebur

Nasihat orang-orang tua di kampung kalau baru pertama kali mandi di sebuah sungai di luar kampung halaman sebaiknya jangan langsung nyebur

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Kejadian yang dialami oleh Emmeril Kahn Mumtadz, 23 tahun, putra sulung Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, ketika bereang di Bern di aliran Sungai Aare di Swiss, 26 Mei 2022, membawa ingatan saya kembali ke kampung halaman, nun di Kota “Salak” Padangsidimpuan (dulu Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum dimekarkan), sekitar 420 km arah barat daya Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut).

Dilaporkan oleh swissinfo.ch (27 Mei 2022): Berenang di sungai dan danau adalah hiburan musim panas yang populer di Swiss. Ribuan pekerja kantoran di Jenewa, Basel, Bern, Zurich dan di tempat lain menghabiskan istirahat makan siang mereka dengan mandai sungai atau danau.

Statistik terbaru dari “Swiss Life Saving Association” menyatakan bahwa 46 orang tenggelam di danau dan sungai pada tahun 2020, turun dari 89 kematian akibat tenggelam yang tercatat pada tahun 2003.

Emmeril Kahn Mumtadz putra sulung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. (Foto: Tagar/Instagram @emmerilkahn)

Ketika ada rencana berkunjung ke rumah keluarga atau kerabat di luar kota, orang tua selalu mengingatkan agar berhati-hati kalau mandi si sungai.

Soalnya, sering terjadi tamu yang berkunjung ke sebuah daerah hilang atau hanyut di sungai. Padahal, yang hilang atau hanyut itu bisa berenang sehingga tidak ada alasan mereka hanyut karena tidak bisa berenang.

Umumnya yang hilang atau hanyut ditemukan tersangkut di bawah permukaan air sungai tersangkut di akar pohon yang menjuntai di tepi aliran sungai atau batu besar. Ada juga yang tenggelam di bagian terdalam sungai, di kamupung disebut ‘lubuk.’ Ada juga yang masuk ke dalam lubang, semacam gua di aliran sungai.

Bisa saja setengah orang anggap remeh atas nasihat orang-orang tua di kampung yang mengatakan kalau baru pertama kali (hendak) mandi di sungai di luar daerah sendiri, maka jangan sekali-kali langsung nyebur (menceburkan diri) ke aliran sungai biar pun di kawasan lubuk.

Di kampung kebiasaan mandi di sungai karena jarang ada kamar mandi dengan WC di rumah. Tempat pemandian dan sekaligus WC hanya dibatasi dengan dinding dari rajutan daun kelapa, aren tau nipah. Celakanya, tidak sedikit laki-laki yang memanfaatkan kondisi itu untuk mengintip perempuan yang pemandiannya di hilir dan laki-laki di hulu.

Selain di sungai ada juga pancuran yang merupakan aliran air dari mata air di kaki bukit di sekitar kampung (disebut huta). Namun, akhir-akhir ini perambahan hutan membuat sungai dan mata air mulai kering sehingga warga pun membuat sumur di sekitar rumah.

Memang, dari beberapa kasus orang hilang atau hanyut di sungai sebagian di antaranya merupakan pendatang atau tamu yang baru pertama kali mandi di sungai.

Bisa saja ada yang menarik peringatan orang-orang tua itu sebagai mistis (mistik yaitu hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa), tapi fakta menunjukkan ada kebenaran dari peringatan orang-orang tua itu.

Nasihat orang-orang tua jika mandi di sungai di kampung yang baru pertama kali dikunjungi sebaiknya mandi dengan memakai kain basahan atau celana pendek dengan memakai gayung atau ciduk (cedok air dibuat dari tempurung kelapa dan sebagainya yang diberi tangkai) sambil duduk di tepi sungai.

Jika tetap ingin nyebur, maka tunggu beberapa saat sambil terus menyiram badan dengan ciduk atau gayung.

Aliran Sungai Aare melewati Kota Bern di Swiss (Sumber: jbdowse.com)

Tentu saja nasihat ini bagi remaja dan kalangan muda yang meninggalkan kampung untuk sekolah dan bekerja akan terasa aneh ketika mereka pulang kampung.

Nasihat itu pun biasanya diabaikan ketika mereka berkunjung ke kampung kerabat karena perubahan sikap dan perilaku yang kekotaan terkadang mengabaikan realitas sosial yang berbau ‘zaman dahulu’ karena bertentangan dengan yang mereka hadapi di kota.

Seorang psikolog UI yang sering saya wawancara antara tahun 1980-an sampai awal tahun 2000-an, (alm) Sartono Mukadir selalu mengingatkan bahwa tidak sedikit warga kota yang sikap dan perilakunya tetap ‘kampungan.’

Artinya, biar pun mereka sudah hidup di kota, tapi sikap, perilaku dan kebiasaan di kampung tetap terbawa dan mereka pakai.

Misalnya, menunggu angkutan umum biar pun ada halte mereka justru menunggu di luar halte. Soalnya, di kampung tidak ada halte sehingga bisa berdiri di mana saja di sepanjang jalan.

Begitu juga dengan membuang sampah, buang air kecil, dan lain-lain kebiasaan di kampung tetap terbawa dalam kehidupan sehari-hari di perkotaan.

Nah, kembali ke nasihat orang-orang tua tadi tentang mandi di sungai tentulah aneh di telinga, apalagi bagi orang-orang yang sudah berkelana ke manca negara.

Mungkin mereka sudah pernah atau sering mandi dengan nyebur langsung ke sungai, tapi seperti kata pepatah: “Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah jua.” Ya, biar pun sudah sering dan tidak celaka, tapi sekali waktu kena batunya juga dan membawa celaka jika tidak hati-hati. (Sumber: Tagar.id). *

Tinggalkan Balasan