Menunggu Inovasi dan Gagasan Penanggulangan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan

KMAB38 Dilihat

KMAB17

Cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS sudah diketahui sejak awal pandemi, tapi tidak dijalakan secara utuh karena dibenturkan dengan moral dan agama

Oleh: Syaiful W. Harahap

“Tim Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Sulawesi Selatan terus berupaya menghadirkan inovasi dan gagasan-gagasan dalam penanggulangan HIV AIDS.” Ini lead di berita “KPAP terus berinovasi tekan HIV AIDS di Sulawesi Selatan” (makassar.antaranews.com, 23/3-2022).

Dalam Laporan Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan III Tahun 2021 yang dikeluarkan SIHA Kemkes pada priode Juli – September 2022 tanggal 7/2-2022 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIVa/AIDS di Sulawesi Selatan (Sulsel) sampai 30 September 2022 sebanyak 16.267 yang terdiri atas 12.348 HIV dan 3.919 AIDS.

Jumlah kasus kumulatif itu menempatkan Sulsel pada peringkat ke-8 secara nasional dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.

Di lead disebutkan ‘KPAP Sulawesi Selatan terus berupaya menghadirkan inovasi dan gagasan-gagasan dalam penanggulangan HIV/AIDS.’ Sejak HIV/AIDS diidentitifikasi secara medis cara-cara penularan dan pencegahan tidak pernah berubah sampai sekarang.

Maka, yang perlu dilakukan adalah membuat program yang konkret untuk pencegahan melalui hubungan seksual dan nonseksual.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan

(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Dalam berita disebutkan: Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sulsel, Husni Thamrin, mengatakan KPAP Sulsel diharapkan mampu berperang dalam menekan kejadian HIV/Aids di Sulsel dengan melalukan pemberdayaan masyarakat. “Termasuk mengedukasi masyarakat untuk menghindari perilaku berisiko, memutus penularan dan ketekunan minum obat bagi penderita.”

Kalau hanya sebatas edukasi hal itu sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu ketika HIV/AIDS dilaporkan di Indonesia (1987) dan hasilnya nol besar.

Bagaimana caranya edukasi bisa menghalangi warga untuk melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas. Perilaku berisiko di atas semua terjadi di ranah privat.

Sejak reformasi lokalisasi pelacuran ditutup, maka sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui media sosial, sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Sekretaris KPAP Sulsel, Muharram Sahude,  mengatakan, “Koordinasi ini sebagai bentuk sinergitas bersama guna melakukan terobosan serta inovasi dalam upaya penanggulangan AIDS khususnya di Sulsel.”

Apa bentuk terobosan dan inovasi yang bisa mencegah warga melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas?

Tidak ada!

Soalnya, tiga kegiatan berisiko di atas terjadi di ranah privat sehingga tidak bisa dilakukan intervensi. Selain itu setelah lokalisasi pelacuran ditutup sejak reformasi, lokalisasi pelacuran pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan di media sosial yang melibatkan perempuan atau cewek prostitusi online.

Yang bisa diintervensi hanya perilaku nomor 3, tapi itu pun praktek pelacuran harus dilokalisir. Thailand sudah membuktikan keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.

Kalau hanya melalui sosialisasi dan edukasi sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu ketika HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia (1987). Sedangkan melalui regulasi, dalam hal ini peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS juga tidak akan berhasil karena pasal-pasal di Perda AIDS tidak menukik ke akar persoalan.

Di Sulsel sendiri sudah ada enam Perda AIDS, yaitu: Kab Bulukumba (2008), Kab Luwu Timur (2009), Provinsi Sulsel (2010), Kab Wajo (2012), Kab Maros (2016), Kab Gowa (2017).

Baca juga: Menyibak Peran Perda AIDS Provinsi Sulawesi Selatan

Selain pasal-pasal dalam Perda yang tidak konkret, Perda-perda AIDS di Indonesia pun hanya copy-paste dan mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS Thailand.

Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand

Karena intervensi terhadap perilaku-perilaku seksual berisiko tidak bisa dilakukan, maka yang bisa dijalankan Pemprov Sulsel dan pemerintah kabupaten dan kota di Sulsel adalah mencari kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Untuk itu perlu regulasi (Perda) yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

Tanpa langkah-langkah yang konkret, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Sulsel yang seterusnya terjadi penularan horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penularan ini bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 23/7-2022) *

Tinggalkan Balasan