Menggugat Peran Pers Nasional dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Kesehatan37 Dilihat

Dengan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1 juta di awal tahun 1990-an Thailand berhasil menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru. Kasus HIV/AIDS di Thailand per Maret 2017 sebanyak 450.000 dengan infeksi HIV baru 6.400/tahun. Yang mendapat pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) 69 persen (aidsdatahub.org).

Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif yang terdeteksi per 31 Maret 2017 sebanyak 330.152 dengan infeksi HIV baru 48.000/tahun dan kematian 48.000. Estimasi ahli-ahli epidemiologi menyebutkan kasus HIV/AIDS di Indonesia ada pada kisaran angka 620.000. Yang menerima pengobatan dengan obat ARV hanya 13 persen.

Peran Media Massa

Mengapa Thailand bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru?

Pemerintah Negeri Gajah Putih itu menjalankan 5 program penanggulangan yang realistis secara serentak dengan skala nasional. Di urutan pertama adalah memanfaatkan media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS  di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).

Celakanya, di Indonesia sebagian besar media massa juga media online menjadikan isu HIV/AIDS sebagai berita yang sensasional, terutama yang menyangkut aspek norma, moral dan agama. Tanggal 9 Februari diperingati sebagai ‘Hari Pers Nasional’ yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur peran pers nasional dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Soalnya, sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS pertama pada April 1987 cara-cara pemberitaan sebagian besar media massa nasional hanya berkutat di seputar moral. Pengakuan kasus pertama itu pun dinilai banyak kalangan tidak objektif karena didorong oleh aspek moral yang menguatkan anggapan, ketika itu bahkan sampai sekarang, bahwa HIV/AIDS adalah penyakit homoseksual, penyakit orang bule, dll.

Lihat saja judul berita di Harian “RADAR BOGOR” (18/12-2017) ini: 1.330 Gay Berkeliaran di Bogor. Judul ini sensasional dan sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada pembaca (masyarakat). Yang terjadi justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhadap gay.

Yang lebih konyol lagi jumlah 1.330 itu ternyata hasil penjumlahan gay dan waria. Padahal, gay bukan waria atau sebaliknya. Dalam kaitan ini wartawan dan redaktur media itu memakai ‘baju moral’ mereka dalam memahami orientasi seksual sehingga hasilnya hanya mitos (anggapan yang salah). Dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS cara-cara itu jadi kontra produktif.

Judul lain: LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS  (tribunnews.com, 23/1-2018). Ini mendorong masyarakat benci terhadap kalangan LGBT, padahal fakta menunjukkan jumlah pengidap AIDS di Indonesia 67,8 persen ada pada kalangan heteroseksual. Bandingkan dengan homoseksual 4,23 persen dan biseksual 0,58 persen (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017).

Lagi pula dalam konteks LGBT sendiri belum ada kasus penularan HIV dengan faktor risiko lesbian. Selain itu yang justru lebih potensial menyebarkan HIV adalah biseksual karena secara seksual tertarik dengan perempuan sekaligus dengan laki-laki juga

Stigma

Pernyataan-pernyataan yang mengait-ngaitkan penularan HIV dengan LGBT akhirnya jadi ledakan kemarahan masyarakat bahkan sudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar LGBT dipidana. Sekarang isu itu bergulir di DPR terkait dengan revisi KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Masyarakat digiring media massa dan media online, belakangan media sosial juga ikut-ikutan, untuk membenci LGBT. Padahal, sebagai orientasi seksual LGBT adalah di alam pikiran sehingga tidak bisa dipidana.

Hiruk-pikuk tentang LGBT yang jadi korban adalah kaum waria karena dalam konteks LGBT hanya transgender (waria) yang kasat mata, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali dari fisik mereka.

Stigma terhadap pengidap HIV/AIDS terus didorong melalui pernyataan-pernyataan yang tidak akurat, bahkan dari kalangan medis. Seperti ini: Dokter Inong: Agar Tak Tertular HIV/AIDS, Jangan Berzina (hidayatullah.com, 14/1-2018).

Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks pranikah, selingkuh, melacur, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Beban fisik dan psikologis Odha (Orang dengan HIV/AIDS) pun kian berat karena di sarana kesehatan sendiri terjadi perlakuan yang diskriminatif yang justru dilakukan oleh kalangan medis. Ini tidak masuk akal karena mereka tahu persis cara-cara penularan dan pencegahan HIV.

Berita-berita yang mengandung mitos tidak mencerahkan masyarakat karena cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis tenggelam karena berita dibumbui dengan norma, moral dan agama. Penulis melakukan content analysis berita-berita di media massa nasional dari tahun 1987-2000. Hasilnya, banyak berita yang hanya berisi mitos sehingga menggelapkan fakta medis tentang HIV/AIDS (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).

“2017, 5 Kasus HIV di Payakumbuh Berasal dari LSL.” Ini judul berita di harianhaluan.com  (8/2-2018). Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan siapa saja LSL itu sehingga membingungkan. Dalam berita LSL disebutkan Lelaki Seks dengan Lelaki yang akhirnya menggiring opini ke kalangan gay padahal di sana ada biseksual dan waria.

Penanggulangan di Hilir

Penanggulangan HIV/AIDS yang bergulir di hilir yaitu tes HIV terhadap ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Ada suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menolak tes HIV. Akibatnya, suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penanggulangan dengan program tes HIV itu artinya ada pembiaran sehingga warga tertular HIV.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Program yang dilakukan, seperti di Thailand dengan hasil yang memuaskan, adalah memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya intervensi tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir.

Yang tidak masuk akal penanggulangan didukung dengan peraturan daerah (Perda), tapi perda-perda itu justru hanya mencangkok ekor program Thailand dengan cara yang tidak komprehensif. Paling tidak sampai Februari 2018 sudah ada 111 Perda AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

Program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK hanya bisa dijalankan dengan efektif kalau praktek PSK dilokalisir. Sedangkan di Indonesia praktek PSK terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa dilakukan intervensi.

Lagi pula di Thailand sanksi hukum bagi yang tidak menjalankan ‘wajib kondom 100 persen’ diterapkan terhadap germo, tapi di Indonesia yang dihukum justru PSK. Ini sama saja dengan ‘menggantang asap’ karena 1 PSK dihukum nun di luar sana ada puluhan bahkan ratusan PSK pengganti.

Selain itu PSK tidak bisa menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom karena dipaksa germo, tapi kalau yang kena sanksi germo tentulah germo akan berpihak pada PSK dalam menghadapi laki-laki yang tidak mau pakai kondom.

Tanpa program yang menukik ke akar persoalan, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Indonesia yang merupakan ‘bom waktu’ pada epidemi HIV yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ (Kompasiana, 9 Februari 2018). *

Gambar ilustrasi (Sumber: jurnalline.com)

Tinggalkan Balasan