Terkait dengan LGBT Hanya Waria yang Kasat Mata

Edukasi31 Dilihat

Gubernur Sumbar Bicara soal Unand yang Tolak Mahasiswa LGBT” Ini judul berita di detikNews, 3/5-2017

Terkait dengan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang bisa dikenali secara fisik hanya waria (transgender). Nah, apa salah waria sehingga mereka tidak boleh kuliah di Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat?

Kalau hanya terkait dengan cara berpakaian, waria bisa berpakaian laki-laki tanpa gincu yang berlebihan. Soal gerakan-gerakan ketika melangkah dan berbicara itu merupakan bagian dari fisik dan psikologis mereka. Lagi pula apa masalahnya jika ada mahasiswa, maaf, banci?

Apakah banci itu aib atau otomatis sebagai seorang pendosa hanya karena gerakan badan?

Apakah universitas kemudian bisa menjamin tidak ada dosen, staf administrasi, keamanan dan mahasiswa yang pernah atau sering berzina?

  1. Surat Pernyataan Tidak Termasuk Kelompok LGBT

Untung saja tidak ada universitas yang melakukan tes keperawanan dan tidak melakukan tes keperjakaan. Soalnya, di negeri ini tanggung jawab moral hanya dibebankan kepada perempuan. Buktinya, yang ada hanya tes keperawanan. Apakah ada yang bisa menjamin laki-laki yang menikah pertama selalu perjaka?

LGBT ada di ranah orientasi seksual yang tidak kasat mata karena ada dalam pikiran seseorang. Tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas pada fisik lesbian, gay dan biseksual. Begitu juga dengan orientasi seksual pada homoseksual dan biseksual tidak bisa dikenali dari fisiknya.

Bagaimana sebuah universitas bisa mengenali calon mahasiswa dengan orientasi seksual lesbian, gay dan biseksual?

Rupanya dibuktikan melalui surat pernyataan: “Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak termasuk dalam kelompok/kaum Lesbian, Gay, Transgender (LGBT).”

Tentu saja waria otomatis gugur sebagai mahasiswa karena tidak bisa disembunyikan. Dalam surat pernyataan tidak lengkap karena biseksual tidak disebut. Apakah ini kelalaian atau memang disengaja? Atau karena ketidaktahuan terkait dengan orientasi seksual?

Dalam pernyataan kian kabur karena diminta menyatakan “tidak dalam kelompok/kaum Lesbian, Gay, Transgender (LGBT)”.

Apakah yang dimaksud kelompok atau kaum sebagai tergabung dalam organisasi LGBT?

Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno,  juga angkat bicara melalui akun Twitter @irwanprayitno dengan mengatakan: “Hak setiap orang menikmati pendidikan yang merata dan hak mahasiswa Unand merasa aman dari penyimpangan seksual.”

Disebutkan “hak mahasiswa Unand merasa aman dari penyimpangan seksual”.

Pertama, apa yang dimaksud dengan ‘penyimpangan seksual’? Dikesankan bahwa ‘penyimpangan seksual’ hanyalah yang terkait dengan LGBT. Padahal, kalau bicara soal aktivitas terkait LGBT, pasangan suami istri yang sah pun tidak sedikit yang melakukan praktek-praktek hubungan seksual ala LGBT, seperti seks oral dan seks anal, bahkan posisi “69”.

Kedua,  apakah mahasiswa dan mahasiswi yang belum menikah tapi sudah pernah, sering atau bahkan terus-menerus melakukan hubungan seksual tidak termasuk ‘penyimpangan seksual’?

Ketiga, bagaimana mewujudkan “hak mahasiswa Unand merasa aman dari penyimpangan seksual”? Apakah ‘penyimpangan seksual’ mahasiswa dan mahasiswi Unand hanya akan terjadi kalau ada LGBT yang jadi mahasiswa dan mahasiswi?

Saudara-saudara kita yang terlahir sebagai waria banyak yang menerima perlakuan yang tidak adil di masyarakat hanya karena ada sebagian dari mereka yang melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan moral, seperti menjalani pekerjaan yang melayani praktek-praktek terkait dengan seks.

  1. Tidak Mengingkari Cinta.

Tapi, perlu juga disoal karena yang, maaf, memakai jasa waria terkait dengan kegiatan-kegiatan seks justru laki-laki dewasa heteroseksual, sebagian beristri. Studi yang dilakukan oleh sebuah organisasi di Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan bahwa yang banyak memakai jasa waria justru laki-laki dewasa beristri. Alasan mereka, seperti teruangkap dalam studi tsb. (tahun 1990-an) jika melakukan kegiatan seksual dengan waria tidak memakai penis ke vagina sehingga mereka merasa tidak mengingkari cinta (dengan istrinya).

Begitu juga dengan biseksual. Mereka mempunyai istri atau suami yang terikat dalam pernikahan yang sah secara agama dan hukum, tapi di luar pernikahan mereka melakukan hubungan seksual sejenis. Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS biseksual menjadi jembatan penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes genitalis, dll.), virus kanker serviks (HPV), dan HIV/AIDS. Bisa juga terjadi serentak kalau di antara pasangan itu mengidap lebih dari satu IMS.

Memarginalkan waria sudah lama terjadi. Di kampung penulis, misalnya, di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, di tahun 1960-an waria tidak mempunyai kesempatan untuk bekerja. Karena waktu itu penulis belum memahami LGBT, penulis tidak bertanya kepada (alm). ayah mengapa dia mempekerjakan seorang waria jadi sais andong.

Waria itu seorang anak yatim dengan beberapa saudara kakak dan adik. Caci-maki, hinaan, cercaan, dst. jadi sarapan pagi saya ketika jalan kaki ke sekolah (SMP). Mereka mengejek alm ayah karena memberikan pekerjaan kepada waria, mereka sebut banci.

Belakangan dikabarkan syarat non-LGBT dihapus. Tapi, Irwan wanti-wanti: “LGBT bisa berkuliah di Unand, tapi sesuai arahan Unand harus mengubah diri agar kembali normal. Kami siap fasilitasi konselingnya.”

Normal adalah bahasa moral yang tidak objektif sehingga tidak pas menyebut waria sebagai orang yang tidak normal. Kesalahan sosial waria adalah dalam kehidupan keseharian yang mereka jalani bertolak belakang dengan identitas kelahiran. Ini saja.

Hanya waria yang bisa dibantu secara fisik yaitu dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja di sektor formal dan tidak memarginalkan mereka. Ini perlu dilakukan bukan dengan konseling agar kembali normal.

Apakah suami-suami yang melacur, selingkuh, dan melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan perempuan, laki-laki atau waria bisa disebut normal?

Sedangkan lesbian, gay dan biseksual, apakah pihak Unand bisa menemukan mereka? Begitu juga dengan karyawan yang beristri dan bersuami yang berzina, apakah bisa dikenali?

Tentu saja tidak!

Praktek seks yang mereka lakukan juga bukan di kampus sehingga tidak akan terpantau siapa mahasiswa yang gay dan biseksual serta siapa pula mahasiswa dan mahasiswi yang lesbian dan biseksual.

Lalu, bagaimana dengan mahasiswa dan mahasiswi yang pernah atau sering bahkan terus-menerus melakukan hubungan seksual di luar nikah?

Kita tidak tahu apa jawaban kampus terhadap pertanyaan ini.

Bisa jadi disebutkan bahwa tidak ada mahasiswi yang hamil selama kuliah. Ini tidak jaminan karena banyak cara mencegah kehamilan dan ada juga cara menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) (Kompasiana, 6 Mei 2017). *

Tinggalkan Balasan