Angan-angan Belaka Jakarta Bisa Bebas AIDS Tahun 2030

Edukasi28 Dilihat

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dr Widyastuti, mengapresiasi peluncuran Jakarta Memanggil. Menurut Widyastuti, ‘Jakarta Memanggil’ bisa membuat Jakarta bebas HIV-AIDS pada 2030.”

Itu lead pada berita “2030, Jakarta Ditargetkan Bebas HIV-AIDS” (beritasatu.com, 11/2-2020). Meski pernyataan ini sama sekali tidak didukung dengan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di DKI Jakarta.

“Jakarta Memanggil” bertujuan mengajak seluruh petugas kesehatan, terutama petugas puskesmas dan klinik untuk melakukan aksi-aksi percepatan penanggulangan HIV- AIDS, yang terencana dan terpadu dalam rangka mewujudkan Jakarta bebas AIDS pada 2030.

Dikatakan pula oleh Widyastuti bahwa Pemprov DKI Jakarta serius mengatasi permasalahan HIV-AIDS di Jakarta dengan menginisiasi beberapa komitmen seperti dalam bentuk regulasi dengan menerbitkan Perda Nomor 5/2008 tentang Penanggulangan AIDS.

Masalahnya adalah Perda AIDS Jakarta itu sendiri tidak memberikan langkah-langkah dan cara-cara yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV di hulu.

Jak Track merupakan program yang memudahkan akses ke layanan HIV. Ini merupakan langkah di hilir. Artinya, warga DKI Jakarta dibiarkan tertular HIV dulu (di hulu) baru dipanggil ke layanan HIV.

Disebutkan jumlah kumulatif HIV/AIDS di Jakarta berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ada 109.676, sedangkan yang 65.606, sehingga ada 40% yang belum terdeteksi.

Pernyataan dr Widyastuti tidak akurat karena dia mengesankan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah lagi bertambah setelah estimasi Kemenkes itu. Ini jelas menyesatkan.

Kasus berdasarkan estimasi itu tidak berhenti hanya 109.676 karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung (seperti prostitusi online).

Dalam berita disebutkan: Associate Director for Technical FHI 360, Erlian Rista Aditya, mengatakan Jakarta Memanggil adalah sarana penyaluran semangat para petugas kesehatan untuk melakukan perubahan dan mencapai tujuan agar semua orang terdampak HIV-AIDS mendapatkan perawatan dan pengobatan.

Perawatan dan pengobatan jelas kepada warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Ini sangat jelas merupakan langkah di hilir. Yang harus dideteksi bukan hanya yang 65.606, tapi ada kasus baru yang terjadi setelah estimasi itu. Kasus baru tersebut terus-menerus terjadi.

Warga yang baru tertular HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah atau di luar nikah tanpa mereka sadari.

Hal ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat ARV sesuai resep dokter).

Maka, kasus HIV/AIDS di Jakarta tidak hanya 109.676 sebagai sisa kasus dari estimasi yang tidak terdeteksi karena tiap saat ada insiden infeksi HIV baru.

Pertambahan kasus baru atau insiden infeksi HIV baru terjadi melalui:

(1). Insiden infeksi HIV baru bisa terjadi pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam nikah atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah DKI Jakarta atau di luar DKI Jakarta, bahkan di luar negeri.

Soalnya, bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS. Tentu saja Pemprov DKI Jakarta tidak bisa mengawasi perilaku seksual semua laki-laki dewasa warga DKI Jakarta.

(2). Insiden infeksi HIV baru bisa terjadi pada perempuan dewasa melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, di dalam nikah atau di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti di wilayah DKI Jakarta atau di luar DKI Jakarta, bahkan di luar negeri.

Soalnya, bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS. Tentu saja Pemprov DKI Jakarta tidak bisa mengawasi perilaku seksual semua perempuan dewasa warga DKI Jakarta.

(3). Insiden infeksi HIV baru bisa terjadi pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), di wilayah DKI Jakarta atau di luar DKI Jakarta, bahkan di luar negeri.

Sebab, bisa saja salah satu dari PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Tentu saja Pemprov DKI Jakarta tidak bisa mengawasi perilaku seksual semua laki-laki dewasa warga DKI Jakarta.

Yang perlu diingat adalah PSK ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung. Adalah PSK yang kasat mata atau PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b), PSK tidak langsung. Adalah PSK yang tidak kasat mata, yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, cewek prostitusi online, ‘artis dan model’ prostitusi online, dll.

Apakah Dinkes DKI Jakarta bisa mencegah tiga pintu masuk HIV/AIDS di atas?

Tentu saja tidak bisa! Poin (1) dan (2) ada di ranah pribadi, sedangkan poin (3) juga tidak bisa diintervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir, sedangkan praktek PSK tidak langsung melalui media sosial yang sangat jelas tidak bisa diintervensi.

Itu artinya slogan ‘Jakarta bebas AIDS pada 2030’ hanya omong kosong. Angan-angan. Khayalan belaka (Kompasiana, 14 Februari 2020). *

Tinggalkan Balasan