Jemput Bola ke Lokasi Pelacuran di Denpasar

Edukasi53 Dilihat

* Mengenang Prof Dr dr DN Wirawan, MPH ….

Kantor Yayasan Kerti Praja di Jalan Raya Sesetan, Denpasar, Bali, tak ubahnya seperti perkantoran. Tapi, salah satu ruangan di lantai satu menjadi tujuan pekerja seks komersial (PSK). Di ruangan itulah mereka mendapatkan pelayanan kesehatan, mulai dari pemeriksaan, pengobatan dan konseling.

Kegiatan yang dikembangkan oleh mendiang Prof Dr dr DN Wirawan, MPH, ketua yayasan, ini merupakan salah satu usaha untuk melindungi masyarakat dari aspek kesehatan masyarakat agar tidak terjadi penyebaran penyakit IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.) serta HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya.

Selain datang sendiri Kerti Praja juga punya program ’jemput bola’ yaitu menjemput PSK dari lokasi pelacuran agar mau berobat ke klinik. PSK yang datang ke klinik yayasan dibekali dengan pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, terutama cara-cara pencegahannya dengan kondom.

“Ah, mau kontrol, aja, Pak,” kata Ita, bukan nama sebenarnya, seorang PSK asal Jawa Timur, sambil berusaha menutupi cupang yang berwarna kehitam-hitaman di lehernya dengan rambutnya (Ini dalam sebuah liputan tahun 2008). Ita mengaku baru pulang dari kampungnya. Ita datang untuk berobat. Medical record semua PSK yang menjadi kelompok dampingan disimpan di yayasan.

Berkat dampingan yang konsisten banyak PSK yang datang sendiri ke poliklinik. Ada yang memang ingin berobat, kontrol atau konsultasi. Ada pula yang sekaligus membeli kondom. Untuk meningkatkan kesadaran PSK yayasan juga menjalin kerja sama dengan ‘induk semang’ atau germo PSK itu. Kerja sama merupakan salah satu cara agar PSK diizinkan dibawa ke poliklinik untuk kontrol dan konseling.

Sebuah taksi masuk ke halaman yayasan. Empat perempuan dan seorang laki-laki turun dari taksi. Mereka langsung menuju poliklinik. “Kita menjemput mereka, Pak,” kata Dewa, petugas lapangan, yang menjemput PSK tadi. Biasanya setelah dijemput satu atau dua kali selanjutnya mereka pun akan datang sendiri ke poliklinik.

Setelah kontrol dan konseling mereka ditawari kondom “Sutra” sebagai upaya untuk melindungi diri. Pendekatan ini mendorong PSK untuk membeli kondom mereka “Sutra” di poliklinik.

Tapi, seperti yang dikatakan seorang PSK selalu saja ada laki-laki ’hidung belang’ yang menolak memakai kondom. Terutama laki-laki lokal. “Kalau orang Jepang atau Korea malah memakai kondom dua lapis,” kata salah seorang PSK yang baru selesai menjalani pemeriksaan.

Untunglah yayasan sudah menjalin kerja sama dengan mucikari sehingga kalau ada PSK yang menolak tamu yang tidak mau memakai kondom mucikari tidak marah. Berkat penyuluhan yang tidak kenal lelah kian banyak PSK yang sudah berani menolak tamu jika tamu tidak mau memakai kondom ketika hubungan seksual. “Daripada celaka,” kata Tini, bukan nama sebenarnya, seorang PSK juga asal Jawa Timur, yang juga datang ke klinik.

PSK yang menjadi kelompok dampingan yayasan sudah memahami IMS dan HIV/AIDS sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang kuat. Soalnya, mereka sudah tahu betul risiko yang terjadi jika tertular HIV/AIDS. Pelanggan tidak ada dan uang habis untuk berobat yang tidak kunjung sembuh.

Ada juga mucikari yang sudah memikirkan ‘nasib’ PSK asuhannya dengan menyediakan kondom. Tidak mengherankan kalau kemudian ada mucikari yang membeli kondom ke klinik. Kadang-kadang ada pula suruhan PSK atau mucikari yang membeli kondom. Hal itu menunjukkan tingkat pemahaman PSK terhadap keamanan sudah tinggi.

Persoalan yang muncul kemudian adalah PSK silih berganti sehingga yayasan mulai lagi dari nol. Karena menyangkut keselamatan rakyat banyak maka yayasan pun tidak mengenal lelah dalam memasyarakatkan ‘seks aman’ dengan memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.

Itu berjalan sebelum tahun 2008. Tapi, sejak 2008 lokasi pelacuran di sekitar Jalan Danau Tempe, Denpasar, dibongkar sehingga PSK pun menyebar luas ke berbagai sudut kota.

Celakanya, yang dibongkar hanyalah barak-barak di lokasi pelacuran. Sedangkan rumah-rumah besar yang dijadikan tempat pelacuran, disebut ‘wisma’, di salah satu kawasan di pantai Sanur, ternyata lolos dari pembongkaran. Ini terjadi karena kepemilikan rumah-rumah di sana terkait dengan peringkat strata sosial pemiliknya.

Salah seorang penjangkau di ‘wisma-wisma’ itu mengatakan bahwa sebagian pengunjung yang datang adalah pasangan yang pacaran. Biasanya mereka datang ke ‘wisma’ antara pukul 19.00 – 21.00 yang merupakan jam tayang film di bioskop.

Upaya Prof Wirawan memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS ke masyarakat melalui program pendampingan, terutama ‘jemput bola’ PSK, ternyata lain di mata seorang wartawan. Wartawan salah satu harian ibu kota itu pun menuding Prof Wirawan sebagai ‘orang yang melindungi pelacur’.

Hal itu disimpulkan wartawan karena Kerti Praja mendampingi PSK. Kalau saja wartawan itu mempunyai perspektif yang luas, terutama yang terkait dengan IMS dan HIV/AIDS, tentulah dia akan melihat langkah Prof Wirawan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat.

Lokalisasi pelacuran boleh-boleh saja dibongkar, tapi praktek pelacuran terus terjadi. Belakangan muncul pula lokasi pelacuran di Padang Galak, pantai Sanur, Denpasar Timur, dan tempat-tampat lain.

Selain itu muncul pula kafe yang sudah sampai ke kawasan pedesaan. Kafe-kafe itu pun menyediakan PSK sehingga ada transaksi seks dalam bentuk pelacuran.

Selama Pemprov Bali tetap mengabaikan praktek pelacuran, di lokasi, rumah-rumah, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang serta kafe yang tersebar luas, maka selama itu pula penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual akan terus terjadi di Bali.

Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melacur tanpa kondom. Pada gilirannya, kekhawatiran Pulau Bali akan menjadi ‘pulau AIDS’ bisa terjadi (AIDS Watch Indonesia, 17 Oktober 2021). *

Tinggalkan Balasan