Yang Miris Bukan HIV/AIDS pada Gay, Tapi pada Ibu Rumah Tangga

Miris, Kasus HIV/AIDS Kabupaten Cirebon Dominasi Kaum Gay” Ini judul berita di dara.co.id, 2 November 2020. Jutsu judul berita ini yang miris karena tidak menggambarkan realitas sosial tentang epidemi HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, khususnya dan global pada umumnya.

Lagi-lagi berita ini hanya mengedepankan sensasi daripada fakta. Celakanya, berita ini justru menyesatkan karena yang jadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS bukan kasus HIV/AIDS pada gay, tapi pada ibu-ibu rumah tangga.

Dilaporkan jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon tahun lalu terdeteksi 297 kasus, sedangkan tahun ini sampai Oktober 2020 terdeteksi 210 kasus. Yang perlu diingat adalah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemic HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Jumlah kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Dalam berita disebutkan: Nanang [Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Nanang Ruhyana-pen.] mengaku miris karena penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon, 60 persennya masih didominasi kaum gay.

Yang jadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah jika ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena itu menggambarkan ada dua yang HIV-positif, yaitu suami dan si istri. Lalu ada pula risiko penularan secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Yang bikin miris seorang suami, dalam hal ini heteroseksual dan bisa juga ada yang biseksual, jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penularan terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri serta gejala-gejala yang khas HIV/AIDS pada orang-orang yang tertular HIV antara 5-15 tahun sejak tertular HIV.

Sebaliknya, HIV/AIDS pada gay adalah pada posisi terminal terakhir karena hanya ada di komunitas mereka (gay). Penyebaran bisa terjadi hanya melalui laki-laki biseksual (secara seksual tertarik dengan perempuan dan laki-laki) yang punya pasangan gay.

Disebutkan pula: Nanang mengaku miris, karena penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon, 60 persennya masih didominasi kaum gay.

Justru hal itu tidak miris karena tadi HIV/AIDS di kalangan gay ada di terminal terakhir yaitu di kalangan gay tidak punya istri sehingga tidak ada penyebaran HIV secara horizontal ke perempuan.

Persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Kabupaten Cirebon atau di luar Kabupaten Cirebon serta di luar negeri.

Di wilayah Kabupaten dan Kota Cirebon kegiatan hubungan seksual dengan PSK diplesetkan jadi ‘esek-esek’. Hal ini merupakan eufemisme untuk menghaluskan istilah pelacuran, zina, dll.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

Secara empiris yang bisa diintervensi hanya pada PSK langsung yaitu memaksa laki-laki selalu memakai kondom, tapi praktek PSK harus dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi ada gerakan massal berbalut moral menutup semua lokalisasi pelacuran.

Sedangkan PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi melalui media sosial dengan eksekusi seks di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Pemkab Cirebon boleh-boleh saja membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kabupaten Cirebon tidak ada pelacuran!

Secara de jure benar, tapi secara de facto: Apakah Pemkab Cirebon bisa mengabaikan transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung?

Tidak Bisa!

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa yang selanjutnya menyebarkan ke masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terutama ke istri, yang selanjutnya ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandung istrinya.

Jika Pemkab Cirebon tidak melakukan intervensi penanggulangan di hulu yaitu pada transaksi seks dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS yang terjadi merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ (Kompasiana, 4 November 2020). *

Tinggalkan Balasan