Kematian Pertama AIDS dan Covid-19 Terjadi di Bali

Terlepas dari kebetulan atau tidak yang jelas kematian pertama kasus HIV/AIDS dan virus corona (Covid-19) di Indonesia terjadi di Denpasar, Bali.

Kematian kasus pertama terkait dengan AIDS terjadi pada seorang turis Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987. Sedangkan kematian pertama terkait Covid-19 juga terjadi pada Kode 25 seorang WNA perempuan umum 53 tahun di Bali, 11 Maret 2020.

Epidemi HIV/AIDS secara global sudah terjadi sejak tahun 1981, tapi Indonesia baru mengakui HIV/AIDS ada di Indonesia ketika seorang turis Belanda, EGH, meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tanggal 5 April 1983. Padahal, berdasarkan laporan, waktu itu Depkes, tahun 1983 terdeteksi 4 kasus HIV dan 2 kasus AIDS.

Begitu pula dengan wabah Covid-19 yang sudah berkecamuk sejak Desember 2019 di Wuhan, China, baru ditanggapi pemerintah ketika dua warga terdeteksi positif tertular Covid-19. Perihal dua warga yang tertular ini langsung diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menkes Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad (K) tanggal 2 Maret 2020.

1. Informasi AIDS dan Covid-19 dibalut norma, moral dan agama

Tampaknya, dua kasus ini, HIV/AIDS dan Covid-19, jadi masalah besar dalam bidang kesehatan (masyarakat) karena berbalut dengan norma dan agama yang memunculkan stigmatisasi (pemberian cap negatif) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).

Baca juga: Fenomena AIDS Persis Serupa dengan Corona

Sejak awal epidemi HIV/AIDS pemerintah selalu menampik AIDS akan masuk ke Indonesia karena di awal epidemi kasus terdeteksi pada laki-laki gay dan pekerja seks komersial (PSK). Tampanya, pemerintah memanfaatkan kematian wisatawan Belanda, EGH, di Bali yang memang seorang homoseksual, dalam hal ini gay. Selain itu EGH orang bule atau orang asing.

Ilustrasi: Informasi tentang HIV/AIDS justru lebih didominasi oleh mitos. (Foto: india.com)

Maka, HIV/AIDS pun dibumbui dan dibalut dengan norma dan moral serta agama sehingga muncul sikap buruk sebagian orang terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Padahal, penularan HIV/AIDS tidak terkait langsung dengan orientasi seksual dan pekerjaan.

Masyarakat pun ‘menghukum’ Odha dengan hujatan moral sehingga Odha menutup diri. Dalam epidemi hal ini buruk karena berdampak terhadap upaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Misalnya, orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS tidak mau tes HIV karena takut ‘dihukum’ masyarakat.

Biar pun catatan medis (medical record) Odha adalah rahasia jabatan dokter, tapi berbagai pihak justru membuka identitas Odha sehingga masyarakat mengenali mereka. Bahkan, media cetak di tahun 1990-an memajang foto pasangan suami istri Odha yang menikah di Makassar, Sulawesi Selatan. Akibatnya, perempuan itu jadi sasaran amarah warga dengan mengusirnya dari kontrakannya. Paling tidak perempuan ini mengalami pengusiran sepuluh kali. Pengusiran dan kebencian terhadap dia baru berhenti setelah perempuan ini beristirahat di liang lahat.

Hal yang sama terjadi pada orang-orang yang terdeteksi terinfeksi Covid-19. Lihat saja judul-judul berita terkait dengan Kode 02 yang disebut-sebut berdansa dengan WN Jepang sehingga tertular Covid-19. Padahal, penularan terjadi bukan karena dansa tapi kontak dengan pengidap Covid-19. Entah siapa yang memulai mengait-ngaitkan kegiatan Kode 02 dengan dansa sehingga menyuburkan stigmatisasi terhadap mereka dengan aspek norma, moral dan agama.

2. Judul-judul berita yang menggiring opini buruk

(1)   Kronologi 2 Kasus Positif Virus Corona, Berawal dari Lantai Dansa

(2)   Pasien 3-4 Positif Corona Satu “Kelompok Dansa” dengan Kasus 1

(3)   Ketika Lantai Dansa Awal ‘Insiden’ Penularan Corona di Indonesia

(4)   Termasuk Korban Corona, Ada 50 Orang di Klub Dansa Menteng

(5)   Pemerintah Sulit Lacak Peserta Dansa Valentine

(6)   Petaka Dansa ‘Pembawa’ Kasus Virus Corona Pertama di Indonesia

(7)   Kasus Corona Pertama di Indonesia Tertular dari Klub Dansa

 Baca juga: Publikasi Identitas Covid-19 Suburkan Stigmatisasi

Celakanya, semua berita itu tidak menjelaskan apa kaitan langsung antara dansa dan penularan Covid-19. Tanpa dansa pun close contact bisa jadi media penularan Covid-19. Sedangkan Jubir Corona Nasional, Achmad Yurianto, mengatakan close contact sekalipun dengan yang terinfeksi Covid-19 tidak otomatis terjadi penularan Covid-19.

Yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan di tempat-tempat yang warganya terdeteksi tertular Covid-19 adalah contact tracing yaitu mengamati orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan yang terinfeksi Covid-19. Sedangkan bagi yang ada dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang jika ada di antara mereka yang terinfeksi Covid-19 dilakukan tracing sebagai klaster. Seperti kematian Kode 25 di Bali, Dinas Kesehatan setempat sudah melakukan observasi terhadap 21 warta yang kontak langsung dengan Kode 25.

Dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun TV swasta nasional ada narasumber yang mengatakan lokasi warga yang terinfeksi Covid-19 harus diumumkan. Ini tidak perlu karena orang-orang yang terdeteksi terinfeksi Covid-19 akan menerima konseling sehingga mereka menjaga diri agar tidak menularkan virus ke orang lain.

Dalam bahasa lain Yuri mengatakan yang sakit, dalam hal ini yang terinfeksi Covid-19, memakai masker agar tidak menularkan virus ke orang lain. Selain itu menghindari keramaian dan tentu saja menjaga kesehatan agar bugar dan imunitas tetap tinggi (tagar.id, 12 Maret 2020). *