Ironis Keluarga Jadi Klaster Penyebaran Virus Corona

Edukasi33 Dilihat

Pandemi virus corona di Jakarta dan kota-kota sekitar Jakarta muncul klaster keluarga bermula dari klaster perkantoran penyebaran virus corona.

Kebijakan isolasi mandiri di rumah justru jadi ‘malapetaka’ dalam penyebaran virus corona baru (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) karena bermunculan klaster penyebaran virus corona di lingkungan keluarga yang bermula dari klaster perkantoran di Jakarta. Di Jakarta, Bekasi, Bogor dan Depok dilaporkan klaster keluarga.

Klaster keluarga ini juga bermula dari klaster perkantoran. Warga yang terpapar virus corona di kantor pulang membawa virus. Ketika melakukan isolasi mandiri di rumah ternyata tidak taat asas menerapkan protokol kesehatan, seperti tidak memakai masker dan keluar dari lingkaran isolasi sehingga menularkan virus ke anggota keluarga yang lain.

Bisa saja pemahaman yang sempit di sebagian warga tentang sakit dan penyakit. Ada kesan bahwa orang yang sakit adalah yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit yang dikenal. Sedangkan seseorang yang tertular virus corona tanpa gejala yang jalankan isolasi mandiri dianggap bukan orang sakit.

  1. Warga di Sekitar Jakarta sebagai Komuter

Selain itu infeksi virus corona pun dianggap tidak ada karena informasi virus corona, terutama di media sosial, dibumbui dengan kebencian ras dan agama terkait dengan penemuan kasus awal di Wuhan, China. Akibatnya, banyak yang tidak percaya bahwa virus corona itu benar-benar menginfeksi anggota keluarganya yang sedang jalani isolasi mandiri.

Transmisi yang terjadi di keluarga merupakan transmisi rumah tangga (household transmission). Di Kota Depok, Jawa Barat, misalnya, ketika seseorang terdeteksi positif setelah dilacak ternyata ada tiga sampai empat lagi yang tertular. Mereka ternyata satu keluarga dan tinggal serumah yaitu ayah, ibu dan anak-anak.

Penduduk di daerah-daerah penyangga Jakarta, seperti Kabupaten dan Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta bahkan sampai ke Banten setiap hari pulang-pergi ke Jakarta karena mereka bekerja di Jakarta. Seperti Kota Depok sekitar 60% warganya bekerja di Jakarta. Pada Agustus 2020 Pemkot Bekasi melaporkan 155 klaster keluarga yang menginfeksi 437 warga.

Sebagai komuter (seseorang yang bepergian ke suatu kota untuk bekerja dan pulang kembali ke kota tempat tinggalnya setiap hari) warga daerah-daerah penyangga itu berisiko tinggi terpapar virus corona mulai dari di angkutan umum sampai di tempat kerja, seperti di kantor atau pabrik. Ini terjadi karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang semakin longgar di semua daerah.

  1. Banyak yang Tidak Taat Menjalankan Protokol Kesehatan

Salah satu faktor yang mendorong klaster perkantoran yang selanjutnya merembet ke klaster keluarga terjadi karena penanganan pandemi Covid-19 dilakukan secara parsial. Padahal, pandemi tidak mengenal batas wilayah seperti kampung, dusun, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi bahkan negara.

Baca juga: Covid-19 Tak Kenal Batas Wilayah, Daerah dan Negara

Soalnya, virus corona ada di dalam tubuh orang yang tertular sehingga kemanapun dia pergi virus corona akan ikut. Maka, orang-orang yang terpapar virus corona, terutama tanpa gejala, jadi mata rantai penyebaran virus corona. Di lingkungan keluarga di rumah, di tempat kerja dan di angkutan umum.

Kondisinya kian runyam karena banyak yang tidak taat menjalankan protokol kesehatan, seperti tidak memakai masker di luar rumah dan tidak jaga jarak fisik bahkan ada di kerumunan warga. Selain itu ada pula daerah yang sesumbar sebagai zona hijau, tidak ada kasus positif coroan pada jangka waktu tertentu, tapi tidak pernah ada tes massif berupa tes swat dengan metode PCR. Itu artinya zona hijau yang semua karena tidak ada tes yang dilakukan.

Baca juga: Zona Hijau Sebagai Daerah Semu Pandemi Virus Corona

Pembeberan riwayat kontak kasus Pasien 01 tanggal 2 Maret 2020 juga jadi bumerang karena banyak orang yang kemudian melihat penularan virus corona karena maksiat. Maklum, riwayat kontak Pasien 01 dibeberkan secara vulgar dengan menyebut kegiatan dansa. Judul-judul berita pun bombastis dan sensasional: tertular di lantai dansa, dan lain-lain. Bahkan, ada judul berita yang mengaitkan penularan di lantai dansa dan perayaan valentine.

  1. Tes, Tracing dan Isolasi Harus Dijalankan Serentak

Padahal, tidak bisa dibuktikan kapan dan ketika sedang apa terjadi penularan dari WN Jepang ke Pasien 01. Akibatnya, muncul stigma terhadap pasien virus corona, bahkan kepada dokter dan tenaga kesehatan yang merawat pasien corona.

Baca juga: Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman

Maka, tidak memakai masker, tidak jaga jarak, dan lain-lain dianggap bukan maksiat sehingga tidak berisiko tertular virus corona. Begitu juga dengan bekerja ke kantor, jualan di pasar, narik ojek, dan lain-lain juga bukan maksiat sehingga tidak ada risiko terpapar virus corona.

Agaknya, kita menganggap remeh peringatan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) tentang tes, tracing (pelacakan) dan isolasi yang harus dijalankan serentak dengan skala nasional bukan parsial, seperti di Indonesia berdasarkan kabupaten, kota atau provinsi. Vietnam yang janlakan tiga hal ini secara konsisten belakangan juga ‘jebol’ karena terjadi kematian karena Covid-19 dan infeksi baru terus terdeteksi.

Hal yang sama juga terjadi di Australia dan Selandia Baru yang semula adem-ayem karena berminggu-minggu tidak ada kasus baru tapi belakangan Negeri Kangguru itu justru panik karena tiap hari terdeteksi kasus baru 3 digit (ratusan).

Maka, amat beralasan kalau kemudian Pemprov DKI Jakarta akan melarang isolasi mandiri di rumah dan akan menyediakan tempat isolasi bagi pasien terkait virus corona. Soalnya, di Jakarta klaster yang banyak ditemukan adalah di perkantoran dan permukiman. Kasus kumulatif virus corona di Jakarta per 3 September 2020 sebanyak 43.709, sedangkan kasus nasional 184.268.

Yang jelas penanganan pandemi virus corona di Indonesia tidak akan pernah berhasil kalau hanya dilakukan secara parsial yaitu berdasarkan kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota dan provinsi karena ada mobilitas warga yang tinggi antar daerah dengan 1001 macam alasan (tagar.id, 6 September 2020). *

Tinggalkan Balasan