Jumlah Kasus Virus Corona di Indonesia Tembus 1 Juta

Edukasi162 Dilihat

Penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia terus terjadi dengan kasus harian yang banyak sehingga secara kumulatif menembus angka 1 juta yaitu 1.012.350.

Ketika banyak negara di dunia kelabakan menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia justru muncul pernyataan-pernyataan nyeleneh yang menganggap remeh ancaman pandemi virus corona. Akibatnya, warga abai melindungi diri sehingga penyebaran virus corona terus terjadi.

Data terakhir tanggal 26 Januari 2021 (twitter.com/KemenkesRI) menunjukkan kasus virus corona di Indonesia mencapai 1.012.350 dengan 28.468 kematian. Jumlah kasus ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-19 dunia dan peringkat ke-4 di Asia. Kasus harian terbanyak dilaporkan tanggal 16 Januari 2021 yaitu 14.224.

Pernyataan-pernyataan nyeleneh seperti ini: “Katanya virus corona nggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah ….” Hal ini jadi berita di beberapa media massa dan media online sebelum kasus virus corona terdeteksi di Indonesia.

Matriks beberapa pernyataan yang nyeleneh tentang virus corona (Tagar/Syaiful W Harahap)

Ketika itu, awal Februari 2020, ahli dari Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat, memprediksi seharusnya di Indonesia sudah terdeteksi kasus virus corona karena negara-negara tetangga di ASEAN sudah mendeteksi virus corona. Menteri Kesehatan, waktu itu, Terawan Agus Putranto, justru menantang pakar Universitas Harvard untuk membuktikan prediksi mereka tentang virus corona yang semestinya sudah masuk ke Indonesia.

  1. Penyebutan Riwayat Kontak yang Merugikan Korban

Pakar Harvard bertolak dari fakta bahwa penerbangan internasional dari dan ke Indonesia baru dihentikan 24 April 2020. Itu artinya terjadi kontak antar manusia dari berbagai negara dengan warga Indonesia. Soalnya, rentang waktu Januari-April 2020 kasus virus corona sudah terdeteksi di banyak negara. Selain itu tidak ada pula kewajiban karantina bagi pendatang dari luar negeri. Bahkan, kasus kematian pertama corona terjadi di Bali pada seorang wisatawan warga asing.

Baca juga: Kematian Pertama AIDS dan Covid-19 Terjadi di Bali

Jika mengacu ke langkah yang dilakukan China dan Korea Selatan di awal-awal pandemi dalam menangani pandemi virus corona, bukan dengan vaksin, maka semestinya Bali di-lockdown total semua warga jalani tes virus corona dengan metode PCR. Yang dilakukan di Bali hanya tracing itu pun dalam jumlah yang terbatas. Di Vietnam tracing dilakukan sampai buntu.

Baca juga: Pemerintah Sangat Terlambat Menangani Wabah Covid-19

Prediksi pakar Harvard itu terbukti ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama virus corona yang terdeteksi pada dua perempuan warga Jawa Barat, 2 Maret 2020. Mereka sudah beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit tapi tidak terdeteksi virus corona. Itu artinya bukan belum ada tapi pendeteksiannya yang tidak bisa.

Pengumuman dua perempuan yang terdeteksi positif corona itu pun dilakukan dengan cara yang sangat vulgar yaitu membeberkan riwayat kontak mereka dengan WN Jepang yang jadi sumber penularan yaitu disebut melalui dansa. Ini menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara dansa dengan penularan virus corona. Lagi pula tidak bisa dibuktikan, bahkan secara medis pun, bahwa penularan terjadi saat berdansa. Yang terjadi kemudian adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular virus corona.

Sebuah permukiman di Jakarta yang menerapkan lockdown, April 2020 (Foto: astroawani.com/AP)

Akibat pembeberan riwayat kontak itu banyak orang yang kemudian mengaitkan (risiko) tertular virus corona dengan maksiat. Maklum, banyak yang melihat dansa sebagai maksiat. Judul-judul berita di sebagian besar media massa dan media online pun mengumbar sensasi dengan mengaitkan dansa bahkan dibumbui pula dengan ‘hari valentin’. Maka, masyarakat pun menganggap penularan virus corona karena maksiat. Jadi, jangan heran kalau banyak warga yang tidak pakai masker karena mereka tidak melakukan maksiat.

  1. ‘Vaksin Sosial’ Tidak Bisa Diabaikan

Pernyataan-pernyatan yang nyeleneh dan riwayat kontak kasus 01 dan 02 yang terus-menerus diberitakan lama-lama dianggap banyak orang sebagai kebenaran. Maka, ketika pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kemudian diganti jadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tetap saja banyak warga yang abai karena informasi awal virus corona yang dibumbui dengan norma, moral dan agama.

Tidak sedikit pula orang yang menuding Pasien 01 dan 02 sebagai sumber virus corona di Indonesia karena pemerintah tidak tegas dalam memberikan informasi pandemi secara nasional. Soalnya, pada saat yang sama ada klaster virus corona lain di Kaltim, Solo, Jabar, dan lain-lain yang sama sekali tidak terkait dengan Pasien 01 dan 02.

Baca juga: Penyebaran Corona Cluster Bogor di Solo dan Kalimantan Timur

Tudingan terhadap Pasien 01 dan 02 sebagai penyebar virus corona di Indonesia membuat sejarah awal virus corona di Indonesia tidak objektif. Dikabarkan dua warga itu terus jadi sasaran amarah warga karena sebagian orang tetap menganggap Pasien 01 dan 02 sebagai penyebar virus corona.

Baca juga: Covid-19 Indonesia Sejarah Gelap Awal Penyebar Virus

Program vaksinasi yang sudah mulai dijalankan pemerintah sejak tanggal 13 Januari 2021 dikesankan sebagai langkah cespleng mengatasi pandemi virus corona di Indonesia. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) sejak awal sudah wanti-wanti vaksin tidak semerta menghentikan pandemi.

Dengan kasus lebih 1 juta di Indonesia per 25 Januari 2021 diperkirakan akan terus bertambah karena vaksinasi tidak menghentikan penyebaran virus di masyarakat. Ini terjadi karena vaksinasi dilakukan dengan skala prioritas yaitu tenaga kesehatan dan aparat yang berada di garis depan dalam penanganan pandemi.

Sedangkan penyebaran virus corona terjadi di masyarakat yang belum divaksinasi. Disebutkan oleh pemerintah vaksinasi baru akan selesai dalam 15 bulan ke depan. Itu artinya kalau setiap hari rata-rata ada 10.000 kasus baru saja, maka bisa jadi kasus akan bertambah 4.500.000.

Ini tantangan untuk Kemenkes dan instansi terkait untuk menyadarkan masyarakat agar tetap menjalankan ‘vaksin sosial’ yaitu protokol kesehatan yang dikenal sebagai 3M: memakai masker, menjaga jarak fisik dan mencuci tangan (tagar.id, 26 Januari 2021). *