Menggenjot Kunjungan Wisatawan ke Indonesia dengan “Gerakan Budaya Bersih dan Senyum”

Wisata97 Dilihat

Pariwisata merupakan salah satu sektor yang nyaris tidak terpengaruh ketika resesi menyelimuti dunia. Pariwata pulalah, seperti dikatakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dibanding sektor lain (kompas.com, 21/8-2016).

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian Pemerintah, dalam ini Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim), mendorong kunjungan wisatawan, tertama wisatawan mancarnegara, ke Indonesia dengan dukungan program “Gerakan Budaya Bersih dan Senyum”(GBBS) yang dicanangkan tanggal 19 September 2015. Peringkat daya saing pariwisata Indonesia di kawasan ASEAN ada di awah Singapura, Malaysia dan Thailand (Lihat: Tabel I) Secara global peringkat Indonesia di posisi 50. Bandingkan dengan Singapura 11, Malaysia 25 dan Thailand 35.

  1. Bali and The Beyond

Posisi Indonesia itu memberikan sinyal bahwa perlu ada gerakan massal untuk menaikkan peringkat. Pariwisata Indonesia mempunyai kekuatan berdasarkan keunggulan beberapa objek wisata, tapi banyak faktor yang tidak menunjuang keunggulanga tsb., seperti sarana dan prasarana serta keamanan. Kemenko Maritim pun mengajak kompasianer (blogger yang tergabung dalam kompasiana.com) untuk mengajak masyarakat menyukseskan “GBBS” yang ditandai dengan acara Kompasiana Nangkring bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritimandengan tema “Gerakan Budaya Bersih dan Senyum” di Jakarta, tanggal 9/9-2016.

Nangkring menghadirkan pembicara dari Kemenko Maritim yaitu (1) Dr. Ir. Safri Burhanudin, DEA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim, (2) Dra. Musyarafah Machmud, M.A., Wakil Ketua Satgas GBBS dan Ketua Dharma Wanita, dan (3) Dr. Rima Agristina, Tim Satgas GBBS.

Dalam pemaparan dan tanya jawab tergambar kendala-kendala yang dihadapi dalam meningkatkan sikap terkiat “GBBS” sehingga diperlukan dukungan dari berbagai kalangan, al. kompasianer yang diharapkan bisa menebarluaskan program “GBBS” ke semua lapisan masyarakat.

Pemerintah telah mencanangkan Indonesia sebagai ‘poros maritim’ dunia karena negeri ini dikenal sebagai negara dengan belasan ribu pulau sehingga bisa disebut negara kepulauan terbesar di dunia. Ini jadi modal utama dalam mengembangkan pariwisata. Hanya dengan meningkatkan rasa bangga sebagai negara maritim yang bisa menjadikan aset ini jadi modal bagi pariwisata nasional.

Soalnya, dengan kondisi yang terjadi salam ini tidak mengherankan kalau kemudian ternyata 4 dari 5 lokasi wisata atau daerah tujuan wisata (DTW) yang paling banyak dikunjungi berdasarkan studi Tripadvisor ada di Pulau Bali, yaitu 1 Ubud, 2 Seminyak, 3 Sanur dan 5 Nusa Dua. Di luar Bali ada Jakarta di peringkat ke-4 (dw.com, 17.03.2015).

Itu artinya DTW lain, termasuk 10 DTW baru yang dicanangkan Presiden Jokowi harus berbenah agar bisa menarik wisatawan mancanegara. Selama ini selain Bali yang didengung-dengungkan adalah ‘Bali and the Beyon’, al. Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) gugusan pulau di timur Pulau Bali dengan semboyan “You can see Bali in Lombok, but you cann’t see Lombok in Bali.”

Fakta menunjukkan siasat itu tidak berhasil karena banyak faktor. Dalam kaitan inilah upaya Kemenko Maritim menggalang budaya bersih dan sesungging senyuman jadi aktual karena akan memberi warna baru bagi wisatawan nusantara dan menacanegara. Dengan bahasa lain Presiden Jokowi mengatakan perlu perubahan kultur masyarakat karena pada dasarnya masyarakat harus mampu melayani wisatawan yang datang ke kawasan DTW.

Kultur yang dimaksud Presiden Jokowi dengan ‘perubahan kultur masyarakat’ bukan berarti mengubah budaya, tapi kebiasaan sebagai orang yang selama ini tidak mendukung iklim yang baik bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Untuk itulah Presiden Jokowi berharap tokoh-tokoh masyarakat dan agama serta pemuka adat sebagai informal leader yang dihargai masyarakat berperat aktif.

“GBBS” dijalankan seirama dengan ‘revolusi mental’ yang dicanangkan pemerintah. Gerakan ini akan mendorong sikap mental masyarakat Indonesia sebingga menyadari betapa pentingnya kebersihan, pelestarian lingkungan, sikap ramah dan murah senyum sebagai modal untuk melayani wisatawan agar tingkat kunjungan terus bertambah. Sebaliknya, terbangun pula sikap yang nyata untuk mencegah perilaku buruk, seperti merusak lingkungan dan membuang sampah sembarangan. Kondisi ini jadi kontribusi yang penting dalam menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi masyarakat sendiri dan wisatawan.

Hanya dengan kesadaran suasana kondusif tercipta agar citra Indonesia sebagai negara maritim terbesar di Dunia bersinar dengan indah sebagai modal untuk menarik wisatawan mancanegara. Soalnya laporan Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) pada tahun 2015 Indonesia tidak termasuk sebagai salah satu dari 10 negara yang menerima wisatawan terbanyak (dw.com,27/9-2016). Sepuluh negara itu adalah (dimulain peringkat pertama dan jumlah wisatawan dalam juta orang): Perancis (84,5), Amerika Serikat (77,5), Spanyol (68,2), Cina (56,9), Italia (50,7), Turki (39,5), Jerman (35), Inggris (34,4), Meksiko (32,1), dan Rusia (3,13).

2. Asia Landscape

Apa yang jadi daya tarik negara-negara itu bisa jadi inspirasi bagi Indonesia dalam mengembangkan pariwisata. Misalnya, diversifikasi DTW. Ini sedang digalakka pemerintah melalui pengembangan 10 DTW baru yaitu: Danau Toba (Sumut), Tanjung Kelayang (Babel), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Tanjung Lesung (Banten), Borobudur (Jateng), Bromo, Tengger, Semeru (Jatim), Mandalika (NTB), Wakatobi (Sultra), Pulau Morotai (Malut), dan Labuan Bajo (NTB).

Jika badan otorita yang dibentuk pemerintah untuk mengembangkan 10 DTW baru itu tidak bergerak cepat, maka negara-negara yang juga mempunyai potensi wisata akan merebut wisatawan agar berkunjung ke negaranya. Ini akan jadi kenyataan karena warga negara kita, bahkan dari DTW tsb., yang justru jadi  out bond (keluar) dalam berwisata. Selain negara banyak pula wisatawan yang mengunjungi suatu negara karena daya tarik salah satu kota di negara tsb.

Survey sebuah lembaga riset di Inggris, Euromonitor International, melaporkan ada 10 kota di dunia yang palig banyak dikunjungi wisatawan tahun 2015 (dw.com, 1/02-2016). Tapi, adakah kota di Indonesia masuk dalam daftar tsb.? Lihat Tabel II.

Dengan Malaysia saja kita kalah dalam jumlah kunjungan wisatawan. Padahal, semua yang ada di Malaysia ada di Indonesia, sebaliknya tidak semua (objek wisata) yang ada di Indonesia ada di Malaysia. Dengan semboyan “Truly Asia” Malaysia sebenarnya menebar kebohongan, maka perlu juga dipikirkan semboyan yang khas dan kuat bagi Indonesia, misalnya, dengan branding “Asia Landscape” (“Asia Landscape” Branding Pariwisata Indonesia).

Selama ini Indonesia mengibarkan semboyan “Wonderful Indonesia” sebagai ‘bendera’ pariwisata nasional. Tentu saja timbul pertanyaan: Apakah dengan sarana dan prasarana terkait pariwisata serta sikap masyarakata seperti sekarang ini bisa dikatakan ‘hebat’?

Tentu saja tidak. Maka, amatlah pas langkah Kemenko Maritim yang menggerakkan semua lapisan masyarakat untuk mendukung program “GBBS” sebagai modal utama menggenjot arus wisatawan ke Indonesia (Kompasiana, 9 Oktober 2016). *