Menyelamatkan Masyarakat Adat dari Pandemi Covid-19

Masyarakat adat Nusantara sangat terbatas ruang gerak dan kemampuan mereka untuk melindungi diri agar tidak tertular Covid-19 sehingga pemerintah diharapkan turun tangan lindungi masyarakat adat

“Hindari Korona, Suku Anak Dalam Mengungsi ke Hutan.” Ini judul video berita di Kompas, 23 Mei 2020. Mereka ini adalah bagian dari yang belakangan dikenal sebagai masyarakat adat. Sedangkan di masa rezim Orba (Orde Baru) mereka disebut sebagai ‘masyarakat terbelakang’, ‘suku terasing’, masyarakat primitif, dll. sebagai terminologi yang merendahkan harkat dan martabat warga tsb.

Tidak sedikit orang yang merasa dirinya lebih berbudaya dan beradab dari masyarakat adat, padahal mereka yang merasa lebih berbudaya itu justru membabat hutan, menebang pohon, merusak alam, membunuh satwa, memperdagangkan satwa, dll. Sementara masyarakat adat hidup serasi dengan alam.

Bahkan, di era reformasi ada menteri yang mengatakan bahwa masyarakat adat, pada salah satu masyarakat adat di Pulau Sumatera: “Baru sekarang mereka mengenal Tuhan.” Itu dikatakan menteri tsb., salah seorang menteri di Kabinet Kerja, setelah ‘mengagamakan’ suku tsb. kepada salah satu agama.

  1. Masyarakat Adat Keluar dari Komunitas Membeli Keperluan Hidup

Menteri itu rupanya tidak memahami pengertian religi dan agama. Animisme bukan atheis. Mereka mengenal ‘Tuhan’. Animisme adalah religi yang mengakui ada kekuasaan di atas manusia. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) religi disebut sebagai kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme, dinamisme).

Amatlah gegabah seorang menteri mengatakan masyarakat adat tidak mengenal Tuhan. Bagi menteri itu Tuhan adalah yang dipercayai oleh manusia yang menganut agama samawi (agama langit yang dibawa oleh nabi dan rasul).

Terkait dengan pandemi atau wabah virus corona baru (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) masyarakat adat yang merupakan indigenous people sangat rentan karena sumber daya mereka yang sangat terbatas dalam menghadapi pandemi.

Misalnya, pemahaman atau pengetahuan mereka tentang virus itu sendiri. Cara-cara penularan virus dan cara-cara mencegah dan melindungi diri agar tidak tertular virus. Mereka kesulitan membeli masker, sementara sistem kekebalan tubuh mereka juga sangat tergantung kepada bahan makanan yang mereka makan setiap hari.

Beberapa bahan makanan pokok, seperti gula, garam, dan minyak goreng harus mereka beli ke pasar terdekat. Ini tentu saja berbahaya karena mereka akan berhadapan langsung dengan kerumunan di pasar. Tingkat risiko tertular kian tinggi jika mereka tidak memakai masker.

Itu artinya masyarakat adat sangat rentan tertular Covid-19 ketika mereka keluar dari komunitasnya, seperti ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari karena mereka tidak disiapkan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak memakai masker dan tidak paham dengan jarak fisik untuk cegah penularan corona.

2. Risiko Jika OTG Jadi Wisatawan ke Komunitas Masyarakat Adat

Ketika warga masyarakat adat yang pulang dari pasar kembali ke komunitasnya ada risiko yang besar yaitu terjadi penyebaran virus jika ada diantara warga masyarakat adat yang tertular Covid-19 di luar komunitasnya, seperti di pasar. Dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup bersama secara komunal (kelompok yang hidup bersama) sehingga physical distancing sulit dilakukan oleh anggota masyarakat adat.

Kehidupan masyarakat ‘Orang Rimba’ di Jambi. (Foto: metropekanbaru.com).

Celakanya, banyak pula orang yang menjadikan kehidupan masyarakat adat sebagai objek wisata dan berita. Ini membuka peluang bagi penyakit orang-orang yang menyebut diri berbudaya membawa ‘penyakit’ ke masyarakat adat.

Tidak ada sinyal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melarang ‘orang-orang berbudaya’ masuk ke wilayah masyarakat adat yang tersebar di Nusantara.

Beberapa komunitas masyarakat adat jadi ‘objek wisata’ orang-orang yang menyebut dirinya berbudaya. Di Banten, misalnya ada suku Baduy di wilayah Kabupaten Lebak. Baduy jadi tujuan wisata banyak kalangan sehingga ada risiko terjadi penyebaran Covid-19 di Baduy.  Di Pulau Sumatera ada Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Jambi. Komunitas ini juga jadi tujuan ‘wisata’ dan objek penelitian dan sumber berita. Di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll. juga banyak suku asli yang jadi objek wisata.

Celakanya, belum ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk menghentikan perjalanan wisata ‘orang-orang berbudaya’ ke komunitas masyarakat adat. Soalnya, seperti selalu diingatkan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, setiap hari melalui konferensi pers yang disiarkan dari BNPB Jakarta, masyarakat harus waspada karena ada OTG (orang tanpa gejala) yang jadi sumber penyebaran Covid-19. OTG ini adalah orang yang tertular Covid-19 tapi tidak menunjukkan gejala dan mereka pun tidak merasa ada gangguan kesehatan yang berarti.

Dalam kaitan itulah bisa saja ada OTG di antara ‘pelancong’ yang masuk ke komunitas masyarakat adat. Ketika ada warga masyarakat adat yang tertular Covid-19 itu merupakan pemicu penyebaran virus di masyarakat adat yang bisa berakibat fatal bagi komunitas masyarakat adat.

Maka, sudah saatnya pemerintah setempat, atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, menghentikan perjalanan wisata, penelitian dan peliputan berita ke komunitas masyarakat adat. Pemerintah juga diharapkan memberikan masker dan sembako ke masyarakat adat sebagai kalangan yang juga terdampak Covid-19 agar mereka tidak keluar dari komunitasnya sebagai bagian dari upaya menyelamatkan masyarakat adat Nusantara (Kompasiana, 25 Mei 2020). *

Tinggalkan Balasan