Menyoal Penanganan Virus Corona di Jakarta dan Jawa Barat

Edukasi77 Dilihat

Penanganan pandemi virus corona di Jakarta dan Jabar merupakan langkah parsial sedangkan pandemi tidak mengenal batas wilayah, daerah bahkan negara. 

Mantan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, pernah mengatakan bahwa proporsi tes swab Covid-19 per 1 juta populasi di Jakarta mengalahkan Thailand dan Jepang. Hal ini disampaikan Yuri pada acara virtual tentang tes Covid-19 di Graha BNP Jakarta, 20 Juni 2020.

Terlepas dari perbandingan yang nyeleneh itu, karena Jakarta adalah kota atau provinsi sedangkan Thailand dan Jepang adalah negara, tapi jumlah dan proporsi tes di Jakarta tidak membuahkan hasil karena insiden infeksi virus corona baru (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) terus terjadi. Bahkan, Jakarta ada di peringkat ke-1 nasional dengan jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 29.952, sedangkan di Jawa Barat sebanyak 8.685 di peringkat ke-5 nasional (17 Agustus 2020).

Salah satu tujuan tes Covid-19 dengan tes swab (usap) yang dilanjutkan dengan tracing (pelacakan) terhadap warga yang pernah kontak dengan yang terdeteksi positif Covid-19 serta menjalankan isolasi adalah memutus mata rantai penyebaran virus corona.

1. Daerah Dikotak-kotakkan dengan Zona Berdasarkan Kasus Corona

Jakarta dengan proporsi tes 46.303 per 1 juta penduduk tentu saja timbul pertanyaan: Mengapa insiden infeksi Covid-19 terus terjadi di Jakarta bahkan muncul klaster-klaster baru?

Begitu juga dengan Jawa Barat (Jabar) dengan jumlah tes Covid-19 terbanyak kedua di Indonesia setelah Jakarta, tapi mengapa kasus-kasus infeksi baru terus terdeteksi dan muncul pula klaster-klaster penyebaran Covid-19 baru, seperti di asrama militer dan perkantoran.

Baca juga: Empat Klaster Penularan Virus Corona di Jawa Barat 

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan di atas perlu dipahami bahwa epidemi dan pandemi penyakit tidak mengenal batas fisik dan administrasi RT, RW, dusun, desa, kampung, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, dan negara.

Celakanya, Indonesia mengkotak-kotakkan daerah, kecamatan, kabupaten dan kota berdasarkan jumlah kasus positif Covid-19 serta berdasarkan zona, yaitu zona hijau, zona kuning (risiko rendah), zona oranye (risiko sedang), dan zona merah (risiko tinggi). Zona ini jelas bertentangan dengan kaidah epidemiologi karena penyebaran virus pada pandemi tidak bisa dibatasi secara administratif bahkan batas fisik pun tidak bisa mencegah penyebaran virus.

2. Jabar Kejar Tes 50.000 Spesimen per Minggu

Penyebaran bakteri, kuman, virus, dan lain-lain yang terjadi sebagai epidemi atau pandemi tidak bisa dibatasi dengan batas-batas fisik dan nonfisik karena bakteri, kuman atau virus ada di udara, air, makanan, dan tubuh manusia.

Jika bakteri atau kuman dibawa oleh air tentulah jadi persoalan besar karena air merupakan kebutuhan utama manusia. Begitu juga jika bakteri atau kuman bisa menular melalui udara tentulah jadi masalah karena setiap menghirup napas berarti ada udara yang masuk ke paru-paru melalui saluran pernapasan.

Terkait dengan virus corona yang menular melalui droplet (percikan cairan yang keluar dari mulut dan hidung) orang yang mengidap virus corona melalui udara atau perantaraan tangan setelah memegang benda-benda yang terkena droplet yang mengandung virus corona. Itu artinya penyebaran virus corona tidak bisa dibentengi dengan batas-batas administrasi dan batas fisik antar daerah atau negara.

Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil, mengatakan: “Kami sudah masifkan pengetesan di seluruh perkantoran se-Jabar. Kami terus lakukan (tes PCR) sebanyak-banyaknya, mengejar cita-cita bisa tes 50 ribu sampel dalam satu minggu.” (Tagar, 16 Agustus 2020). Ridwan Kamil juga selalu meminta daerah, kabupaten dan kota di Jabar, untuk lakukan tes swab minimal 1% dari populasi.

Beberapa kabupaten dan kota di Jabar menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seperti Kabupaten dan Bogor, Depok serta Kabupaten dan Kota Bekasi, juga di Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang).

3. Penanganan Hanya Berkutat di Wilayah

Sementara itu Wali Kota Depok, Jabar, Mohammad Idris, mengeluh karena yang mereka lakukan terkait dengan penanganan pandemi corona seakan-akan sia-sia karena pandemi berkecamuk lagi di Depok. Mohammad mengatakan Depok rentan karena warganya merupakan commuter (pengulang-alik) karena bekerja di Jakarta. Faktor lain adalah karena tidak ada batas antar wilayah di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Maka, Mohammad pun meminta agar pemerintah membuat batas wilayah.

Baca juga: Covid-19 Tak Kenal Batas Wilayah, Daerah dan Negara

Sedangkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, selain menjalankan PSBB juga menerapkan SIKM (Surat Izin Keluar Masuk) bagi warga yang keluar dan masuk wilayah DKI Jakarta. SIKM ini tidak memberikan peluang bagi warga untuk keperluan lain di luar dinas karena di formulir isian melalui web hanya ada izin kerja atau tugas. Ini tentu saja mendorong warga berbohong atau menipu untuk memperoleh SIKM.

Dari tiga kasus di atas, Jabar, Depok dan Jakarta menunjukkan pemahaman tentang pandemi yang tidak komprehensif karena hanya berkutat di wilayahnya masing-masing sedangkan pandemi tidak mengenal batas administratif daerah.

Seandainya Kota Depok dibatasi dengan ‘tembok Berlin’ atau ‘tembok China’ tidak jaminan pandemi bisa dihentikan karena warga Depok keluar dan ada pula warga dari luar yang masuk.

4. Peringatan WHO tentang Tes, Tracing dan Isolasi

Di Bandung, misalnya, kompleks militer jadi klaster penyebaran virus corona. Ini bukti pandemi tidak mengenal batas. Kompleks militer tentu saja dijaga ketat, tapi warga kompleks berinteraksi dengan warga lain di luar kompleks untuk berbagai keperluan, mulai dari dinas dan pribadi.

Ridwan Kamil juga abaikan pergerakan warga Jabar yang keluar atau warga daerah lain yang masuk ke Jabar. Biar pun tes swab di Jabar tinggi sehingga kasus banyak terdeteksi, tapi pada saat yang sama warga Jabar yang sudah tes swab keluar dari Jabar dan ada pula interaksi warga Jabar dengan pendatang.

Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) sudah mengingatkan jika tes, tracing (melacak warga yang kontak dengan yang positif Covid-19) dan isolasi bagi warga yang kontak dengan yang positif Covid-19 dan yang baru kembali dari daerah dengan pandemi corona tidak dilakukan simultan atau bersamaan, maka negara itu akan menghadapi masalah besar pandemi corona.

Maka, penanganan pandemi virus corona hanya bisa efektif jika tes, tracing dan isolasi dilakukan dengan skala nasional. Ini yang dilakukan beberapa negara yang bisa mengatasi penyebaran virus corona, seperti China, Korea Selatan, Jepang, Thailand dan Vietnam.

Penanganan pandemi virus corona tidak akan pernah berhasil kalau hanya dilakukan secara parsial daerah per daerah, tapi harus dengan skala nasional (tagar.id, 19 Agustus 2021). *

Tinggalkan Balasan