Pariwisata Danau Toba, Semoga Tidak Diatur dengan Perda Bermuatan Moral

“Libatkan Masyarakat. Pariwisata Toba Tak Bisa Hanya Andalkan Pemandangan” Judul berita di Harian “KOMPAS” (11/4-2016) ini amat sangat layak direnungkan. Soalnya, kalau bicara pariwisata (tourism) tidak hanya mengandalkan pemandangan alam, tapi juga sisi-sisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang membawa susana khas daerah tsb.

Nah, cobalah berdiri di tepian Danau Toba: Apakah Anda melihat ‘orang Batak’ di sana?

Bandingkan jika kita jalan-jalan di Jalan Malioboro di Yogyakarta atau di Kuta, Denpasar Bali. Dengan semerta kita melihat ‘orang Jawa’ yaitu orang-orang memakai pakaian khas daerah itu. Sama halnya dengan di Denpasar setiap saat kita bisa melibat ‘orang Bali’ yang memakai kain khas dan menyelipkan sepucuk kembang di kepala.

  1. Perda Muatan Moral

Tentu saja tidak ada ‘orang Batak’ di Parapat, kota di tepi Danau Toba. Semua sama tanpa ada perbedaan yang khas sebagai ‘orang Batak’.

Faktor lain yang bisa mendorong wisatawan manca negara adalah tidak ada aturan yang mengatur cara berpakaian di tempat umum. Memang, di Yogyakarta tidak seperti di Kota Denpasar. Cewek-cewek bule melenggang hanya memakai kolor dan kutang.

Kok Cuma cewek bule, sih? Ya, maklum sebagian dari kita ‘kan dibelenggu kemunafikan. Pakai lengkap tapi melenggang mencari kamar jam-jaman.

Ketika ada turis hanya pakai kolor dan kutang di Danau Toba, bisa jadi akan muncul protes: “Itu menodai tempat kita yang suci.” Maklum, Danau Toba dan Pulau Samosir secara mitologi terkait dengan (kesucian) orang Batak.

Tapi, buang air kencing dan tinja, memandikan babi dan kerbau, membuang detergen, dll. ke danau, apakah ini tidak menodai kesucian air danau sebagai bagian dari kehidupan manusia? Soalnya, membuang kotoran manusia ke danau akan meningkatkan kandungan e-coli yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena bisa menyebaban diare.

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian pekerja seni dan pedagang cenderamata di sebuah kota di Indonesia, yang jadi salah satu tujuan wisata utama, meradang karena hanya mengandalkan pembeli lokal dan wisatawan nusantara yang hanya datang musiman.

Soalnya, kota itu diatur dengan peraturan daerah (Perda) bermuatan moral dan agama yang melarang wisatawan hanya pakai kolor dan kutang. Akibatnya, wisatawan mancanegara hanya numpang lewat di ‘kota suci’ itu untuk meneruskan perjalanan ke pantai yang suasananya persis sama dengan suasana di Kuta, Bali.

“Payah, Pak. Hanya menunggu nasib mujur saja.” Inilah jawaban seorang perajin cendera mata di ‘kota suci’ tadi sambil melirik benda-benda seni yang menumpuk di sanggarnya di depan salah satu mal di ‘kota suci’ itu.

Di salah satu kota di Pulau Sumatera di era Orde Baru ada sebuah jalan yang mirip sekali dengan Legian, Bali. Banyak wisatawan manca negara duduk kongkow-kongkow di kedai kopi sepanjang jalan itu. Tapi, setelah reformasi banyak daerah yang berlomba-lomba mengedepankan norma, moral dan agama sebagai landasan hukum di daerahnya sehingga tidak ada lagi tempat bagi wisatawan yang hanya memakai celana pendek bak kolor dan kaos kutang. Jalan itu sekarang sepi.

Di Bali dengan durasi satu hari sudah bisa dinikmati semua atraksi budaya dan mengunjungi tempat-tempat tujuan wisata. Untuk menonton Tari Kecak tidak perlu menunggu matahari tenggelam karena setiap hari ada pertunjukan Tari Kecak di gedung. Tarif berlaku umum seperti karcis bioskop.

Nah, apakah di sekitar Danau Toba kita bisa menyaksikan kesenian Batak sepanjang waktu dengan karcis semahal karcis bioskop?

2. Standar Harga

Tentu saja tidak ada. Kalau mau melihat pertunjukan Si Gale-gale, misanya, harus privat dan ini tidak murah bagi wisatawan apalagi yang berwisata dengan gaya backpacker (Backpacker adalah istilah yang yang digunakan untuk para traveler dengan budget minim menjelajah tempat-tempat eksotik di seluruh dunia, sambil berjalan kaki. Mencari yang serba murah dan sangat menikmati detail perjalanan. Untuk mengenalinya cukup mudah biasanya mereka memakai ransel punggung (backpack) dan berpakaian seadanya. Tas punggung atau yang dikenal sebagai backpack inilah yang menjadi ciri khas mereka-BackpackerIndonesia).

Apakah ada upaya pemerintah deerah di sana menyediakan pertunjukkan Si Gale-gale secara rutin seperti jam tayang bioskop?

Lagi-lagi tidak ada!

Di Bali di banyak tempat harga sebotol bir sama. Harga makanan pun demikian. Tapi, celakanya di banyak daerah tujuan wisata harga-harga minuman dan makanan dibanderol dengan harga hotel bintang lima. Mereka menjadikan wisatawan sebagai korban.

Jagan kaget kalau kemudian ada wisatawan yang mengeluh dengan menyebarkan bon karena harus membayar ikan bakar dengan harga mendekati satu juta rupiah. Ini terjadi di Carita, Banten.

Bisakah otoritas Danau Toba mengatur harga-harga berlaku standar di wilayah otorita Danau Toba sehingga membuat wisatawan nyaman?

Kalau tidak bisa, maka pariwisata Danau Toba hanya mengharapkan pengunjung yang berdarmawisata saja karena tidak mementingkan aspek-aspek budaya dengan pertunjukkan seni. Turisme mengandung banyak makna yaitu suatu kegiatan wisata yang memberikan kelebihan dalam berbagai hal.

Tidaklah mengherankan kalau kemudian tujuan wisata yang spesifik, seperti wisata dengan keunggulan alam, wisata yang menonjolkan seni, mode, seks, dll. Kalau pariwisata Danau Toba hanya mengandalkan alam itu tidak menarik bagi wisatawan kelas dunia yang bepergian dalam waktu yang lama, menginap di hotel mewah, makan di restoran mahal, dll.

Ada tiga aspek yang selalu terikat dengan tujuan wisata (miras, judi dan seks). Nah, kalau kelak muncul wacana mengatur tiga aspek ini dengan pijakan moral dan agama dalam bentuk regulasi, maka habislah pariwisata Danau Toba. Apalagi kemudian ada razia ‘pekat’ dan ‘maksiat’ ke berbagai sarana wisata, seperti penginapan, losmen, hotel melati, panti pijat, spa, dll. ini akan membuat calon wisatawan mengurungkan niat berwisata ke Danau Toba.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah keamanan. Apakah otoritas Danau Toba bisa menjamin tidak akan ada kriminalitas sepanjang hari bagi wisatawan dengan berbagai gaya dan penampilan?

Paling tidak di Parapat bisa berjalan di tengah malam, seperti di Malioboro dan Legian, tanpa was-was. Kalau tidak bisa tentulah hal itu kabar buruk bagi wisatawan dunia karena keamanan merupakan faktor utama dalam berwisata yang nyaman.

Selama aspek-aspek yang menjadi pilar utama pariwisata tidak terpehuni di Danau Toba, maka mustahillah menjadi kawasan ini sebagai ‘Monaco’ van Indonesia.

Segencar apa pun promosi dan selancar apa pun transportasi ke Danau Toba yang datang hanya yang berdarmawisata saja bukan wisatawan dalam kaitan tourism. Itu artinya mereka hanya menghabiskan waktu akhir pekan (week end) saja sehingga tingkat hunian (room occupancy) hotel pun tidak ekonomis (Kompasiana, 11 April 2016). *

 

Komentar:

Noval Adianto (11 April 2016) Mulailah kembali dengan hal yang sederhana, lestarikan budaya batak, karena budaya tidak kalah menariknya apabila dapat dikemas secara bagus dengan keindahan alam itu sendiri…. Apapun bentuk hasil karya budaya batak, kemas dan jual (dalam arti melestarikan) sehingga obyek wisata Danau Toba bukan hanya keindahan alamnya semata, tapi juga budayanya….. contoh sederhana…. di Samosir ada perda yang mengatur corak rumah harus mengandung corak rumah adat batak…. sehingga kita kesamosir sudah terasa kita ditanah batak karena,rumah2nya bernuansa tradisi batak…itu menurut saya indah…..banyak hal yang dapat diperbuat untuk memajukan Danau Toba…..orang batak biasanya pintar2……

Tinggalkan Balasan

1 komentar